Dokter hewan
Indonesia sejatinya telah berkiprah di Negeri ini sudah cukup lama, adalah Dr.
drh. JA Kaligis tercatat sebagai dokter hewan pribumi atau dokter hewan bangsa
Indonesia pertama yang lulus pada tahun 1910. Oleh karenanya, tidak heran jika
dokter hewan merupakan profesi yang cukup tua di negara ini. Bahkan organisasi
profesi dokter hewan Indonesia (PDHI) telah didirikan sejak 9 januari 1953 dan
pada bulan Januari 2020 ini telah berusia 67 tahun.
Namun demikian, dengan
usia yang sudah “berumur” tersebut apakah dokter hewan Indonesia telah dikenal
luas oleh masyarakat Indonesia? Jawabannya tentu hanya masyarakat Indonesia
yang tahu. Jawabannya Bisa iya, bisa tidak. Variabelnya banyak. Salah satunya tergantung
dimana lokasi / daerah masyarakat itu tinggal. Mungkin bagi masyarakat
Indonesia yang tinggal diperkotaan, mengenal dokter hewan lebih banyak
dibandingkan dengan masyarakat di pedesaan. Alasannya sederhana, di perkotaan
biasanya lebih mudah ditemukan dokter hewan, baik dokter hewan praktik, klinik
hewan maupun lokasi tempat tinggal dokter hewan itu sendiri. Dengan kata lain,
keberadaan dokter hewan secara langsung bisa membuat masyarakat lebih mengenal
dokter hewan. Semakin banyak dokter hewan yang berada ditengah-tengah
masyarakat dan memberikan peranannya ditengah-tengah masyarakat, akan semakin
banyak pula orang yang mengenal dokter hewan. Dengan kata lain, semakin banyak
kampus yang membuka program studi Kedokteran Hewan akan semakin banyak pula
lulusan dokter hewan dan semakin banyak pula orang akan mengenal dokter hewan.
Jika banyaknya
kampus berpengaruh pada tingkat pengenalan dokter hewan ditengah-tengah
masyarakat, maka wajar jika dokter hewan belum banyak dikenal, karena sejak
Indonesia merdeka sampai awal tahun 2010 an, jumlah kampus yang membuka Program
Studi Kedokteran Hewan hanya ada 5 universitas dan itupun semua kampus negeri.
Jumlah lulusannya pun tidak kurang dari 500 orang dokter hewan setiap tahun.
Jumlah itu tentu tidak sebanding dengan jumlah penduduk dan sebaran geografis
di negara Indonesia. Katakanlah jika seluruh pemerintah Kabupaten/Kota
membutuhkan semua, jumlahnya pun masih kurang, karena jumlah Kabupaten/Kota di
Indonesia hingga saat ini berjumlah 514 daerah, belum lagi pemerintah provinsi
dan kementerian yang terkait dengan kesehatan hewan, ada Kementerian Pertanian
(Kementan), Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Kementerian Kesehatan (Kemenkes),
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dan lain sebagainya. Tetapi
pertanyaannya, mengapa dengan kondisi seperti itu justru tidak ada permintaan
pembukaan kampus dengan jurusan kedokteran hewan? Bukankah jika saat itu
masyarakat membutuhkan Dokter Hewan maka akan banyak kampus yang membuka
jurusan kedokteran hewan? Jawabannya bisa sederhana. Rumpun ilmu kedokteran
hewan saat itu masuk dalam rumpun ilmu pertanian. Fokus seorang dokter hewan
lebih banyak mengurusi tentang peningkatan produksi peternakan. Sehingga tidak
heran jika kadang-kadang sulit dibedakan, mana dokter hewan, mana sarjana lain
yang berkaitan dengan bidang peternakan.
Peningkatan
Kompetensi Dokter Hewan
Seiring dengan
semakin kompleks nya penanganan penyakit pada hewan yang berdampak pada
kesehatan masyarakat dan meningkatnya kasus yang berkenaan dengan produk pangan
asal hewan,serta permasalahan lain yang terkait dengan dunia kesehatan hewan
(veteriner) desakan kebutuhan akan dokter hewan semakin terasa dan bahkan saat
ini Kedokteran Hewan masuk dalam rumpun ilmu Kesehatan. Hal ini sesuai dengan
Keputusan Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Ristekdikti) Nomor
257 Tahun 2017 tentang Nama Program Studi pada Perguruan Tinggi. Keputusan ini
kemudian dipertegas kembali melalui Keputusan Dirjen Pembelajaran dan
Kemahasiswaan Nomor: 46 Tahun 2019 tanggal 22 Februari 2019 tentang Daftar Nama
Program Studi pada Perguruan Tinggi.
Didalam daftar nama tersebut, kedokteran hewan (veteriner) masuk kedalam
rumpun ilmu kesehatan, serumpun dengan ilmu atau sains Kedokteran, ilmu atau
sains kedokteran gigi, ilmu farmasi, kesehatan masyarakat, keperawatan,
kebidanan dan ilmu kesehatan lainnya.
Alhasil, hingga
kini terdapat 11 kampus yang telah membuka prodi kedokteran hewan, yakni Universitas
Syiah Kuala (Aceh), IPB (Bogor), Universitas Padjajaran (Bandung), UGM
(Yogyakarta), Universitas Brawijaya (Malang), Universitas Wijaya Kusuma
(Surabaya), Universitas Airlangga (Surabaya), Universitas Udayana (Bali),
Universitas Hasanuddin (Makassar), Universitas Nusa Tenggara Barat (NTB) dan
Universitas Nusa Cendana (NTT). Jumlah ini akan meningkat lagi setelah beberapa
kampus menyatakan akan membuka prodi Kedokteran hewan, seperti Universitas Riau
(Pekanbaru) dan Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Gorontalo.
Banyaknya kampus
ini tentunya kita sambut dengan baik, jika perlu, peranan PDHI sebagai
satu-satunya organisasi profesi dokter hewan secara aktif menggesa penambahan
jumlah kampus tersebut, terutama di daerah yang belum ada kampus yang membuka
Prodi kedokteran Hewan seperti di Kalimantan dan Papua yang belum ada Prodi
Kedokteran Hewannya. Selain itu, upaya peningkatan profesionalitas dokter hewan
juga terus ditingkatkan, salahsatunya dengan upaya peningkatan kompetensi. Meksipun,
kompetensi dokter hewan telah dibuktikan dengan hasil ujian berupa Sertifikat
Kompetensi (Sertikom). Hal ini sesuai dengan UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional dan UU Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan
Kesehatan Hewan sebagaimana diubah menjadi UU nomor 41 Tahun 2014.
Menurut Dr. drh.
H. Rohidin Mersyah, M.MA (Gubernur Bengkulu) yang juga berprofesi sebagai
dokter hewan mengungkapkan bahwa sekurang-kurangnya terdapat 4 (empat) Kategori
ciri-ciri dokter hewan yang berkompeten. Pertama, Memiliki sifat
Kritis. Kritis bukan berarti nyinyir atau rese, tetapi kritis yang berlandaskan
ilmu dan keprofesian. Dokter hewan harus mampu memberikan argument dan
masukannya kepada pihak yang terkait/berwenang jika menemukan sesuatu yang
tidak sesuai, jangan didiamkan. Bahkan dokter hewan tidak boleh cuek. Kritis
juga tidak boleh berdasarkan kepentingan pribadi atau golongan. Kritis harus
berdasarkan kepada kepentingan umum dan masyarakat yang lebih luas. Kedua,
Kreatif. Seorang dokter hewan harus
mampu menciptakan sesuatu yang baru, baik berupa gagasan maupun karya nyata
yang relatif berbeda dengan apa yang telah ada. Jangan tergantung pada modal
atau pendanaan saja. Jangan sedikit-sedikit uangnya mana dan lain sebagainya.
Bahkan kreatifitas yang diwujudkan harus dalam bentuk yang positif. Tidak boleh
merugikan pihak lain. Ketiga, Komunikatif. Seorang Dokter hewan
harus mampu berkomunikasi dengan baik. Bahkan komunikasi menjadi faktor penting
dalam menjalankan pelayanannya kepada masyarakat. Keempat, Kolaboratif.
Seorang dokter hewan harus bisa bekerjasama dengan pihak lain. Tidak boleh
mengedepankan egonya sendiri. Mentang-mentang seorang dokter, lantas tidak mau
bekerjasama dengan orang lain. Bahkan sikap kolaboratif ini juga ditujukan
kepada sesama kolega sebagaimana yang telah diatur melalui Kode Etik Dokter
Hewan Indonesia.
Penguatan
Administrasi dan Legalitas
Terlepas
dari penguatan keilmuan keprofesian dan penguatan kompetensi, serta pentingnya
dokter hewan yang dikenal masyarakat, ternyata ini belum cukup. Dalam
menjalankan pelayanannya kepada masyarakat, aspek penguatan administrasi dan
legalitas dokter hewan juga sangat penting untuk dilakukan. Penguatan
administrasi diantaranya memiliki Kartu Tanda Anggota (KTA) PDHI dan STR (Surat
Tanda Registrasi) Veteriner, sedangkan legalitas diantaranya adalah memiliki
izin dalam menjalankan pelayanan dokter hewan. Hal ini mengingat saat ini
masyarakat semakin kritis. Sebagai contoh, Jangan sampai gara-gara tidak
memiliki KTA PDHI dan artinya juga pasti tidak memiliki STR dan juga SIP DRH
(Surat Izin Praktik Dokter Hewan), seorang dokter hewan digugat dalam
memberikan pelayanan kesehatan hewannya. Termasuk dokter hewan berstatus PNS.
Jika melakukan pelayanan diluar jam kedinasan, wajib memiliki SIP DRH. Itupun
jika dokter hewan PNS tersebut ditunjuk sebagai dokter hewan berwenang. Jika
tidak, berarti dokter hewan yang bersangkutan tidak memiliki kewenangan dalam
memberikan pelayanan kesehatan hewan dan sangat rawan bermasalah jika
dipermasalahkan dikemudian hari.
Semoga
dokter hewan Indonesia semakin professional, kompeten, dikenal luas oleh
masyarakat dan memiliki legalitas yang kuat dalam menjalankan pelayanan
kesehatan hewan. Semoga!
drh. Iwan Berri Prima, MM
Penulis adalah Sekretaris Umum PDHI Cabang Kepri dan Ketua
Umum PB IMAKAHI (Ikatan Mahasiswa Kedokteran Hewan Indonesia) Periode Masa
Bhakti 2006-2008.
Tulisan ini pernah terbit di majalah Vetnesia Edisi 13 Bulan Januari 2020
Tulisan ini pernah terbit di majalah Vetnesia Edisi 13 Bulan Januari 2020