Urusan kesehatan hewan sejatinya menjadi urusan
wajib pemerintahan daerah, mengingat urusan ini bukan hanya mengurusi masalah
penyakit pada hewan saja, tetapi juga bagaimana menyehatkan hewan agar tidak
menularkan penyakitnya kepada manusia, baik menularkan secara langsung (Direct
contact), melalui produk pangan asal hewan (food borne disease) maupun
melalui vektor (hewan perantara) seperti nyamuk, lalat dan lain sebagainya. Tetapi
nyatanya memang di Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah, urusan kesehatan hewan termasuk kedalam urusan pilihan (masuk dalam
urusan pertanian), padahal di sektor Pendidikan, berdasarkan Keputusan Menteri
Riset, Teknologi dan Perguruan Tinggi (Menristek Dikti) Nomor: 57 Tahun 2019
tentang Nama Program Studi pada Perguruan Tinggi, bahwa kedokteran hewan
(veteriner) masuk kedalam rumpun ilmu kesehatan, serumpun dengan ilmu atau
sains Kedokteran, ilmu atau sains kedokteran gigi, ilmu farmasi, kesehatan
masyarakat, keperawatan, kebidanan dan ilmu kesehatan lainnya.
Meskipun demikian, upaya penyehatan hewan di
daerah, khususnya Pemerintah Daerah (Pemda) Kabupaten Bintan yang dilaksanakan melalui
Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian memiliki komitmen yang sangat tinggi. Hal
ini setidaknya tercermin dari kondisi sebagai berikut: Pertama,
Pemerintah Kabupaten Bintan telah memiliki Peraturan Daerah (Perda) tentang
Penyelenggaran Peternakan dan Kesehatan Hewan (Perda Nomor: 9 tahun 2018), di
Provinsi Kepri, hingga saat ini hanya ada dua Pemda yang memiliki perda yang
mengatur tentang urusan kesehatan hewan, yakni Kabupaten Bintan dan Kota Batam.
Dan Kabupaten Bintan menjadi pelopornya (yang pertama). Kedua,
Pemerintah Kabupaten Bintan telah memiliki Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD)
yang secara spesifik memiliki tugas pokok dan fungsi meningkatkan status
kesehatan hewan dan mewujudkan produk pangan yang Aman, Sehat, Utuh dan Halal
(ASUH) di Bintan, yakni UPTD Rumah Potong Hewan dan Pusat Kesehatan Hewan
(Puskeswan). Ketiga, Dalam rangka menambah kebutuhan akan
Sumberdaya Manusia (SDM) kesehatan hewan, Pemda Bintan tahun 2018 dan 2019
secara berturut-turut membuka formasi CPNS tenaga kesehatan hewan yakni formasi
pengelola kesehatan hewan dan kesmavet atau setara dengan tenaga paramedis
kesehatan hewan, kedepan jika 2020 dibuka formasi CPNS, mudah-mudahan dibuka
formasi tenaga medis kedokteran hewan (dokter hewan). Keempat,
Dalam rangka menindaklanjuti Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang
Peternakan dan Kesehatan Hewan, khususnya pasal 68 tentang Otoritas Veteriner,
Pemda Bintan melalui Surat Keputusan Bupati Bintan telah menetapkan Pejabat
Otoritas Veteriner di Kabupaten Bintan. Penetapan pejabat otoritas veteriner
dan dokter hewan berwenang ini ternyata tidak semua Pemda melakukannya. Bahkan
ada Pemda yang tidak memiliki Dokter Hewan yang berwenang. Bagaimana dapat
dikatakan berpihak pada peningkatan status kesehatan hewan, jika dokter hewan
berwenang saja tidak ada. Kelima, Dukungan anggaran. Secara
konsisten Pemda Bintan menganggarkan anggaran yang berkenaan dengan urusan
kesehatan hewan, bahkan untuk meningkatkan kenyamanan bathin masyarakat muslim
terkait dengan produk daging ayam yang halal, melalui anggaran Pelayanan
Kesehatan Masyarakat Veteriner (Kesmavet) Pemda Bintan bekerjasama dengan LPOM
- Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Kementerian Agama, membantu pembiayaan
sertifikasi halal bagi sepuluh pelaku pemotong ayam yang tersebar dibeberapa
kecamatan di Bintan. Upaya ini diharapkan terus ditingkatkan dimasa yang akan
datang, tentu saja hal ini tidak lepas juga dari Dukungan yang baik dari DPRD
Kabupaten Bintan.
Disamping itu, sepanjang tahun 2019 Pemda
Bintan telah berhasil melakukan berbagai upaya dalam rangka meningkatkan status
kesehatan hewan, diantaranya adalah Pertama, Kabupaten Bintan
Bersama dengan Kabupaten/kota yang lain di Provinsi Kepri telah berhasil
mempertahankan status sebagai daerah yang bebas rabies. Penyakit rabies atau
penyakit anjing gila merupakan penyakit mematikan yang sangat berbahaya bagi
masyarakat. Bahkan penyakit ini dapat mempengaruhi kunjungan pariwisata disuatu
daerah. Kedua, berdasarkan hasil pengamatan gejala klinis dan hasil pemeriksaan
laboratorium oleh Balai Veteriner (BVet) Bukittinggi dan Laboratorium Dinas
Ketahanan Pangan, Pertanian dan Kesehatan Hewan (DKP2KH) Provinsi Kepri, di
Kabupaten Bintan “hanya” terdapat 1 (satu) jenis penyakit hewan menular
strategis , yakni Penyakit Helminthiasis (Penyakit Cacingan). Untuk penyakit
Flu Burung (Avian Influenza) sejak tahun 2009 sudah tidak ditemukan kasus
klinis, meskipun hasil pemeriksaan laboratorium, beberapa sampel masih positif
flu burung.
Berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian RI
Nomor: 4026 Tahun 2013 tentang Penetapan Jenis Penyakit Hewan Menular Strategis
(PHMS) bahwa terdapat 25 jenis penyakit hewan menular, dimana dari 25 jenis
tersebut, sebanyak 3 jenis penyakit masih belum terdapat di Indonesia atau
penyakit ini sudah tidak ada lagi di Indonesia (penyakit eksotik) yakni
Penyakit Mulut dan Kuku (Foot and Mouth Disease /FMD), Penyakit Sapi
Gila (Bovine Spongioform Encephalopathy /BSE) dan Penyakit Demam Rift
Valley (Rift Valley Fever/RVF). Adapun
22 jenis penyakit hewan menular lainnya yang masih terdapat di Indonesia adalah
Penyakit Anthrax, Rabies, Salmonellosis, Brucellosis
(Brucella Abortus), Brucellosis (Brucella Suis), High Pathogenic dan Low
Pathogenic Avian Influenza (Flu Burung), Porcine Reproductive and
Respiratory Syndrome (PRRS), Helminthiasis (Penyakit Cacingan),
Haemoragic Septisaemia/ Septicemia Epizootica (SE), Nipah Virus
Encephalitis, Infectious Bovine Rhinotracheitis (IBR), Bovine
Tuberculosis (TB Sapi), Leptospirosis, Penyakit Jembrana, Surra,
Paratuberculosis (Para TB), Toxoplasmosis, Classical Swine Fever
(Hog Cholera), Swine Influenza Nove (H1N1), Campylobacteriosis,
Cysticercosis, dan Q Fever (Demam Q).
Bebasnya Bintan dari banyak penyakit hewan
menular tentunya harus terus dipertahankan. Terlebih, pepatah mengatakan,
mempertahankan lebih sulit dari pada merebut. Namun demikian, Pekerjaan Rumah
(PR) membebaskan penyakit Helminthiasis dan Flu Burung harus dilakukan.
Mengingat keberhasilan sektor kesehatan, termasuk sektor kesehatan hewan adalah
meminimalkan kasus penyakit. Tetapi kadang ada anggapan jika tidak ada kasus
penyakit, dianggap tidak bekerja. Padahal, mewujudkan status kesehatan
masyarakat dan kesehatan hewan merupakan langkah nyata dalam mewujudkan
masyarakat Bintan yang Sehat dan Gemilang.
Penyakit Helminthiasis merupakan penyakit hewan
menular yang menyerang ternak sapi dan ternak kambing. Walaupun penyakit
cacingan ini tidak langsung menyebabkan kematian, akan tetapi kerugian dari
segi ekonomi yang diakibatkan sangat besar, sehingga penyakit parasit cacing
disebut sebagai penyakit ekonomi. Kerugian-kerugian akibat penyakit cacing,
antara lain: penurunan berat badan, penurunan kualitas daging, kulit, dan
jerohan, penurunan produktivitas ternak, penurunan produksi susu pada ternak
perah dan bahaya penularan pada manusia (Bersifat zoonosis). Sedangkan Penyakit Avian Influenza (Flu
Burung) merupakan penyakit hewan menular yang menyerang ternak unggas (Ayam,
itik, burung puyuh dlll) yang bukan saja mengakibatkan kasus kematian yang
sangat tinggi (Case Fatality Rate nya mencapai 100%) juga dapat menular
ke manusia.
Berdasarkan hasil pelaporan melalui ISIKHNAS
(Aplikasi Sistem Kesehatan Hewan Nasional) Jumlah kasus Penyakit Helminthiasis
tahun 2019 mengalami penurunan dibandingkan dengan tahun 2018, Kasus Penyakit
Helminthiasis pada Tahun 2018 sebanyak 159 ekor, dengan Rincian 118 ekor ternak
sapi dan 41 ternak kambing. Sedangkan kasus Penyakit Helminthiasis pada Tahun
2019 sebanyak 122 ekor, dengan Rincian 89 ekor ternak sapi dan 33 ternak
kambing. Sedangkan jumlah kasus penyakit Flu Burung sepanjang tahun 2019
sebanyak nol kasus klinis. Kematian ternak ayam sepanjang 2019 berdasarkan
hasil pemeriksaan Laboratorium sebagian besar disebabkan oleh penyakit Newcastle
Disease (ND) atau penyakit aratan/tetelo.
Selain itu, Upaya Pengendalian, pencegahan,
pemberantasan dan penanganan kasus penyakit hewan menular, di Kabupaten Bintan
ini dilaksanakan dengan melaksanakan kegiatan berupa pengamanan ternak daerah
dan pengendalian penyakit zoonosis, dengan cara pelaksanaan pelayanan aktif
(pelayanan kesehatan hewan), survey penyakit dan monitoring ternak secara
berkala melalui kegiatan aktif servis (pelayanan kesehatan hewan aktif) dan
pelayanan kesehatan hewan pasif (menunggu panggilan untuk pengobatan kasus
penyakit dari peternak). Sepanjang tahun 2019, petugas kesehatan hewan
Kabupaten Bintan telah melakukan kunjungan kelapangan sebanyak 703 kali
kunjungan ke peternak dan telah melakukan upaya pengobatan hewan sebanyak 2.555
ekor.
Disamping itu, sepanjang tahun 2019 telah
terjadi wabah penyakit African Swine Fever (ASF) pada ternak Babi di
berbagai negara di dunia, sebelum akhirnya Indonesia pun telah menotifikasi
(mengakui) penyakit ASF telah masuk di Indonesia, pernyataan ini dituangkan
dalam Keputusan Menteri Pertanian Nomor: 820 tahun 2019 tanggal 12 Desember
2019 tentang Pernyataan Wabah Penyakit Demam Babi Afrika pada beberapa
Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara. Namun demikian, Hingga saat ini, di
Kabupaten Bintan dan provinsi Kepri secara umum masih dinyatakan sebagai daerah
bebas penyakit ASF (Belum ditemukan kasus klinis).
Semoga upaya meningkatkan status kesehatan
hewan di Kabupaten Bintan semakin baik dan kerjasama yang baik antar lintas
sektor seperti Balai Karantina Pertanian (BKP) Kelas 2 Tanjungpinang, Balai
Veteriner (BVet) Bukittinggi, Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP)
Kepri, Dinas Ketahanan Pangan, Pertanian dan Kesehatan Hewan Provinsi Kepri
serta melalui Tim Gerak Cepat (TGC) Kabupaten Bintan yang diinisiasi oleh Dinas
Kesehatan Kabupaten Bintan dalam penanggulangan dan pengendalian penyakit
menular terutama zoonosis dapat terus terjalin. Apalagi, Bintan merupakan
Kawasan pariwisata yang harus terus dijaga agar tetap aman dan nyaman untuk
dikunjungi oleh wisatawan, baik domestik maupun manca negara. Semoga!
oleh. drh. Iwan Berri Prima
Tulisan ini pernah dimuat di Koran Tanjungpinang Pos tanggal 11 Januari 2020