Adalah menjadi tugas manusia sebagai mahluk paling
sempurna (khalifah di muka bumi) untuk mengamankan, mengembangkan dan
memanfaatkan alam demi kemaslahatan seluruh kehidupan. Terutama yang terkait
dengan masalah fauna (hewan).
Jika kita amati, hewan diciptakan Tuhan YME dan ada di alam ini dalam berbagai
jenis, cara hidup , habitat, sifat dan
berbagai kekhususannya (spesies yang karakteristik).
Secara alami, hewan tidak mendatangi dan mendekati manusia. Akan tetapi manusia yang memburu hewan dan memeliharanya untuk dimanfaatkan bagi kepentingan hidup manusia, baik sebagai hewan pangan dan hewan non pangan.
Secara alami, hewan tidak mendatangi dan mendekati manusia. Akan tetapi manusia yang memburu hewan dan memeliharanya untuk dimanfaatkan bagi kepentingan hidup manusia, baik sebagai hewan pangan dan hewan non pangan.
Secara khusus (spesifik),
kepemilikan hewan oleh manusia didasarkan pada beberapa hal: pertama, karena memiliki nilai ekonomi/ profit (hewan pangan/hewan
produksi), kedua, karena nilai psikologis dan empati bagi pemilik perorangan (hewan hobby/ hewan kesayangan/ companion animal). Ketiga, hewan mempunyai fungsi pendukung
khusus bagi negara (pengamanan dan penertiban) misalnya anjing pelacak dan kuda
penertib dikeramaian (hewan pekerja milik negara). Keempat, karena
memiliki status khusus berdasarkan kesepakatan internasional sehingga merupakan
satwa dilindungi (hewan/satwa konservasi),
kelima, karena diperlukan
untuk kemajuan penelitian ilmu kedokteran/ pengetahuan lainnya (hewan laboratorium). Keseluruhan kepentingan ini membawa
kepada diperlukannya tanggung jawab profesi (dokter hewan) dengan perangkat
lembaganya dan hukum yang mengaturnya, agar manusia dapat meningkatkan jumlah
hewan dan melestarikannya semaksimal mungkin dan bukan memusnahkan hewan serta
semena-mena dalam kepentingan pemanfaatan hewan(eksploitasi berlebihan).
Ilmu pengetahuan dan keahlian dalam menangani
hewan
Untuk mempermudah dalam mempelajari hewan membutuhkan
disiplin ilmu tersendiri. Ilmu tersebut diantaranya adalah pertama, Ilmu – ilmu umum
tentang hewan, yaitu mempelajari dan menangani hewan sebagai makhluk hidup,
meliputi kesarjanaan bidang Ilmu Biologi,
bidang Ilmu Kehutanan (minat satwa liar), bidang Kelautan dan Perikanan
(Satwa/hewan Akuatik) dan bidang Peternakan (hewan pangan/hewan pertanian). Namun
demikian, keempat bidang ilmu ini tidak termasuk dalam ilmu kedokteran hewan
sehingga tidak mempunyai kewenangan medik yang khas kedokteran karena tidak
berkewenangan untuk melakukan pemeriksaan klinik, Nekropsi Pathologi dan
Pathologi Klinik, Farmakologi Veteriner dan Ilmu Medik Reproduksi (penyakit
reproduksi, gangguan kesuburan/kemajiran, masalah kebidanan dan
terapinya). Kedua, Ilmu –
ilmu Kedokteran Hewan dipergunakan untuk menangani urusan mengenai hewan dan
penyakit-penyakitnya (fungsi
veteriner) berkaitan jaminan keamanan (security)
termasuk tidak mengambil resiko yang
dapat mengganggu kesehatan (safety) baik dari hewan ke hewan dan utamanya dari hewan ke manusia yang
bertujuan untuk menjamin kesehatan manusia,
kesehatan masyarakat dan kesehatan lingkungan dengan mengacu kepada pedoman-pedoman dan informasi internasional. Dalam cakupan
ilmu ini termasuk pula penerapan ilmu medik (promotif, preventif, kuratif dan
rehabilitatif) serta rambu – rambu profesi kedokteran (kode
etik dan sumpah dokter). Hal ini
untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan keilmuan dan keahlian (mal praktek dan maletik) yang dapat
membahayakan dan merugikan masyarakat.
Permasalahan Veteriner
Jika kita telaah, permasalahan veteriner atau
segala urusan mengenai hewan dan penyakit-penyakitnya di Indonesia akhir-akhir
ini menunjukkan tingkat yang sangat membahayakan. Sebagai contohnya adalah
penyebaran penyakit zoonosa (penyakit yang ditularkan dari hewan ke manusia,
atau sebaliknya) seperti flu burung (Avian
Influenza/AI). Sampai saat ini (2 Oktober 2007), menurut data dari Pusat
Komunikasi Publik, Depkes, kasus positif (confirm)
flu burung pada manusia di Indonesia mencapai 107 orang dengan 86 orang
diantaranya meninggal dunia. Hal ini semakin meneguhkan bahwa Indonesia
merupakan negara nomor satu dunia terbanyak kasus flu burung. Selain flu
burung, zoonosis lain yang juga disebabkan karena kurang seriusnya dalam
menangani permasalahan veteriner seperti Rabies, Anthrax, Toxoplasmosis dan
masih banyak lagi yang lain, kasusnya tidak pernah tuntas, bahkan secara
sporadik muncul berulang diberbagai tempat.
Selain zoonosis, permasalahan keamanan pangan (food safety) yang terkait dengan
kesehatan masyarakat veteriner (kesmavet) pada akhir-akhir ini (saat puasa dan
menjelang lebaran) juga menunjukkan tingkat yang cukup mengkhawatirkan.
Kebijakan pemerintah mengimpor daging (jerohan) berasal dari negara belum bebas
penyakit tertentu (Sapi gila, Penyakit Mulut dan Kuku dll), modus daging
glonggongan, ayam tiren (mati kemarin), daging oplosan (sapi dengan babi), ayam
berformalin, ayam suntik dan berbagai masalah keamanan produk hewan lainnya
belum ditangani secara baik, sehingga berpotensi mengancam kesehatan manusia
dan meresahkan masyarakat.
Selain itu, Indonesia sebagai negara yang telah
menanda tangani suatu kesepakatan Internasional GATT (General Agreement on Tariffs and Trade) dan kemudian diratifikasi
melalui UU No.7 Tahun 1994 dengan berisikan 2 point perjanjian penting yang
mengatur masalah-masalah yang berkaitan dengan standar dan perlindungan
kesehatan serta keselamatan masyarakat dan lingkungan hidup, yakni Perjanjian
TBT (Technical Barriers to Trade) dan
Perjanjian SPS (Sanitary and
Phytosanitary). Pemerintah Indonesia harus komitmen dan bertanggungjawab
untuk mematuhinya
Ciri Khas Fungsi Veteriner
Berdasarkan permasalahan veteriner tersebut, hal
ini tentunya membutuhkan peran penting profesi dokter hewan, yang secara moral
memiliki fungsi yang khas dan tanggung jawab sebagai profesi medis yang di
sumpah. Adapun ciri khas fungsi veteriner adalah untuk menjamin perlindungan
kepada manusia, masyarakat dan lingkungan dari keberadaan hewan dan penyakitnya
serta pemanfaatan produk asal hewan dengan kemungkinan adanya residu dan
penyakit. Fungsi Veteriner di setiap negara harus sejalan dengan kesepakatan –
kesepakatan dan ketentuan di dalam OIE (Organisasi Kesehatan Hewan Dunia) yang
meliputi kewajiban menyusun berbagai persyaratan guna keperluan perdagangan dan
lalu lintas hewan yang memenuhi perjanjian SPS (Sanitary and Phito Sanitary) yaitu : pertama, Melindungi kehidupan atau kesehatan hewan di dalam wilayah
setiap negara anggota dan resiko yang ditimbulkan dari masuk atau berkembangnya
atau menyebarnya hama, penyakit, organisme pembawa penyakit atau organisme
penyebar penyakit. kedua, Melindungi
kehidupan dan kesehatan manusia dari resiko yang ditimbulkan oleh bahan
tambahan (additives), kontaminan,
toksin atau organisme penyebab penyakit dalam makanan, minuman dan pakan (food borne diseases). Ketiga, Melindungi kehidupan dan
kesehatan manusia dari resiko timbulnya penyakit yang terbawa oleh hewan, atau
produknya atau dari masuknya, berkembangnya, menyebarnya penyakit sampar (Pest).
Keempat, Mencegah atau membatasi
kerusakan lingkungan atau lainnya dari masuknya, berkembangnya atau menyebarnya
penyakit sampar (Pest).
Dengan demikian, sudah jelas bahwa profesi dokter
hewan memiliki misi yang mulia dalam penyelamatan bangsa. Hal ini sesuai dengan
tujuan bangsa Indonesia sebagaimana tercantum dalam UUD 1945 yaitu: Melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan
sosial.
Iwan Berri Prima
Tulisan ini pernah dimuat di Koran Harian Tanjungpinang Pos Edisi Kamis 7 Maret 2013