Wednesday, March 08, 2023

Izin Praktik Dokter Hewan dan Perpu Cipta Kerja



Harapan pemerintah untuk membuat aturan hukum yang lebih sederhana dalam satu Undang-Undang (UU) dikenal dengan omnibus law, sejatinya patut kita apresiasi. Termasuk, UU yang mengatur tentang Cipta Kerja. Terlepas dari persoalan pro dan kontra.  Nyatanya, negara ini memang sudah kadung terlalu banyak aturan. Sehingga, agar urusan lebih mudah, persoalan peraturan ini memang harus disederhanakan. Akan tetapi, ada persoalan yang justru kontra produktif dari semangat penyederhanaan. Salah satunya adalah persoalan tentang Izin praktik dokter hewan. 

Layaknya sebagai seorang dokter, dokter hewan dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, sejatinya juga harus memiliki Surat Izin Praktik (SIP). Hal ini sebagaimana diatur dalam UU Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, sebagaimana telah di revisi menjadi UU Nomor 41 Tahun 2014, terutama pada pasal 72 ayat (1) bahwa Tenaga Kesehatan Hewan yang melakukan pelayanan kesehatan hewan wajib memiliki Surat izin Praktik kesehatan hewan yang dikeluarkan oleh Bupati/Walikota.

Sementara itu, penerbitan SIP Dokter Hewan yang diterbitkan oleh Bupati/walikota, selama ini tidak mensyaratkan kewajiban memiliki Nomor Induk Berusaha (NIB). Hal ini dinilai wajar, karena dokter hewan yang menjalankan praktik, belum tentu sebagai pemilik usaha. Bahkan, banyak dokter hewan yang hanya sebagai pekerja, mereka menjalankan layanan jasa profesinya dengan bekerja di perusahaan atau di klinik hewan yang pemiliknya bisa saja bukan seorang dokter hewan. 

Dengan kata lain, penerbitan SIP Dokter Hewan sebelum ini hampir tidak menemui persoalan. Dokter hewan dianggap telah dengan baik menjalankan layanan jasa profesinya. Buktinya, saat ini layanan praktik dokter hewan tidak hanya berada di kota besar saja, tetapi juga sudah merambah hingga ke berbagai kota kecil (kota kecamatan) di Indonesia.
Kewajiban Memiliki Nomor Induk Berusaha

Setelah terbitnya UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, persoalan izin praktik dokter hewan justru timbul masalah.  Ketentuan pada pasal 72 ayat (1) UU Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, sebagaimana telah di revisi menjadi UU Nomor 41 Tahun 2014 diubah menjadi Pasal 34 angka 17 ayat (1) yakni Tenaga Kesehatan Hewan yang melakukan pelayanan kesehatan hewan wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. 

Kalimat “wajib memiliki Surat izin Praktik kesehatan hewan” berganti menjadi “wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat”. Perubahan ini menurut penulis cukup fundamental bagi profesi dokter hewan. Hal ini bukan hanya berkenaan dengan dokter hewan sebagai profesi, tetapi juga berpotensi melanggar tata Etika Profesi, bahkan dapat membunuh niali-nilai etika profesi tenaga kesehatan hewan.

Selain itu, dampak atas perubahan ini juga mengakibatkan bahwa tatkala tenaga kesehatan hewan akan memberikan layanan kesehatan hewan, ia wajib memiliki Nomor Induk Berusaha (NIB), artinya dokter hewan dianggap pengusaha seperti petani, peternak, pedagang atau pelaku usaha lainnya yang menjalankan usahanya. 

Oleh sebab itu, tidak salah jika dokter hewan melalui PB PDHI (Pengurus Besar Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia) pada 2022 yang lalu, menggugat ke Mahmakah Konstitusi (MK). Organisasi ini menilai, pasal tentang kewajiban perizinan berusaha inkonstitusional. Diharapkan, Izin praktik dokter hewan seyogyanya disamakan saja seperti pelayanan perizinan praktik pada tenaga kesehatan atau profesi lainnya. 

Perizinan Praktik, Berbeda dengan Perizinan Berusaha

Menurut Notoatmodjo (2010), Praktik adalah suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt behaviour). Untuk mewujudkannya diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain adalah fasilitas, seperti tempat praktik, sedangkan pengertian Perizinan Berusaha adalah legalitas yang diberikan kepada pelaku usaha untuk memulai dan menjalankan usaha dan/atau kegiatannya. 

Selanjutnya, dalam konteks kedokteran, Praktik kedokteran adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh dokter terhadap pasien dalam melaksanakan upaya kesehatan. Untuk melaksanakan praktiknya, dokter memiliki tempat pelaksanaan praktik yaitu fasilitas pelayanan kesehatan seperti praktik mandiri, Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas), Klinik, Rumah Sakit dan Fasilitas pelayanan kedokteran untuk kepentingan hukum dan lain sebagainya. Artinya, dalam berpraktik, belum tentu seseorang itu menjalankan usaha dan belum tentu sebagai pemilik fasilitas pelayanan kesehatan. Sehingga perizinan praktik, berbeda dengan perizinan berusaha.

Kemudian, jika diwajibkan memiliki NIB, maka salah satu syarat membuat NIB adalah pemohon wajib mencantumkan besaran modal, sehingga namanya sebuah usaha, bukan tidak mungkin, nanti akan ada kategori dokter hewan skala mikro, dokter hewan skala kecil, menengah dan seterusnya. Karena dokter hewan dinilai sebagai unit usaha. 

Putusan Mahkamah Konstitusi

Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK), atas Perkara yang teregister dengan Nomor 64/PUU-XIX/2021, MK menyatakan menolak gugatan uji materiil yang diajukan Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PDHI). Penyebabnya, karena UU tersebut telah dinyatakan inkonstitusional bersyarat pada 25 November 2021. 

Oleh sebab itu, mengacu pada hasil keputusan MK, sejatinya dokter hewan se Indonesia mengharapkan, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja akan menjawab keresahan yang dialaminya. Namun ternyata, Perpu yang ditandatangani presiden Jokowi tanggal 30 Desember 2022 itu, justru tidak mengubah apapun.  Pasal yang telah di ajukan ke MK, sama sekali tidak dilakukan perubahan.

Selagi Perpu ini belum ditetapkan sebagai UU, semoga Pasal 34 angka 17 ayat (1) Perpu Nomor 2 Tahun 2022 yang berbunyi “Tenaga Kesehatan Hewan yang melakukan pelayanan kesehatan hewan wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat” dirubah menjadi “Setiap Usaha Kesehatan Hewan yang melakukan pelayanan kesehatan hewan wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat”. Artinya, kita mendukung bahwa semua unit usaha wajib memenuhi perizinan berusaha.

Berbeda halnya jika tenaga kesehatan hewan seperti dokter hewan dan paramedik veteriner telah berubah menjadi pengusaha, maka kita khawatir, tidak ada lagi dokter hewan yang melayani praktik di yayasan sosial seperti shelter anjing, yayasan peduli kucing terlantar. Atau di lembaga konservasi seperti pelestarian owa jawa, orang utan dan lain sebagainya. Dampaknya, masyarakat dan negara sendiri yang dirugikan.

ditulis oleh: drh. Iwan Berri Prima
Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Vetnesia edisi Februari 2023

Membangun Komitmen Sektor Peternakan dan Kesehatan Hewan Dalam Mengatasi Antimicrobial Resistance



Anti Microbial Resistance (AMR) merupakan suatu keadaan dimana mikroba seperti Bakteri, Jamur, Parasit dan mikroba lainnya mengalami resistensi terhadap pengobatan anti mikroba. Sebagai contoh, jika sebelumnya Bakteri tertentu sembuh diobati dengan antibiotik jenis tertentu, maka saat ini ia tidak sembuh (resisten). Dampaknya, obat yang biasanya ampuh, kini menjadi tidak mampu mengatasi kasus penyakit itu.

Menurut para ahli, banyak penyebab mengapa mikroba menjadi resisten. Namun demikian, nyatanya sektor peternakan dan kesehatan hewan yang relatif besar mendapat sorotan sebagai penyumbang kejadian AMR.

Penyebabnya adalah, produk pangan asal hewan yang merupakan produk pangan dominan di konsumsi oleh masyarakat Indonesia, seperti Daging, susu dan telur, sangat rentan untuk berpotensi menyumbang AMR. Diantaranya adalah, masih banyaknya temuan penggunaan antibiotik untuk pengobatan ternak yang dilakukan tanpa resep dokter hewan. Padahal, mengacu pada Undang-Undang (UU) No 18 Tahun 2009 yang telah direvisi menjadi UU Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, pemberian obat keras (seperti antibiotik) kepada hewan wajib menggunakan resep dokter hewan. Apalagi ternak tersebut akan dikonsumsi oleh masyarakat. Hal ini tercantum dalam pasal 51, ayat 1 bahwa Obat keras yang digunakan untuk pengamanan penyakit hewan dan/atau pengobatan hewan sakit hanya dapat diperoleh dengan resep dokter hewan dan ayat 3 bahwa Setiap orang dilarang menggunakan obat hewan tertentu pada ternak yang produknya untuk konsumsi manusia.  

Kewajiban adanya resep dokter hewan dalam penggunaan obat keras yang diberikan untuk hewan sejatinya bukan tanpa sebab. Salahsatunya adalah, obat keras seperti antibiotik memiliki dosis tertentu dan penggunaan atau pemberiannya pun memiliki aturan. Khusus untuk hewan pangan, pemberian antibiotik yang sembarangan akan berakibat pada residu (sisa) antibiotik didalam produk pangan itu. Dengan kata lain, konsumen yang akan mengkonsumsi produk pangan sama saja dengan mengkonsumsi (residu) antibiotik. Jika ini dibiarkan terus menerus, maka bukan tidak mungkin, kita yang sehat, jika suatu saat sakit dan diobati dengan antibiotik yang secara tidak sengaja telah kita konsumsi, maka menjadi tidak mempan. Sehingga, sebagai profesi dokter yang telah disumpah, seorang dokter hewan, sepenuhnya menyadari bahwa tanggung jawabnya cukup besar untuk menjamin produk pangan asal hewan yang aman, sehat, utuh dan halal.

Selain itu, pengobatan anti mikroba yang serampangan juga berakibat buruk terhadap hewan atau ternak kita. Hewan juga suatu saat berpotensi menjadi resisten terhadap pengobatan anti mikroba tertentu. Akibatnya, pengobatan pun menjadi lebih sulit dan mahal.

Membangun Komitmen Bersama

Untuk menanggulangi penggunaan anti mikroba, khususnya penggunaan obat keras tanpa resep dokter hewan, sebenarnya bukan hanya tanggung jawab Pemerintah melalui Pengawas Obat Hewan (POH) saja, tetapi ini merupakan tanggungjawab kita semua. Terutama bagi market place atau penjual obat yang hingga saat ini masih bebas menjual anti mikroba / antibiotik tanpa resep dokter hewan. Jika masyarakat saja mudah mendapatkan obatnya, maka jangan salahkan jika mereka melakukannya. Ini pokok persoalan yang sebenarnya.

Selanjutnya, tidak tegasnya sanksi yang diberikan oleh para pelaku juga semakin memperburuk situasi, bahkan pernah kita temui sebuah kasus dimana seorang yang bukan dokter hewan, tetapi mengumumkan dirinya untuk menerima layanan kesehatan hewan dan pengobatan hewan dengan obat keras.

Oleh sebab itu, untuk mengatasi persoalan AMR di sektor Peternakan dan Keswan setidaknya harus memiliki 3 komitmen bersama. Pertama, mari kita berantas peredaran obat hewan (terutama obat keras) yang dijual bebas (tanpa resep dokter hewan) di Market Place. Salah satu caranya adalah dengan melaporkan situs atau link penjualan obat hewan tersebut kepada pihak terkait dan ini sebaiknya dilakukan secara massal. Melibatkan elemen lain, seperti mahasiswa dan komunitas masyarakat.

Sementara itu, peranan Pengawas Obat Hewan sebagai ujung tombak dalam pengawasan obat hewan juga harus semakin ditingkatkan dan jumlahnya juga sebaiknya semakin diperbanyak. Bahkan, jika perlu, pengawasan obat hewan digabungkan saja menjadi satu dengan instansi pengawas obat dan makanan (BPOM). Terlebih, obat dan obat hewan sebenarnya merupakan zat/bahan/ sediaan yang kandungannya hampir sama. Hanya peruntukan dan dosisnya saja yang membedakan.

Kedua, pemerintah sesuai dengan kewenangannya harus berkomitmen untuk melaksanakan amanat pasal 63 UU Nomor 18 Tahun 2009 sebagaimana dirubah menjadi UU Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Keswan, yakni Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya wajib menyelenggarakan penjaminan higiene dan sanitasi. 

Untuk mewujudkan higiene dan sanitasi sebagaimana dimaksud dilaksanakan: a. pengawasan, inspeksi, dan audit terhadap tempat produksi, rumah pemotongan hewan, tempat pemerahan, tempat penyimpanan, tempat pengolahan,   dan tempat penjualan atau penjajaan serta alat dan mesin produk hewan; b. surveilans terhadap residu obat hewan, cemaran mikroba, dan/atau cemaran kimia; dan  c. pembinaan terhadap orang yang terlibat secara langsung dengan aktivitas tersebut.

Dengan kata lain, dalam hal ini, urgensi Pengawas Kesmavet menjadi kunci dalam pengendalian AMR pada produk pangan asal hewan. Setelah itu, perlu dilakukan penelusuran dan sanksi yang lebih tegas jika ditemukan pelaku yang sengaja melakukan cemaran pangan (terutama residu obat hewan) di sebuah unit usaha.

Kemudian, jumlah pengawas Kesmavet seharusnya juga semakin diperbanyak. Agar keberadaannya merata hingga diseluruh Kabupaten/kota di Indonesia.

Ketiga, perlunya tindakan kongkret seluruh stakeholder dalam mengatasi AMR. Kementerian Pertanian dan World Organization of Animal Health (WOAH) bersama beberapa industri perunggasan dan obat hewan di Indonesia, beberapa saat yang lalu telah mendeklarasikan 5 langkah konkrit dalam usaha mengendalikan Antimicrobial Resistance (AMR) khususnya di Indonesia. 

Deklarasi ini dilaksanakan bertepatan dengan Pekan Perayaan Kesadaran Antimikroba Sedunia yang berlangsung pada tanggal 18 – 24 November 2022. 

Adapun 5 langkah yang dideklarasikan sebagai berikut :

1. Berkomitmen dalam penggunaan antimikroba dengan bijak yang tepat jenis dan tepat dosis sesuai resep dokter hewan dan mendukung program edukasi berkelanjutan.

2. Meningkatkan biosekuriti, vaksinasi, dan tindakan pencegahan untuk mengurangi tingkat infeksi.

3. Mengurangi penggunaan antimikroba di peternakan dan penerapan manajemen limbah yang baik.

4. Berinvestasi dalam pemanfaatan vaksin, antimikroba inovatif, dan teknologi baru untuk menekan laju resistensi antimikroba, dan

5. Berkolaborasi antar industri dan peneliti/akademisi dalam riset, data, dan informasi untuk memerangi resistensi antimikroba.

Semoga dengan komitmen bersama ini, sektor peternakan dan kesehatan hewan mampu mengatasi kejadian AMR di Indonesia. Hal ini sesuai dengan Motto PDHI, yakni Manusya Mriga, Satwa Sewaka. Mensejahterakan hewan, melalui dunia hewan. Semoga!

ditulis oleh: drh. Iwan Berri Prima
Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Vetnesia, Edisi Januari 2023

Thursday, January 12, 2023

PMK dan Kesehatan Hewan



Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) pada hewan ternak seperti Sapi, Kerbau, Domba, Kambing dan Babi sejak muncul kembali dan dinyatakan sebagai wabah di Indonesia pada 9 Mei 2022 oleh Menteri Pertanian hingga saat ini kasusnya masih belum dapat dihentikan. Bahkan, semakin meluas dan terdeteksi hampir di seluruh pulau besar di Indonesia(Kompas, 15/05/2022).

 

Menanggapi hal ini, apresiasi patut diberikan kepada Presiden Jokowi yang telah meminta pihak Kepolisian dan Kementerian Pertanian (Kementan) untuk melakukan berbagai upaya pencegahan, termasuk untuk memperketat lalu lintas hewan pembawa PMK.

 

Namun demikian, karena urusan kesehatan hewan (Keswan) merupakan urusan pilihan bagi pemerintahan daerah, setiap daerah menanggapi persoalan ini dengan beragam. Terutama persoalan tentang otoritas berwenang pengambil keputusan tertinggi yang bersifat teknis Kesehatan Hewan.

 

Berdasarkan data dari Direktorat Kesehatan Hewan Kementan, hingga 13 Mei 2022, Pejabat Otoritas Veteriner (POV) di tingkat Kabupaten/Kota hanya terdapat di 59 Kabupaten/Kota atau hanya 11,47% dari 514 kabupaten/kota di Indonesia. Artinya masih banyak daerah yang belum memiliki POV.

 

Padahal, POV adalah amanah dari Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 dan menurut Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2017, Otoritas Veteriner memiliki fungsi yang sangat strategis. Salah satunya adalah sebagai pelaksana pengendalian dan penanggulangan penyakit Hewan; pelaksana perlindungan Hewan dan lingkungannya; pelaksana penyidikan dan pengamatan Penyakit Hewan; dan lain sebagainya.

 

Jika POV nya saja tidak ada, bagaimana upaya pengendalian dan penanggulangan penyakit hewan akan optimal?

 

Oleh sebab itu, kita patut mendorong Kementerian Dalam Negeri untuk segera melakukan revisi aturan yang mengatur tentang pembagian urusan wajib dan urusan pilihan bagi Pemda. Di mana Kesehatan hewan sejatinya tidak harus beriringan dengan peternakan. Meski Kementeriannya tetap di Kementan, hanya urusannya saja diubah. Urusan kesehatan hewan dari urusan pilihan, diubah menjadi urusan wajib.

 

Terlebih ilmu Kedokteran Hewan sejak tahun 2017 telah dimasukkan dalam rumpun ilmu kesehatan. Satu rumpun dengan kedokteran, kedokteran gigi, apoteker dan tenaga kesehatan lainnya. Di mana rumpun ilmu kesehatan ini merupakan rumpun urusan wajib bagi pemda. Urusan yang harus diselenggarakan oleh pemda.

 

Selain PMK, masih banyak penyakit hewan lain yang juga dapat berdampak meluas dan mampu mengancam ketahanan nasional seperti Rabies, Anthraks, Flu Burung,  Jembrana, Lumpy Skin Disease(LSD), African Swene Fever (ASF) dan lain sebagainya.


Tulisan ini pernah dimuat di Koran Kompas, Edisi Senin, 23 Mei 2022

Pejabat Otoritas Veteriner


Apresiasi patut kita berikan kepada pemerintah, kini penanganan Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) tak hanya bertumpu pada Kementerian Pertanian (Kementan) saja, tetapi juga melibatkan kementerian/lembaga lain secara terintegrasi. Pemerintah membentuk Satuan Tugas Penanganan Penyakit Mulut dan Kuku yang melibatkan sejumlah kementerian/lembaga guna mengefektifkan penanganan (Kompas, 25/06/2022).

 

Namun demikian, untuk mengoptimalkan penanganan kesehatan hewan (Keswan) di daerah, sudah seharusnya pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) juga lebih tegas lagi untuk memberikan sanksi jika ada daerah yang tidak menunjuk Pejabat Otoritas Veteriner (POV). Terbukti, meski sudah sejak tahun 2019, Ditjen Bina Pembangunan Daerah Kemendagri di antaranya melalui surat edaran Nomor: 658/2645/Bangda, telah meminta seluruh Gubernur/ Bupati/ Wali kota di Indonesia untuk menetapkan POV di daerahnya, nyatanya berdasarkan data dari Direktorat Kesehatan Hewan Kementan, hingga 23 Juni 2022, hanya 93 Kabupaten/Kota dan 25 Provinsi yang telah menunjuk POV, sisanya sebanyak 421 Kabupaten/Kota dan 10 Provinsi belum memiliki POV.

 

Akibatnya, POV nya saja tidak ada, bagaimana penanganan penyakit hewan akan optimal? Terlebih penyakit hewan bukan hanya PMK saja, tetapi masih banyak penyakit lainnya, seperti Rabies, Flu Burung, Anthraks, Jembrana, Brucellosis, Filariasis dan lain sebagainya. Terlebih, penunjukan POV juga merupakan amanah dari UU Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan yang telah direvisi dengan dan UU No. 41 Tahun 2014.

 

Selanjutnya, pembentukan dan penetapan POV sejatinya juga sejalan dengan amanah Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 101 tahun 2018 tentang Standar Teknis Pelayanan Dasar pada Standar Pelayanan Minimal Sub Urusan Bencana Daerah Kabupaten/Kota, yakni menjamin bahwa seluruh persoalan yang berhubungan dengan bidang Veteriner akan dikelola secara efektif dan sedemikian rupa dengan mengedepankan hak dan standar perlindungan kesehatan bagi semua warga negara.

 

Namun demikian, hal ini menjadi kontradiktif ketika urusan Keswan masih menjadi urusan pilihan bagi pemerintah daerah, karena Pemda tidak memiliki kewajiban untuk melaksanakan urusan Keswan (veteriner). Oleh karena itu, sejalan dengan kewajiban menunjuk POV di daerah, sudah saatnya Kemendagri juga merevisi aturan yang mengatur tentang pembagian urusan, di mana Urusan Keswan seharusnya menjadi urusan wajib bagi Pemda.

 Tulisan ini pernah dimuat di Koran Kompas, edisi Kamis, 21 Juli 2022

Thursday, January 05, 2023

Lima Kali Ikuti Kongres PDHI


Ada yang menarik dalam acara Kongres PDHI ke 19 di Makassar 2022 pada 14-16 Oktober 2022 yang lalu, selain meriahnya acara dan antusiasnya peserta kongres dari berbagai cabang PDHI diseluruh Indonesia, ada satu sosok dokter hewan yang ternyata sudah 5 kali mengikuti kongres PDHI. Padahal, usianya masih relatif muda, dia adalah drh. Iwan Berri Prima.

Kepada Vetnesia, drh. Iwan Berri Prima yang lahir di Bantul tahun 1985 dan akrab dipanggil drh. Berri itu mengatakan, keikutsertaan kongres PDHI pertama kali dia ikuti pada tahun 2006, Saat itu kongres PDHI ke 15 dan diselenggarakan di DKI Jakarta.

" Pada tahun 2006, saya kala itu masih kuliah. Namun kami diminta oleh PB PDHI dalam hal ini kami bersama teman-teman PB IMAKAHI dan PC IMAKAHI IPB diberi amanah untuk menjadi panitia sekaligus peserta peninjau" ungkap drh. Berri, Jumat, 14 Oktober 2022 disela-sela acara gala Dinner Kongres ke 19 PDHI di hotel Clario Makassar.

Selanjutnya, pada kongres ke 16, tepatnya pada tahun 2010, drh. Berri yang saat itu bekerja menjadi CPNS di Kepulauan Riau (Kepri), pertama kali diutus menjadi delegasi PDHI Cabang untuk mengikuti Kongres ke 16 PDHI di Kota Semarang, Jawa Tengah.

Kemudian, empat tahun berikutnya, yakni pada tahun 2014, drh. Berri kembali diutus oleh PDHI Cabang Kepri untuk menjadi delegasi PDHI Cabang untuk hadir dalam Kongres PDHI ke 17 yang diselenggarakan di Kota Palembang.

Setelah itu, pada tahun 2018, ketika PDHI kembali menyelenggarakan Kongres ke 18, drh. Berri yang merupakan sekretaris umum PDHI Cabang Kepri, kembali diutus untuk mengikuti Kongres ke 18 PDHI yang diselenggarakan di Bali.

Sementara itu, dalam kongres PDHI ke 19 tahun 2022, PDHI Cabang Kepri kembali mengirim delegasinya, salah satunya adalah drh. Iwan Berri Prima.

"Semoga dengan keikutsertaan dalam kegiatan PDHI, khususnya kongres, ini juga menjadi pemacu bagi adik-adik mahasiswa kedokteran hewan dan kolega dokter hewan untuk aktif berorganisasi. Karena, PDHI adalah kita. Terlebih, sejatinya, setiap insan dokter hewan memiliki tanggungjawab untuk memajukan organisasi profesinya. Siapalagi yang akan memajukan PDHI jika tidak dokter hewan. Jelas drh. Iwan Berri Prima.

Sumber: Majalah Vetnesia edisi Oktober 2022

Evaluasi Pelaksanaan Vaksinasi PMK Tahap 1 di Bintan Provinsi Kepri


Sebagai daerah perbatasan Republik Indonesia yang berbatasan dengan negara Jiran, Malaysia dan Singapura, Kabupaten Bintan memiliki potensi pengembangan peternakan yang sangat potensial, salah satunya adalah pengembangan peternakan ternak ruminansia, seperti Sapi dan Kambing. Menurut Khairul, Kepala Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian Kabupaten Bintan, pengembangan peternakan khususnya Sapi dan Kambing Merupakan salah satu kunci terutama untuk pemenuhan kebutuhan daging segar dan kebutuhan hewan kurban di Pulau Bintan. Hampir setiap tahun, Bintan menjadi penyumbang kebutuhan hewan kurban untuk kota sekitarnya, seperti Kota Tanjungpinang dan Kota Batam. Meskipun suplai ini belum mencukupi, namun setidaknya, potensi peternakan di Bintan sangat besar dan dapat berkembang dengan baik dalam rangka ketahanan pangan daerah” ungkap Khairul disela-sela pelaksanaan evaluasi Vaksinasi Tahap 1 di Bintan (12/8/2022).

Sementara itu, sebagai upaya untuk semakin menjaga daerah agar tetap terbebas dari penyakit mulut dan kuku (PMK), Kabupaten Bintan telah merampungkan pelaksanaan vaksinasi PMK tahap 1. Vaksin yang digunakan untuk vaksinasi tahap 1 ini menggunakan vaksin merk Aftopor (Negara Pembuat Perancis) dengan Dosis untuk hewan sapi sebanyak 2 ml per ekor, sedangkan hewan Kambing dengan dosis 1 ml per ekor.

Pada vaksinasi PMK tahap 1 dilaksanakan pada tanggal 1 dan 2 Agustus 2022 yang lalu, dimana saat itu sebanyak 231 ekor hewan ternak sapi berhasil di vaksinasi PMK. Selanjutnya, pada 15 Agustus 2022 sebanyak 135 ekor hewan ternak. Sehingga jumlah total hewan yang berhasil divaksinasi tahap 1 di Kabupaten Bintan adalah sebanyak 366 ekor yang terdiri dari Hewan sapi sebanyak 293 ekor dan hewan kambing sebanyak 73 ekor.

Selanjutnya, terdapat 6 hal catatan sebagai hasil evaluasi pelaksanaan vaksinasi tahap 1 di Kabupaten Bintan: Pertama, pendataan dan penandaan hewan ternak pasca vaksinasi menggunakan Barcode yang dimasukkan kedalam plastic mika dan dikalungkan dengan menggunakan kabel tis di setiap hewan, terlihat sangat efektif. Hingga pelaksanaan vaksinasi berakhir, belum ada keluhan yang berarti berkenaan dengan penandaan tersebut.

Kemudian, kedua: ditemukan 1 ekor hewan sapi pasca vaksinasi yang mengalami pembengkakan, yakni terdapat benjolan (pembengkakan) disekitar lokasi penyuntikan. Kejadian dilaporkan sekitar 1 hari pasca pelaksanaan vaksinasi. Akan tetapi, pembengkakan yang terjadi telah mengalami persembuhan (kembali normal). Terlebih kondisi seperti ini merupakan kondisi normal sebagai salah satu efek samping yang timbul pasca vaksinasi.

Ketiga, pembagian tim yang dibagi kedalam beberapa kelompok sangat memudahkan dan mempercepat proses vaksinasi. Rata-rata pelaksanaan vaksinasi hanya membutuhkan waktu 2-3 jam pasca vaksin disiapkan (dimasukkan ke dalam spuit/ syringe).

Keempat: penyedotan vaksin yang dilakukan didalam ruangan atau dipersiapkannya vaksin terlebih dahulu kedalam spuit (syringe) dan dimasukkan kedalam box pendingin (Cool Box) sangat memudahkan dan mempercepat pelaksanaan vaksinasi. Hal ini juga menghindari terdapat multi tusukan pada botol vaksin yang berakibat pada penurunan kualitas vaksin.

Kelima, kehadiran Satgas Penanganan PMK tingkat kabupaten Bintan seperti Pihak Kepolisian, TNI, BIN, Karantina Pertanian dan anggota Satgas lainnya yang turun langsung bersama-sama dalam vaksinasi PMK memiliki dampak positif. Hal ini terlihat dari atensi masyarakat (peternak) yang mendukung program vaksinasi PMK sangat tinggi. Terbukti pelaksanaan vaksinasi untuk hewan sapi (hewan prioritas) mencapai 100%. Adapun pelaksana vaksinasi adalah dokter hewan dan tenaga vaksinator dari Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian Bintan.

Keenam, pasca vaksinasi, dibutuhkan pelaksanaan monitoring dan evaluasi dalam hal ini perlu dilakukan pengujian titer antibodi. Sehingga hal ini sekaligus Merupakan evaluasi tentang efektifitas program vaksinasi PMK.

Selain itu, Satgas Penanganan PMK Bintan juga mengucapkan terima kasih kepada tim Bidang Peternakan dan Kesehatan Hewan, Dinas Ketahanan Pangan, Pertanian dan Kesehatan Hewan Provinsi Kepri yang menjadi koordinator pelaksanaan vaksinasi PMK di Provinsi Kepri dan kepada PDHI Cabang Kepri yang telah memberikan masukan dan tenaga nya yang telah mensukseskan pelaksanaan vaksinasi PMK tahap 1. Direncanakan pelaksanaan vaksinasi tahap 2 akan dilakukan pada September 2022.

Sementara itu, hingga saat ini kabupaten Bintan Provinsi Kepri masih merupakan zona hijau dan belum ditemukan kasus PMK. Apresiasi patut disampaikan kepada segenap anggota Satgas Penanganan PMK Kabupaten Bintan. Terlebih, upaya mencegah dan mempertahankan daerah tetap zona hijau PMK ditengah wabah PMK secara meluas di Indonesia tentu tidak mudah.

Penulis: Iwan Berri Prima (Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Vetnesia edisi Agustus 2022)