Wednesday, March 11, 2020

Mewujudkan Dokter Hewan Indonesia yang Dikenal Masyarakat dan Kompeten

Dokter hewan Indonesia sejatinya telah berkiprah di Negeri ini sudah cukup lama, adalah Dr. drh. JA Kaligis tercatat sebagai dokter hewan pribumi atau dokter hewan bangsa Indonesia pertama yang lulus pada tahun 1910. Oleh karenanya, tidak heran jika dokter hewan merupakan profesi yang cukup tua di negara ini. Bahkan organisasi profesi dokter hewan Indonesia (PDHI) telah didirikan sejak 9 januari 1953 dan pada bulan Januari 2020 ini telah berusia 67 tahun.

Namun demikian, dengan usia yang sudah “berumur” tersebut apakah dokter hewan Indonesia telah dikenal luas oleh masyarakat Indonesia? Jawabannya tentu hanya masyarakat Indonesia yang tahu. Jawabannya Bisa iya, bisa tidak. Variabelnya banyak. Salah satunya tergantung dimana lokasi / daerah masyarakat itu tinggal. Mungkin bagi masyarakat Indonesia yang tinggal diperkotaan, mengenal dokter hewan lebih banyak dibandingkan dengan masyarakat di pedesaan. Alasannya sederhana, di perkotaan biasanya lebih mudah ditemukan dokter hewan, baik dokter hewan praktik, klinik hewan maupun lokasi tempat tinggal dokter hewan itu sendiri. Dengan kata lain, keberadaan dokter hewan secara langsung bisa membuat masyarakat lebih mengenal dokter hewan. Semakin banyak dokter hewan yang berada ditengah-tengah masyarakat dan memberikan peranannya ditengah-tengah masyarakat, akan semakin banyak pula orang yang mengenal dokter hewan. Dengan kata lain, semakin banyak kampus yang membuka program studi Kedokteran Hewan akan semakin banyak pula lulusan dokter hewan dan semakin banyak pula orang akan mengenal dokter hewan.

Jika banyaknya kampus berpengaruh pada tingkat pengenalan dokter hewan ditengah-tengah masyarakat, maka wajar jika dokter hewan belum banyak dikenal, karena sejak Indonesia merdeka sampai awal tahun 2010 an, jumlah kampus yang membuka Program Studi Kedokteran Hewan hanya ada 5 universitas dan itupun semua kampus negeri. Jumlah lulusannya pun tidak kurang dari 500 orang dokter hewan setiap tahun. Jumlah itu tentu tidak sebanding dengan jumlah penduduk dan sebaran geografis di negara Indonesia. Katakanlah jika seluruh pemerintah Kabupaten/Kota membutuhkan semua, jumlahnya pun masih kurang, karena jumlah Kabupaten/Kota di Indonesia hingga saat ini berjumlah 514 daerah, belum lagi pemerintah provinsi dan kementerian yang terkait dengan kesehatan hewan, ada Kementerian Pertanian (Kementan), Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dan lain sebagainya. Tetapi pertanyaannya, mengapa dengan kondisi seperti itu justru tidak ada permintaan pembukaan kampus dengan jurusan kedokteran hewan? Bukankah jika saat itu masyarakat membutuhkan Dokter Hewan maka akan banyak kampus yang membuka jurusan kedokteran hewan? Jawabannya bisa sederhana. Rumpun ilmu kedokteran hewan saat itu masuk dalam rumpun ilmu pertanian. Fokus seorang dokter hewan lebih banyak mengurusi tentang peningkatan produksi peternakan. Sehingga tidak heran jika kadang-kadang sulit dibedakan, mana dokter hewan, mana sarjana lain yang berkaitan dengan bidang peternakan.

Peningkatan Kompetensi Dokter Hewan
Seiring dengan semakin kompleks nya penanganan penyakit pada hewan yang berdampak pada kesehatan masyarakat dan meningkatnya kasus yang berkenaan dengan produk pangan asal hewan,serta permasalahan lain yang terkait dengan dunia kesehatan hewan (veteriner) desakan kebutuhan akan dokter hewan semakin terasa dan bahkan saat ini Kedokteran Hewan masuk dalam rumpun ilmu Kesehatan. Hal ini sesuai dengan Keputusan Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Ristekdikti) Nomor 257 Tahun 2017 tentang Nama Program Studi pada Perguruan Tinggi. Keputusan ini kemudian dipertegas kembali melalui Keputusan Dirjen Pembelajaran dan Kemahasiswaan Nomor: 46 Tahun 2019 tanggal 22 Februari 2019 tentang Daftar Nama Program Studi pada Perguruan Tinggi.  Didalam daftar nama tersebut, kedokteran hewan (veteriner) masuk kedalam rumpun ilmu kesehatan, serumpun dengan ilmu atau sains Kedokteran, ilmu atau sains kedokteran gigi, ilmu farmasi, kesehatan masyarakat, keperawatan, kebidanan dan ilmu kesehatan lainnya.  
Alhasil, hingga kini terdapat 11 kampus yang telah membuka prodi kedokteran hewan, yakni Universitas Syiah Kuala (Aceh), IPB (Bogor), Universitas Padjajaran (Bandung), UGM (Yogyakarta), Universitas Brawijaya (Malang), Universitas Wijaya Kusuma (Surabaya), Universitas Airlangga (Surabaya), Universitas Udayana (Bali), Universitas Hasanuddin (Makassar), Universitas Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Universitas Nusa Cendana (NTT). Jumlah ini akan meningkat lagi setelah beberapa kampus menyatakan akan membuka prodi Kedokteran hewan, seperti Universitas Riau (Pekanbaru) dan Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Gorontalo.

Banyaknya kampus ini tentunya kita sambut dengan baik, jika perlu, peranan PDHI sebagai satu-satunya organisasi profesi dokter hewan secara aktif menggesa penambahan jumlah kampus tersebut, terutama di daerah yang belum ada kampus yang membuka Prodi kedokteran Hewan seperti di Kalimantan dan Papua yang belum ada Prodi Kedokteran Hewannya. Selain itu, upaya peningkatan profesionalitas dokter hewan juga terus ditingkatkan, salahsatunya dengan upaya peningkatan kompetensi. Meksipun, kompetensi dokter hewan telah dibuktikan dengan hasil ujian berupa Sertifikat Kompetensi (Sertikom). Hal ini sesuai dengan UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan UU Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan sebagaimana diubah menjadi UU nomor 41 Tahun 2014.

Menurut Dr. drh. H. Rohidin Mersyah, M.MA (Gubernur Bengkulu) yang juga berprofesi sebagai dokter hewan mengungkapkan bahwa sekurang-kurangnya terdapat 4 (empat) Kategori ciri-ciri dokter hewan yang berkompeten. Pertama, Memiliki sifat Kritis. Kritis bukan berarti nyinyir atau rese, tetapi kritis yang berlandaskan ilmu dan keprofesian. Dokter hewan harus mampu memberikan argument dan masukannya kepada pihak yang terkait/berwenang jika menemukan sesuatu yang tidak sesuai, jangan didiamkan. Bahkan dokter hewan tidak boleh cuek. Kritis juga tidak boleh berdasarkan kepentingan pribadi atau golongan. Kritis harus berdasarkan kepada kepentingan umum dan masyarakat yang lebih luas. Kedua, Kreatif. Seorang dokter hewan harus mampu menciptakan sesuatu yang baru, baik berupa gagasan maupun karya nyata yang relatif berbeda dengan apa yang telah ada. Jangan tergantung pada modal atau pendanaan saja. Jangan sedikit-sedikit uangnya mana dan lain sebagainya. Bahkan kreatifitas yang diwujudkan harus dalam bentuk yang positif. Tidak boleh merugikan pihak lain. Ketiga, Komunikatif. Seorang Dokter hewan harus mampu berkomunikasi dengan baik. Bahkan komunikasi menjadi faktor penting dalam menjalankan pelayanannya kepada masyarakat. Keempat, Kolaboratif. Seorang dokter hewan harus bisa bekerjasama dengan pihak lain. Tidak boleh mengedepankan egonya sendiri. Mentang-mentang seorang dokter, lantas tidak mau bekerjasama dengan orang lain. Bahkan sikap kolaboratif ini juga ditujukan kepada sesama kolega sebagaimana yang telah diatur melalui Kode Etik Dokter Hewan Indonesia.

Penguatan Administrasi dan Legalitas
Terlepas dari penguatan keilmuan keprofesian dan penguatan kompetensi, serta pentingnya dokter hewan yang dikenal masyarakat, ternyata ini belum cukup. Dalam menjalankan pelayanannya kepada masyarakat, aspek penguatan administrasi dan legalitas dokter hewan juga sangat penting untuk dilakukan. Penguatan administrasi diantaranya memiliki Kartu Tanda Anggota (KTA) PDHI dan STR (Surat Tanda Registrasi) Veteriner, sedangkan legalitas diantaranya adalah memiliki izin dalam menjalankan pelayanan dokter hewan. Hal ini mengingat saat ini masyarakat semakin kritis. Sebagai contoh, Jangan sampai gara-gara tidak memiliki KTA PDHI dan artinya juga pasti tidak memiliki STR dan juga SIP DRH (Surat Izin Praktik Dokter Hewan), seorang dokter hewan digugat dalam memberikan pelayanan kesehatan hewannya. Termasuk dokter hewan berstatus PNS. Jika melakukan pelayanan diluar jam kedinasan, wajib memiliki SIP DRH. Itupun jika dokter hewan PNS tersebut ditunjuk sebagai dokter hewan berwenang. Jika tidak, berarti dokter hewan yang bersangkutan tidak memiliki kewenangan dalam memberikan pelayanan kesehatan hewan dan sangat rawan bermasalah jika dipermasalahkan dikemudian hari.
Semoga dokter hewan Indonesia semakin professional, kompeten, dikenal luas oleh masyarakat dan memiliki legalitas yang kuat dalam menjalankan pelayanan kesehatan hewan. Semoga!

drh. Iwan Berri Prima, MM
Penulis adalah Sekretaris Umum PDHI Cabang Kepri dan Ketua Umum PB IMAKAHI (Ikatan Mahasiswa Kedokteran Hewan Indonesia) Periode Masa Bhakti 2006-2008.

Tulisan ini pernah terbit di majalah Vetnesia Edisi 13 Bulan Januari 2020

    Choose :
  • OR
  • To comment