Kepulauan
Riau (Kepri) bersama dengan Bangka-Belitung (Babel) merupakan daerah yang masih
dinyatakan bebas penyakit Rabies secara Historis yang ada di Sumatera. Setelah
sebelumnya kepulauan Nias (Sumatera Utara), namun sejak dilaporkan ada kasus
rabies di Nias beberapa waktu yang lalu. Nias pun kini sebagai daerah tertular.
Adalah wajib bagi kita untuk bersyukur
dan mempertahankan status bebas Rabies di negeri ‘Berpancang Amanah Bersauh
Marwah’ ini.
Dalam beberapa bulan
terakhir, wabah penyakit Rabies atau dikenal dengan sebutan Anjing Gila,
tampaknya benar-benar ‘menggila’ dengan memakan banyak korban di negeri ini,
baik korban pada hewan (terutama Anjing) maupun korban pada Manusia. Adapun
kejadian terbesar merebaknya rabies di Indonesia pada lima tahun terakhir
adalah munculnya kasus rabies di pulau Bali pada akhir tahun 2008 yang lalu,
kini rabies secara perlahan namun pasti mulai ‘merambah’ dibeberapa daerah di
Indonesia.
Bali sebagai simbol pariwisata Internasional kebanggaan Indonesia
memang secara historis merupakan daerah bebas Rabies. Artinya, sejak ada
kehidupan manusia di Bali (sejak nenek moyang), kasus Rabies di negeri pulau
Dewata tersebut belum pernah ada dan atau belum pernah dilaporkan. Namun,
status bebas rabies tersebut harus berubah setelah pada akhir tahun 2008,
dilaporkan terdapat kasus positif Rabies di Bali. Hal ini sesuai dengan
pernyataan yang tertuang dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 1637 Tahun
2008 tertanggal 1 Desember 2008. Hingga pertengahan Januari 2011, setidaknya
sudah lima orang meninggal dunia akibat rabies di Bali.
Pelajaran berharga dari kasus
Rabies di Bali sudah selayaknya dapat kita ambil. Secara geografis, pulau Bali
tidak jauh berbeda dengan provinsi Kepri. Yakni, daerahnya berupa pulau yang
dipisahkan oleh lautan dan merupakan daerah potensi pariwisata (Khususnya
Kabupaten Bintan). Bahkan secara historis pun, dulu Bali dan Kepri adalah
sama-sama daerah bebas rabies. Status bebas ini didasarkan sejak dikeluarkannya
Hondsdolhed Ordonantie (staatblad
1926, No. 451 yunto Stbl 1926 No. 452) yang menyatakan bahwa beberapa wilayah
karesidenan dan pulau di Hindia Belanda (Indonesia) pada masa itu bebas rabies.
Termasuk di antaranya wilayah Karesidenan Bali dan Karesidenan Riau (Afdelling
Tanjungpinang).
Penyakit
Mematikan
Rabies atau penyakit anjing
gila adalah penyakit hewan yang disebabkan oleh virus yaitu Lyssa virus dari famili Rhabdo viridae yang bersifat zoonosis
(penyakit yang dapat ditularkan dari hewan ke manusia dan atau sebaliknya)
dengan angka kematian (case fatality rate)
mencapai 100%, sehingga rabies dikenal sebagai penyakit yang hampir selalu
mematikan (almost always fatal) bila
telah timbul gejala klinis, baik pada hewan maupun manusia. Penyakit ini dilaporkan
bisa menyerang pada semua hewan berdarah panas, khususnya karnivora seperti
Anjing, kucing, Kera dan sebangsanya. Terutama Anjing, jika seekor anjing
terinfeksi virus rabies ini dan menggigit manusia, manusia tersebut dapat tertular
penyakit Rabies.
Masa inkubasi rabies yakni
waktu antara penggigitan sampai timbulnya gejala penyakit pada anjing kurang
lebih 2 minggu (10 hari - 14 hari) dan Pada manusia sekitar 2-3 minggu atau
paling lama 1 tahun setelah manusia tergigit. Di Indonesia, 98 persen penularan
rabies pada manusia terjadi melalui gigitan anjing, dua persen melalui gigitan
kucing dan kera, sedangkan penularan rabies melalui kelelawar belum pernah
dilaporkan. Penularan rabies oleh kelelawar pernah terjadi di negara Amerika
latin.
Adapun ciri-ciri hewan
terserang Rabies dapat ditunjukkan dengan beberapa tahap, diantaranya: pertama,
Tahap Prodormal ditandai dengan
hewan mencari tempat dingin dan menyendiri, tetapi dapat menjadi lebih agresif,
pupil mata meluas dan sikap tubuh kaku (tegang). Tahap ini berlangsung selama
1-3 hari . Setelah tahap Prodormal dilanjutkan tahap Eksitasi (dilaporkan bisa
juga langsung ke tahap Paralisa). Kedua,
tahap Eksitasi ditandai dengan hewan menjadi ganas dan
menyerang siapa saja yang ada di sekitarnya dan memakan sesuatu yang bukan
makanannya. Selanjutnya mata menjadi keruh dan selalu terbuka dengan tubuh
gemetaran. Ketiga, Tahap Paralisa ditandai dengan Hewan mengalami kelumpuhan pada
semua bagian tubuh dan berakhir dengan hewan mengalami kematian.
Kerjasama
Berbagai Pihak
Menjaga dan mempertahankan
Kepri sebagai daerah yang bebas rabies merupakan tugas kita semua. Tugas ini
tentunya melibatkan berbagai sektor (lintas sektoral) dan membutuhkan dukungan
dan partisipasi segenap masyarakat. Terlebih, daerah lain, seperti Kota Pekanbaru
(Riau) pada saat ini terjadi peningkatan kasus rabies, tercatat hingga akhir
tahun 2010 saja dilaporkan sudah terjadi
sedikitnya 28 kasus. Dibandingkan dengan tahun 2008 kasus rabies terjadi sebanyak
33 kasus, dan kemudian turun pada tahun 2009 yang hanya terjadi 19 kasus.
Bahkan Kasus orang yang terkena gigitan anjing gila atau rabies di Provinsi
Riau sejak Januari hingga Desember 2010 sudah mencapai sedikitnya 865 kasus.
Jumlah ini meningkat dibandingkan tahun lalu yang hanya mecapai 754 kasus.
Selain Bali dan Riau,
Provinsi Sumatera Barat, Sumatera Utara, Jambi, Aceh, Sulawesi Utara, NTT, dan beberapa daerah lainnya pun
mengalami ‘masalah’ yang serupa. Laporan dari kementrian Kesehatan, hingga awal
2011 hanya ada 9 provinsi yang masih dinyatakan sebagai daerah bebas, yaitu
Provinsi Kepulauan Riau, Bangka Belitung, DKI Jakarta, Jawa Tengah, DI
Yogyakarta, Jawa Timur, NTB, Papua, dan Papua Barat. Oleh karenanya, sangat wajar jika Rabies
adalah musuh bersama yang harus diperangi dan dicegah penularannya. Bahkan
kementrian kesehatan RI menempatkan Rabies diurutan kedua setelah Flu Burung
sebagai zoonosis yang harus ditanggulangi.
Disamping itu, berdasarkan
hasil Rakor Rabies se-sumatera pada beberapa saat yang lalu, di Kota Batam,
gambaran kasus rabies selama 5 (lima) tahun terakhir di Sumatera belum
menunjukkan penurunan yang signifikan, sehingga perlu dicanangkan program
pengendalian dan pemberantasan bersama yang lebih efektif dan terintegrasi. Coverage
vaksinasi HPR (Hewan Penular Rabies) yang dilakukan di Sumatera dari tahun 2006
s/d 2010 hanya berkisar 6,63 % s/d 12,76 % dari populasi, hal ini sangat jauh
dari coverage vaksinasi rabies yang ideal, yaitu minimal 70 % dari populasi.
Dalam mempertahankan Kepri
sebagai daerah bebas Rabies, langkah utama yang dapat dilakukan adalah dengan
melakukan pengawasan yang ketat terhadap lalu lintas pemasukan hewan penular
Rabies (Anjing, Kucing, Kera dan Hewan sebangsanya). HPR dari daerah tertular
rabies dilarang masuk ke Kepri. Bagi pemelihara hewan, agar senantiasa
memperhatikan kesehatan hewan dan kebersihannya. Konsultasikan dan periksakan
kesehatan hewannya secara berkala ke dokter hewan. Bila anjing tidak
dikandangkan atau sedang diajak berjalan-jalan, upayakan dirantai atau tidak
diliarkan.
Lagi-lagi upaya tersebut
harus benar-benar didukung oleh masyarakat. Sinergisme antara masyarakat
pemilik hewan, pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah harus
terjalin. Yang menjadi bahaya adalah jika ada masyarakat yang entah mengerti
akan bahaya rabies atau tidak, memasukkan HPR ke wilayah Kepri melalui jalan
‘belakang’. Oleh karenanya, langkah nyata Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau
dengan melarang memasukkan hewan penular Rabies kedalam wilayah propinsi Kepri
melalui Surat Edaran Gubernur Kepri Nomor 0257.b/kdh.kepri.524/04.09 patut
kiranya menjadi perhatian bagi segenap masyarakat.
Selain itu, menurut
Undang-undang nomor 18 Tahun 2009 Tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan bahwa Setiap orang yang melakukan pemasukan dan/atau pengeluaran hewan, produk
hewan, dan/atau media pembawa penyakit wajib memenuhi persyaratan teknis
kesehatan hewan dan Pasal 45 (ayat 1) bahwa Setiap orang, termasuk peternak,
pemilik hewan, dan perusahaan peternakan yang berusaha di bidang peternakan
yang mengetahui terjadinya penyakit hewan menular wajib melaporkan kejadian
tersebut kepada Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau dokter hewan berwenang
setempat.
Semoga Kepri
sebagai salahsatu daerah yang bebas rabies secara historis tetap terus terjaga
dan dipertahankan. Hal ini mengingat, permasalahan penyakit rabies, secara nyata tidak sedikit
telah memakan korban manusia meninggal, menghabiskan pikiran, waktu, tenaga,
dan kerugian ekomomi hingga jutaan bahkan miliaran rupiah dalam penanganannya.
Terlebih, kepri sebagai daerah investasi dan pariwisata tentunya tidak ingin
‘terganggu’ gara-gara rabies. Bukankah menjaga lebih baik dari pada
memberantas? Mari terus bersinergisme!!
drh.
IWAN BERRI PRIMA
Sekretaris
Umum Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia
(PDHI) Cabang Kepulauan Riau
Tulisan ini pernah di muat di koran Harian Tanjungpinang Pos , edisi Kamis, 1 Oktober 2015