Di Indonesia, pelaksanaan pemotongan hewan kurban dilakukan
hampir disetiap tempat, baik di halaman masjid, dihalaman kantor kelurahan, di
lapangan sepakbola maupun di
tempat yang lainnya, tersebar baik di kota maupun di desa.
Hal ini cukup berbeda jika dibandingkan dengan negara maju di Eropa, di mana pemotongan
hewan kurban hanya dilakukan di Rumah Potong Hewan (RPH) atau slaughterhouse dan abattoir.
Bahkan, di Tanah Suci Mekah sekalipun, pemotongan hewan kurban juga tidak
dilakukan di pelataran masjid atau di pelataran kantor, apalagi di lapangan
sepakbola. Mereka tetap melaksanakan pemotongan di tempat-tempat tertentu yang
telah ditunjuk oleh pemerintah setempat, yakni di RPH.
RPH merupakan sebuah bangunan atau kompleks bangunan dengan
desain dan persyaratan tertentu untuk melaksanakan pemotongan hewan, khususnya hewan untuk konsumsi masyarakat. Setiap tahap pemeriksaan dan pemotongannya,
kegiatannya ditunjang dengan sarana dan prasarana yang memadai (berdasarkan
standar yang telah ditetapkan) dan diperhatikan secara seksama oleh dokter
hewan dan tenaga ahli lainnya (keurmesster),
sehingga aspek kesehatan daging (meat
higyene) terjaga dari banyaknya
kontaminan mikroba penyebab sakit pada konsumen yang akan mengkonsumsi daging
tersebut.
Selain itu, di RPH, pemeriksaan ante-mortem dan pemeriksaan
post-mortem pun sangat ketat dilaksanakan. Pemeriksaan ante-mortem adalah
serangkaian prosedur pemeriksaan atau uji terhadap hewan hidup sebelum
pemotongan / penyembelihan untuk menentukan apakah hewan boleh disembelih atau
tidak, sedangkan pemeriksaan post-mortem
adalah serangkaian prosedur pemeriksaan yang dilaksanakan petugas pemeriksa
pada semua bagian dari hewan yang telah disembelih yang relevan dengan tujuan
pemeriksaan dalam rangka penetapan keamanan dan kelayakan daging yang
diperiksa. Oleh karena itu, keamanan pangan (food safety) merupakan sebuah jaminan yang ditawarkan oleh RPH,
khususnya untuk menghasilkan daging yang ASUH (Aman, sehat, utuh dan halal).
Tanpa berniat untuk mengurangi makna berkurban, sebagai
masyarakat yang peduli terhadap kesehatan, baik kesehatan diri sendiri,
keluarga, maupun kesehatan masyarakat dan lingkungan, upaya meminimalisir
kontaminasi dan penularan penyakit hewan, harus diupayakan semaksimal mungkin.
Terlebih, hewan tersebut adalah hewan kurban yang akan dikonsumsi oleh
masyarakat luas.
Terutama di Indonesia, budaya pemotongan hewan kurban di ‘sembarang’ tempat
harus mendapat perhatian kita semua. Aspek kebersihan dan hygene daging kurban
patut mendapat perhatian khusus. Minimal, jika tidak ada dokter hewan dan atau
petugas kesehatan daging yang melakukan pemantauan, panitia kurban secara
berkomitmen melakukan pengawasan, menegur jika ada panitia yang ‘nakal’ dengan
tidak menjaga kebersihan. Karena tidak jarang kita temukan panitia hewan kurban
yang masih sambil merokok ketika memproses daging, atau bahkan ada yang batuk-batuk
tanpa menggunakan masker (penutup mulut dan hidung) ketika memproses daging.
Sungguh, tindakan seperti ini secara pelan tapi pasti harus diupayakan
diminimalisir. Seharusnya jika perlu, panitia hewan kurban menetapkan atau
membentuk Tim pemroses daging (diupayakan yang ahli dalam pemotongan dan
pemrosesan daging) tanpa harus semua orang ‘ikut nimbrung’ dalam pemrosesannya.
Kita sepakat, budaya atau tradisi tidak boleh mengabaikan kesehatan masyarakat.
Penyakit hewan
Pemotongan hewan kurban dengan
memperhatikan aspek kesehatan daging (meat
higyene) dan melaksanakan prosedur
pemeriksaan ante-mortem dan post-mortem, tidak hanya bertujuan untuk mengurangi
penyakit hewan yang dapat ditularkan ke manusia akibat konsumsi daging, seperti
Trichinosis, Echinococcosis, Cacing pita,
Anthrax, Tuberculosis (TB) dan lain-lain. Akan tetapi juga dapat mencegah meluasnya penularan
penyakit, sebut saja Anthrax. Hewan yang terkena anthrax biasanya akan
terdeteksi pada pemeriksaan ante-mortem. Meskipun Provinsi Kepulauan Riau masih di
nyatakan sebagai daerah bebas anthrax, tentu saja kita tetap waspada dengan
penyakit ini, mengingat, Anthrax merupakan salah satu penyakit prioritas
nasional yang harus diberantas. Pada pemeriksaan sebelum hewan dipotong,
panitia kurban atau masyarakat yang akan berkurban harus jeli dalam memilih
hewan tersebut dalam keadaan sehat atau sakit. Salah satu tanda hewan sehat
dapat kita amati dari tampilan fisik (diagnose fisik), yaitu hewan terlihat
lincah/aktif, bulu/rambut tidak kusam/tidak berdiri terlihat mengkilat lembut,
moncong hidung lembab, mata bening dan bersih serta napsu makan dan minum baik.
Selain itu, setelah secara tampilan diyakini sehat, tindakan dan perlakuan setelah
pemotongan hewan kurban juga menjadi titik penting. Dengan
program pemeriksaan antemortem
(setelah hewan disembelih) ini diharapkan dapat mengurangi
penyakit hewan seperti tuberculosis (TB) dan paratyphus anak sapi, serta diharapkan pula
dapat menjadi batas yang tajam antara daging yang dianggap baik dan boleh
diedarkan ke konsumen dengan daging yang harus diperlakukan khusus sebelum
diedarkan atau daging yang harus dimusnahkan. Oleh sebab itu, dalam
pemeriksaan di lapangan selalu diupayakan ada petugas kesehatan hewan (dokter
hewan) dan paramedic veteriner atau petugas yang berkompeten dan berwenang
dibawah kordinasi dan pengawasan dokter hewan berwenang dari dinas peternakan/kesehatan hewan setempat. Kita patut bersyukur, dalam beberapa
tahun terakhir ini di wilayah provinsi Kepri tidak ditemukan kejadian wabah dan
kesakitan yang luar biasa dari masyarakat setelah mengkonsumsi daging hewan
kurban. Tentunya kondisi ini tetap terus kita pertahankan.
Selain aspek penyakit
hewan kurban, aspek lain yang perlu diperhatikan dalam mewujudkan hewan kurban
aman dan layak konsumsi adalah aspek kesempurnaan pengeluaran darah dan umur
hewan.
Kesempurnaan pengeluaran
darah
Dalam ajaran Islam, darah merupakan
bagian tubuh yang hukumnya haram jika dikonsumsi. Hewan yang mati dengan tidak
disembelih, pengeluaran darahnya tidak sempurna. Oleh karena itu, upaya
pengeluaran darah secara sempurna, harus diperhatikan dan menjadi prioritas
dalam penyembelihan hewan kurban. Hewan kurban yang terlalu stress dan sulit/galak
pada saat akan dilakukan penyembelihan, biasanya juga pengeluaran darahnya
tidak sempurna. Oleh karena itu, dalam melakukan penyembelihan ada teknik
tertentu yang perlu diperhatikan, khususnya teknik dalam menggulingkan hewan
ternak besar.
Secara medis, hewan yang dipotong dengan pengeluaran darah
yang tidak sempurna, akan dijumpai banyak hemoglobin (Hb) dalam daging. Hb
merupakan media yang paling disukai mikroba, sehingga pengeluaran darah yang
tidak sempurna akan mempercepat pembusukan pada daging. Salahsatu cara untuk mengeluarkan darah agar
sempurna adalah dengan menggantungkan daging. Minimal, khusus untuk ternak
kambing/domba, ketika melakukan pengulitan dilakukan dengan cara menggantung.
Umur hewan
Umur hewan merupakan salah satu
syarat sah hewan kurban. Untuk itu penentuan umur sebelum hewan kurban dipotong
perlu diperhatikan. Berdasarkan pengalaman lapang, selama ini banyak ditemukan
hewan kurban yang belum cukup umur, meskipun badan hewan tersebut berperawakan besar.
Bahkan tidak jarang penjual hewan kurban pun masih salah dalam menentukan umur.
Apalagi jika penjual hewan kurban tersebut hanya berorientasi pada kepentingan
ekonomi semata. Hewan
yang sebenarnya belum cukup umur, tapi dinyatakan sudah cukup umur.
Oleh sebab itu, pengetahuan
dari calon pembeli hewan dalam menentukan umur sangat dibutuhkan. Umur hewan
kurban untuk domba atau kambing adalah telah berumur minimal satu tahun atau
lebih (yang telah berganti gigi), sedangkan untuk hewan sapi atau kerbau adalah
minimal 2 tahun atau yang telah berganti gigi.
Penentuan umur kambing atau domba dapat dilakukan dengan memperhatikan
pergantian gigi susu pertama (I1) menjadi gigi tetap. Adapun untuk menentukan
umur sapi yang perlu diperhatikan adalah kondisi gigi yang meliputi pertukaran
gigi seri susu dengan gigi seri tetap, perecupan gigi seri, pergesekan, dan
bintang gigi. Jika gigi seri susu I1 sudah berganti dengan gigi seri tetap dan
sudah merecup, berarti umur sapi 2 tahun. Jika gigi seri susu I2 sudah berganti
dan merecup, berarti umur sapi 3 tahun. Jika gigi seri susu I3 sudah berganti
dan merecup, umur sapi 3,5 tahun. Jika semua gigi seri telah berganti (I4) dan
merecup, umur sapi 4 tahun. Jika I4 ada tanda pergesekan berarti umur sapi 5
tahun. (Timan 2003).
Dengan kata lain, tanggal atau telah bergantinya gigi tengah (gigi susu)
menjadi gigi tetap menjadi pedoman umum bagi kita untuk mengetahui hewan kurban
telah berumur atau belum. Jika seluruh giginya masih sama dan rata kecil maka
hewan belum cukup umur.
Lebih
lanjut, Menurut Tabrany (2001) hewan yang cukup umur akan
menghasilkan daging yang berprotein tinggi dengan kadar asam amino yang
lengkap, mudah dicerna, begitu pula teksturnya empuk. Sedangkan ternak yang
belum cukup umur akan menghasilkan daging yang lembek dan menyebabkan rasa
daging relatif tidak lezat. Oleh karena itu, sesungguhnya korelasi ilmu
pengetahuan dengan ajaran /tuntutan Islam sangat berkait erat.
Disamping
itu, aspek yang tidak kalah penting untuk menjadi perhatian adalah dalam
pengemasan daging hewan kurban sebaiknya panitia atau masyarakat tidak
menggunakan kemasan plastik warna hitam. Hal ini dikarenakan, plastic warna
hitam merupakan plastic hasil daur ulang (recycle)
dari plastic-plastik bekas. Secara struktur kimiawi, komponen kimiawi pada
plastic warna hitam jika bersinggungan dengan daging akan bersifat karsinogen
atau zat pemicu terjadinya kanker atau Tumor. Selain itu, penggunaan kemasan
dengan plastic warna hitam juga akan mempercepat proses pembusukan daging
(oksidasi) karena plastic warna gelap (hitam) bersifat menyerap panas. Selain
juga, dengan kemasan warna hitam, panitia hewan kurban sangat kesulitan jika
ternyata didalam daging tersebut ada kotoran, atau ada cemaran fisik yang dapat
membahayakan kesehatan masyarakat konsumen daging hewan kurban.
Semoga dengan memperhatikan beberapa
aspek hewan kurban
tersebut, kita benar-benar melaksanakan makna rela
berkurban yang sesungguhnya, tidak hanya sebatas seremonial tahunan semata,
atau bahkan tidak justru menambah masalah pasca pemotongan hewan kurban.
Mengingat cukup banyak kasus penyakit yang berasal dari makanan (foodborne disease) yang dapat menular ke
manusia.
Sebagai pengurus
Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PDHI) Cabang Kepulauan Riau, tentunya
momentum hari raya kurban ini menjadi penting bagi kami, seperti halnya pada
tahun-tahun sebelumnya, kami sangat terbuka dan siap membantu panitia hewan
kurban di Kepri. Kerjasama yang baik antara Dinas yang membidangi urusan
Kesehatan Hewan/Peternakan di Kabupaten/Kota dan Provinsi Kepri dengan Instansi
terkait lainnya seperti Badan Karantina Pertanian (BKP) menjadi titik penting
untuk terus mempertahankan agar tidak munculnya kejadian wabah atau kejadian
kesakitan masyarakat pasca mengkonsumsi daging hewan kurban. Mari berkurban,
kurban sehat, daging nikmat, masyarakat selamat!
Drh. Iwan Berri Prima
-
Sekretaris
Umum PDHI (Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia)
Cabang Kepulauan Riau
-
Kasubbag
Penyusunan Program, Dinas Pertanian dan Kehutanan Kab.Bintan
-
Pengajar
pada Jurusan Kesehatan Lingkungan Poltekes Kementerian Kesehatan Tanjungpinang,
Kepri
Tulisan ini pernah dimuat di Koran Tanjungpinang Pos Edisi Rabu, 3 Agustus 2016
Tulisan ini pernah dimuat di Koran Tanjungpinang Pos Edisi Rabu, 3 Agustus 2016