Tuesday, June 02, 2009

Opini : Patuhilah Tata Laksana Pemotongan Hewan Kurban

 

Tidak lama lagi, bahkan hanya dalam hitungan hari, umat muslim se-dunia akan merayakan Hari Raya Idul Adha atau juga dikenal dengan Hari Raya Kurban, demikian pula tidak ketinggalan bagi umat muslim yang ada di Provinsi Kepulauan Riau. Hari raya Idul Adha merupakan hari raya yang memiliki makna tersendiri bagi seluruh umat Islam, selain menjalankan ibadah haji ke tanah suci Mekkah, bagi umat Islam yang telah mampu diwajibkan pula untuk melaksanakan pemotongan hewan kurban. Sebuah kegiatan ibadah yang tentunya memiliki sarat makna, terutama menanamkan makna rela berkurban.

Di Indonesia, pelaksanaan pemotongan hewan kurban dilakukan hampir disetiap tempat, baik di halaman masjid, dihalaman kantor kelurahan, di lapangan sepakbola maupun di tempat yang lainnya, tersebar baik di kota maupun di desa. Hal ini cukup berbeda jika dibandingkan dengan negara maju di Eropa, di mana pemotongan hewan kurban hanya dilakukan di Rumah Potong Hewan (RPH) atau slaughterhouse dan abattoir. Bahkan, di Tanah Suci Mekah sekalipun, pemotongan hewan kurban juga tidak dilakukan di pelataran masjid atau di pelataran kantor, apalagi di lapangan sepakbola. Mereka tetap melaksanakan pemotongan di tempat-tempat tertentu yang telah ditunjuk oleh pemerintah setempat, yakni di RPH.
RPH merupakan sebuah bangunan atau kompleks bangunan dengan desain dan persyaratan tertentu untuk melaksanakan pemotongan hewan, khususnya hewan untuk konsumsi masyarakat. Setiap tahap pemeriksaan dan pemotongannya, kegiatannya ditunjang dengan sarana dan prasarana yang memadai (berdasarkan standar yang telah ditetapkan) dan diperhatikan secara seksama oleh dokter hewan dan tenaga ahli lainnya (keurmesster), sehingga aspek kesehatan daging (meat higyene) terjaga dari banyaknya kontaminan mikroba penyebab sakit pada konsumen yang akan mengkonsumsi daging tersebut.
Selain itu, di RPH, pemeriksaan ante-mortem dan pemeriksaan post-mortem pun sangat ketat dilaksanakan. Pemeriksaan ante-mortem adalah serangkaian prosedur pemeriksaan atau uji terhadap hewan hidup sebelum pemotongan / penyembelihan untuk menentukan apakah hewan boleh disembelih atau tidak, sedangkan  pemeriksaan post-mortem adalah serangkaian prosedur pemeriksaan yang dilaksanakan petugas pemeriksa pada semua bagian dari hewan yang telah disembelih yang relevan dengan tujuan pemeriksaan dalam rangka penetapan keamanan dan kelayakan daging yang diperiksa. Oleh karena itu, keamanan pangan (food safety) merupakan sebuah jaminan yang ditawarkan oleh RPH, khususnya untuk menghasilkan daging yang ASUH (Aman, sehat, utuh dan halal).
Tanpa berniat untuk mengurangi makna berkurban, sebagai masyarakat yang peduli terhadap kesehatan, baik kesehatan diri sendiri, keluarga, maupun kesehatan masyarakat dan lingkungan, upaya meminimalisir kontaminasi dan penularan penyakit hewan, harus diupayakan semaksimal mungkin. Terlebih, hewan tersebut adalah hewan kurban yang akan dikonsumsi oleh masyarakat luas. Terutama di Indonesia, budaya pemotongan hewan kurban di ‘sembarang’ tempat harus mendapat perhatian kita semua. Aspek kebersihan dan hygene daging kurban patut mendapat perhatian khusus. Minimal, jika tidak ada dokter hewan dan atau petugas kesehatan daging yang melakukan pemantauan, panitia kurban secara berkomitmen melakukan pengawasan, menegur jika ada panitia yang ‘nakal’ dengan tidak menjaga kebersihan. Karena tidak jarang kita temukan panitia hewan kurban yang masih sambil merokok ketika memproses daging, atau bahkan ada yang batuk-batuk tanpa menggunakan masker (penutup mulut dan hidung) ketika memproses daging. Sungguh, tindakan seperti ini secara pelan tapi pasti harus diupayakan diminimalisir. Seharusnya jika perlu, panitia hewan kurban menetapkan atau membentuk Tim pemroses daging (diupayakan yang ahli dalam pemotongan dan pemrosesan daging) tanpa harus semua orang ‘ikut nimbrung’ dalam pemrosesannya. Kita sepakat, budaya atau tradisi tidak boleh mengabaikan kesehatan masyarakat.

Penyakit hewan
            Pemotongan hewan kurban dengan memperhatikan aspek kesehatan daging (meat higyene) dan melaksanakan prosedur pemeriksaan ante-mortem dan post-mortem, tidak hanya bertujuan untuk mengurangi penyakit hewan yang dapat ditularkan ke manusia akibat konsumsi daging, seperti Trichinosis, Echinococcosis, Cacing pita, Anthrax, Tuberculosis (TB) dan lain-lain. Akan tetapi juga dapat mencegah meluasnya penularan penyakit, sebut saja Anthrax. Hewan yang terkena anthrax biasanya akan terdeteksi pada pemeriksaan ante-mortem. Meskipun Provinsi Kepulauan Riau masih di nyatakan sebagai daerah bebas anthrax, tentu saja kita tetap waspada dengan penyakit ini, mengingat, Anthrax merupakan salah satu penyakit prioritas nasional yang harus diberantas. Pada pemeriksaan sebelum hewan dipotong, panitia kurban atau masyarakat yang akan berkurban harus jeli dalam memilih hewan tersebut dalam keadaan sehat atau sakit. Salah satu tanda hewan sehat dapat kita amati dari tampilan fisik (diagnose fisik), yaitu hewan terlihat lincah/aktif, bulu/rambut tidak kusam/tidak berdiri terlihat mengkilat lembut, moncong hidung lembab, mata bening dan bersih serta napsu makan dan minum baik.
Selain itu, setelah secara tampilan diyakini sehat, tindakan dan perlakuan setelah pemotongan hewan kurban juga menjadi titik penting. Dengan program pemeriksaan antemortem (setelah hewan disembelih) ini diharapkan dapat mengurangi penyakit hewan seperti tuberculosis (TB) dan paratyphus anak sapi, serta diharapkan pula dapat menjadi batas yang tajam antara daging yang dianggap baik dan boleh diedarkan ke konsumen dengan daging yang harus diperlakukan khusus sebelum diedarkan atau daging yang harus dimusnahkan. Oleh sebab itu, dalam pemeriksaan di lapangan selalu diupayakan ada petugas kesehatan hewan (dokter hewan) dan paramedic veteriner atau petugas yang berkompeten dan berwenang dibawah kordinasi dan pengawasan dokter hewan berwenang dari dinas peternakan/kesehatan hewan setempat. Kita patut bersyukur, dalam beberapa tahun terakhir ini di wilayah provinsi Kepri tidak ditemukan kejadian wabah dan kesakitan yang luar biasa dari masyarakat setelah mengkonsumsi daging hewan kurban. Tentunya kondisi ini tetap terus kita pertahankan.
Selain aspek penyakit hewan kurban, aspek lain yang perlu diperhatikan dalam mewujudkan hewan kurban aman dan layak konsumsi adalah aspek kesempurnaan pengeluaran darah dan umur hewan.

Kesempurnaan pengeluaran darah
            Dalam ajaran Islam, darah merupakan bagian tubuh yang hukumnya haram jika dikonsumsi. Hewan yang mati dengan tidak disembelih, pengeluaran darahnya tidak sempurna. Oleh karena itu, upaya pengeluaran darah secara sempurna, harus diperhatikan dan menjadi prioritas dalam penyembelihan hewan kurban. Hewan kurban yang terlalu stress dan sulit/galak pada saat akan dilakukan penyembelihan, biasanya juga pengeluaran darahnya tidak sempurna. Oleh karena itu, dalam melakukan penyembelihan ada teknik tertentu yang perlu diperhatikan, khususnya teknik dalam menggulingkan hewan ternak besar.
Secara medis, hewan yang dipotong dengan pengeluaran darah yang tidak sempurna, akan dijumpai banyak hemoglobin (Hb) dalam daging. Hb merupakan media yang paling disukai mikroba, sehingga pengeluaran darah yang tidak sempurna akan mempercepat pembusukan pada daging. Salahsatu cara untuk mengeluarkan darah agar sempurna adalah dengan menggantungkan daging. Minimal, khusus untuk ternak kambing/domba, ketika melakukan pengulitan dilakukan dengan cara menggantung.


Umur hewan
            Umur hewan merupakan salah satu syarat sah hewan kurban. Untuk itu penentuan umur sebelum hewan kurban dipotong perlu diperhatikan. Berdasarkan pengalaman lapang, selama ini banyak ditemukan hewan kurban yang belum cukup umur, meskipun badan hewan tersebut berperawakan besar. Bahkan tidak jarang penjual hewan kurban pun masih salah dalam menentukan umur. Apalagi jika penjual hewan kurban tersebut hanya berorientasi pada kepentingan ekonomi semata. Hewan yang sebenarnya belum cukup umur, tapi dinyatakan sudah cukup umur.
Oleh sebab itu,  pengetahuan dari calon pembeli hewan dalam menentukan umur sangat dibutuhkan. Umur hewan kurban untuk domba atau kambing adalah telah berumur minimal satu tahun atau lebih (yang telah berganti gigi), sedangkan untuk hewan sapi atau kerbau adalah minimal 2 tahun atau yang telah berganti gigi.
Penentuan umur kambing atau domba dapat dilakukan dengan memperhatikan pergantian gigi susu pertama (I1) menjadi gigi tetap. Adapun untuk menentukan umur sapi yang perlu diperhatikan adalah kondisi gigi yang meliputi pertukaran gigi seri susu dengan gigi seri tetap, perecupan gigi seri, pergesekan, dan bintang gigi. Jika gigi seri susu I1 sudah berganti dengan gigi seri tetap dan sudah merecup, berarti umur sapi 2 tahun. Jika gigi seri susu I2 sudah berganti dan merecup, berarti umur sapi 3 tahun. Jika gigi seri susu I3 sudah berganti dan merecup, umur sapi 3,5 tahun. Jika semua gigi seri telah berganti (I4) dan merecup, umur sapi 4 tahun. Jika I4 ada tanda pergesekan berarti umur sapi 5 tahun. (Timan 2003). Dengan kata lain, tanggal atau telah bergantinya gigi tengah (gigi susu) menjadi gigi tetap menjadi pedoman umum bagi kita untuk mengetahui hewan kurban telah berumur atau belum. Jika seluruh giginya masih sama dan rata kecil maka hewan belum cukup umur.
Lebih lanjut, Menurut Tabrany (2001) hewan yang cukup umur akan menghasilkan daging yang berprotein tinggi dengan kadar asam amino yang lengkap, mudah dicerna, begitu pula teksturnya empuk. Sedangkan ternak yang belum cukup umur akan menghasilkan daging yang lembek dan menyebabkan rasa daging relatif tidak lezat. Oleh karena itu, sesungguhnya korelasi ilmu pengetahuan dengan ajaran /tuntutan Islam sangat berkait erat.
Disamping itu, aspek yang tidak kalah penting untuk menjadi perhatian adalah dalam pengemasan daging hewan kurban sebaiknya panitia atau masyarakat tidak menggunakan kemasan plastik warna hitam. Hal ini dikarenakan, plastic warna hitam merupakan plastic hasil daur ulang (recycle) dari plastic-plastik bekas. Secara struktur kimiawi, komponen kimiawi pada plastic warna hitam jika bersinggungan dengan daging akan bersifat karsinogen atau zat pemicu terjadinya kanker atau Tumor. Selain itu, penggunaan kemasan dengan plastic warna hitam juga akan mempercepat proses pembusukan daging (oksidasi) karena plastic warna gelap (hitam) bersifat menyerap panas. Selain juga, dengan kemasan warna hitam, panitia hewan kurban sangat kesulitan jika ternyata didalam daging tersebut ada kotoran, atau ada cemaran fisik yang dapat membahayakan kesehatan masyarakat konsumen daging hewan kurban.
            Semoga dengan memperhatikan beberapa aspek hewan kurban tersebut, kita benar-benar melaksanakan makna rela berkurban yang sesungguhnya, tidak hanya sebatas seremonial tahunan semata, atau bahkan tidak justru menambah masalah pasca pemotongan hewan kurban. Mengingat cukup banyak kasus penyakit yang berasal dari makanan (foodborne disease) yang dapat menular ke manusia.
Sebagai pengurus Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PDHI) Cabang Kepulauan Riau, tentunya momentum hari raya kurban ini menjadi penting bagi kami, seperti halnya pada tahun-tahun sebelumnya, kami sangat terbuka dan siap membantu panitia hewan kurban di Kepri. Kerjasama yang baik antara Dinas yang membidangi urusan Kesehatan Hewan/Peternakan di Kabupaten/Kota dan Provinsi Kepri dengan Instansi terkait lainnya seperti Badan Karantina Pertanian (BKP) menjadi titik penting untuk terus mempertahankan agar tidak munculnya kejadian wabah atau kejadian kesakitan masyarakat pasca mengkonsumsi daging hewan kurban. Mari berkurban, kurban sehat, daging nikmat, masyarakat selamat!

Drh. Iwan Berri Prima

-        Sekretaris Umum PDHI (Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia)
Cabang Kepulauan Riau
-        Kasubbag Penyusunan Program, Dinas Pertanian dan Kehutanan Kab.Bintan
-        Pengajar pada Jurusan Kesehatan Lingkungan Poltekes Kementerian Kesehatan Tanjungpinang, Kepri

Tulisan ini pernah dimuat di Koran Tanjungpinang Pos Edisi Rabu, 3 Agustus 2016

    Choose :
  • OR
  • To comment