Kejadian penyakit Jembrana yang kembali merebak
dibeberapa wilayah di Indonesia, khususnya di wilayah Sumatera semakin
menegaskan bahwa Jembrana merupakan penyakit viral yang tidak hanya viral di
media sosial, tetapi juga penyakit viral yang benar-benar mampu menimbulkan
kematian yang sangat tinggi terutama pada ternak sapi potong jenis Bali. Melihat
penularannya yang sangat massif dan tingkat kematian (case fatality rate) pada ternak sapi Bali yang sangat tinggi,
pemerintah melalui Menteri Pertanian pun telah menerbitkan SK Mentan Nomor 4026
tahun 2013 yang menyatakan bahwa penyakit Jembrana sebagai Penyakit Hewan
Menular Strategis (PHMS) dan menjadi salah satu penyakit skala utama prioritas
nasional yang harus dikendalikan dan ditanggulangi diwilayah tertular.
Laporan dari Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan
(Ditjen PKH) Kementerian Pertanian sejak muncul pertama kali tahun 1964 di Bali
hingga akhir 2018, hampir seluruh wilayah sumatera mulai dari Provinsi Lampung,
Bengkulu, Sumatera Selatan, Jambi, Riau, Sumatera Barat, sumatera Utara hingga
Aceh telah dilaporkan kasus klinis penyakit Jembrana. Hal ini menandakan bahwa
seluruh pulau Sumatera memiliki potensi yang besar menjadi daerah endemis
Jembrana pada sapi Bali.
Namun demikian, salah satu provinsi di wilayah
Sumatera yang masih dinyatakan sebagai daerah bebas penyakit Jembrana adalah
Provinsi Kepulauan Riau (Kepri). Sebagai daerah yang masuk kedalam regional II
wilayah sumatera dibawah koordinasi Balai Veteriner Bukittinggi (BVet
Bukittinggi), Provinsi Kepri tergolong cukup diuntungkan dengan barrier lautan sehingga kasus klinis
penyakit Jembrana di provinsi ini tidak pernah ditemukan. Padahal, lebih dari
75% populasi ternak sapi potong yang dipelihara masyarakat Kepri adalah jenis
sapi Bali yakni sekitar 3.241 ekor (data ISIKHNAS 2017). Oleh karena itu, upaya
pencegahan penularan penyakit Jembrana di Provinsi Kepri harus semakin
ditingkatkan. Apalagi berdasarkan data dari hasil pemeriksaan Laboratorium BVet
Bukittinggi pada tahun 2017-2018, telah terdeteksi positif jembrana (Carrier) di seluruh Kabupaten/Kota di
Provinsi Kepri yakni Kabupaten Bintan (10 ekor positif dari 26 sampel),
Kabupaten Lingga (12 ekor positif dari 18 sampel), Kabupaten Kepulauan Anambas
(9 ekor positif dari 16 sampel), Kota Tanjungpinang dan Kota Batam (6 ekor
positif dari 22 sampel).
Dari hasil pemeriksaan laboratorium ini, setelah
dilakukan pemantauan pada ternak yang terindikasi positif tersebut, memang
tidak diikuti dengan tanda gejala klinis. Artinya, kejadian ternak sapi tidak
menunjukkan tanda-tanda gejala sakit (ternak terlihat sehat, normal dan bobot
badan terlihat gemuk), bahkan dibeberapa daerah, seperti di Kabupaten Bintan,
ternak sapi yang dinyatakan positif secara laboratoris sebanyak 8 ekor telah di
potong, dijadikan sebagai hewan kurban. Hal ini memang demikian adanya, kebutuhan
sapi potong jenis Bali di Provinsi Kepri sebagian besar memang diperuntukkan
untuk stock hewan kurban. Sehingga tidak heran jika permintaan pemasukan hewan
kurban dari luar provinsi Kepri, khususnya ternak sapi jenis Bali sangat
melonjak tajam disaat menjelang hari Raya Idul Adha. Pasokan sebagian besar
diperoleh dari Lampung, Jambi, Sumatera Barat dan Riau.
Meskipun, berdasarkan pedoman penyakit Jembrana yang
dikeluarkan oleh Direktorat Kesehatan Hewan Ditjen PKH bahwa daerah bebas
dilarang memasukkan ternak dari daerah tertular, akan tetapi ketersediaan
(stock) ternak sapi, khususnya pada momentum tertentu seperti Hari Raya Kurban,
di provinsi Kepri tidak memadai. Dengan kata lain, ketersediaan ternak sapi
untuk kurban tidak mampu dipenuhi dari dalam Provinsi Kepri. Harus dipasok dari
luar. Seandainya jika Kepri tidak memasok dari luar provinsi, di khawatirkan
justru akan mengancam pemotongan betina produktif sebagai hewan kurban. Bukan
hanya populasi ternak yang akan terancam, keberlangsungan ternak sapi Bali
sebagai plasma nutfah asli Indonesia di provinsi Kepri juga akan terancam.
Kondisi ini merupakan kebijakan lokal (baca: kearifan
lokal) dari masing-masing pemerintahan daerah. Kita juga tidak bisa memaksa
masyarakat Kepri untuk melakukan usaha budidaya peternakan sapi. Hal ini bukan
saja berkenaan dengan ketidakmampuan masyarakat untuk beternak, juga bukan
karena daerahnya tidak cocok, tetapi lebih dikarenakan mata pencaharian
terbesar penduduk Kepri bukanlah bergerak disektor pertanian. Jumlah penduduk
provinsi Kepri berdasarkan data dari BPS Kepri tahun 2017 adalah sebanyak
2.082.694 jiwa. Dari jumlah ini sebanyak 62% berdomisili dan menetap di Kota
Batam, yakni sebanyak 1.283.196 jiwa, sisanya sekitar 38% tersebar di
Kabupaten/Kota lain. Sebagaimana kita ketahui, bahwa Batam melalui Badan Pengusahaan
(BP) Batam dan Pemerintah Kota Batam telah menyepakati bahwa pulau Batam
bukanlah merupakan Kawasan budidaya ternak, bukan hanya ternak sapi saja,
tetapi hewan secara umum. Hal ini tertuang juga di dalam Peraturan Daerah
(Perda) Nomor 16 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum, khususnya pasal 18 Bab
Tertib hewan dan binatang peliharaan. Artinya, upaya peningkatan jumlah
populasi dan produksi sapi di Provinsi Kepri cukup sulit jika mengupayakan dari
dalam provinsi Kepri.
Lebih jauh, dari sektor Produk Domestik Regional Bruto
(PDRB) atas dasar harga berlaku provinsi Kepri tahun 2015, sektor ekonomi
terbesar penyumbang PDRB adalah sektor Industri pengolahan, kemudian sektor
Konstruksi dan sektor pertambangan dan penggalian. Sedangkan sektor pertanian
tidak terlalu signifikan.
Memang, tidak ada yang tidak mungkin, tetapi inilah pekerjaan
rumah besar di Provinsi Kepri untuk meningkatkan populasi dan produksi sapi
dari dalam provinsinya. Apalagi Kepri diberikan anugerah dengan bentang alam
yang sangat baik untuk pengembangan sektor peternakan seperti di Kepulauan
Natuna, Anambas, Lingga, Bintan dan Karimun. Bahkan Peraturan
Menteri Pertanian Nomor 56 Tahun 2016 tentang Pedoman Pengembangan Kawasan
Pertanian dan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 830 Tahun 2016 tentang
Lokasi Pengembangan Kawasan Pertanian Nasional bahwa Kabupaten Bintan Provinsi
Kepulauan Riau masuk kedalam kawasan pengembangan ternak sapi potong nasional.
Hasil Rumusan Workshop
Regional
BVet Bukittinggi selaku Koordinator regional dalam rangka
pelayanan laboratorium veteriner di wilayah Provinsi Kepri telah melakukan
berbagai upaya dalam rangka pencegahan dan pengendalian Jembrana di Kepri.
Sebagai contoh, awal tahun 2018 yang lalu, BVet Bukittinggi melakukan rapat
koordinasi teknis dan workshop regional tentang pengendalian dan penanggulangan
penyakit Jembrana, telah menghasilkan rumusan sebagai berikut:
Setelah mencermati paparan dari Direktorat Kesehatan Hewan Ditjen PKH,
Balai Veteriner Bukittinggi, Pusvetma Surabaya, Balai Besar Veteriner (BBVet)
Denpasar, Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi
Sumatera Barat, Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Riau dan Dinas
Tanaman Pangan hortikultura dan Peternakan Provinsi Jambi serta dari diskusi
Dalam upaya penanggulangan dan pemberantasan Penyakit Jembrana sebagai salah
satu PHMS yang serius di wilayah kerja Balai Veteriner Bukitinggi (Provinsi
Sumbar, Riau, Jambi, dan Kepri) diperlukan beberapa hal yang di rumuskan sebagai
berikut :
- Penataan Manajemen operasionalisasi vaksinasi
Penyakit Jembrana meliputi
perencanaan, persiapan (ketersediaan vaksin dan spuit) dan penerapan SOP
Vaksinasi Penyakit Jembrana secara tertib dan efektif. Khusus Provinsi Kepulauan Riau,
diperlukan surveilans deteksi antigen Penyakit Jembrana secara rutin untuk
memantau status bebas penyakit Jembrana.
- Surveillans Penyakit Jembrana secara terstruktur dan
monitoring efikasi hasil vaksinasi serta ketersediaan KIT Elisa oleh
Pusvetma bekerjasama dengan BBVet Denpasar.
- Mengoptimalkan kegiatan koordinasi,
sosialisasi dan edukasi untuk membangun komitmen semua stake holder terkait yakni
Pemerintah daerah (Propinsi, Kabupaten/Kota), UPT (Pusat/Daerah), UPT
Karantina, Pedagang dan Peternak, mulai level kebijakan sampai dengan
operasional lapangan.
Upaya antisipasi dan
pencegahan Jembrana
Berbagai upaya telah dilaksanakan dalam rangka
antisipasi masuknya penyakit jembrana di Provinsi Kepri. Dinas Ketahanan
Pangan, Pertanian dan Kesehatan Hewan (DKP2KH) Provinsi Kepri Bersama Dinas
yang membidangi fungsi Peternakan dan Kesehatan Hewan Kabupaten/Kota se
provinsi Kepri telah berkomitmen untuk Bersama-sama mengantisipasi penyebaran
dan pemasukan jembrana di wilayah ‘Bunda Tanah Melayu’ provinsi Kepri. DKP2KH
Provinsi Kepri telah mengeluarkan surat edaran Nomor: 524/DKP2KH/2018/07/538
tanggal 31 Juli 2018 tentang waspada penyakit jembrana, yang pada intinya
adalah menegaskan tentang kewaspadaan dalam rangka menghadapi kejadian Jembrana
dengan melakukan langkah-langkah antisipasi sebagai berikut:
1.
Seluruh
petugas dinas yang membidangi fungsi Peternakan dan Kesehatan Hewan Kabupaten/Kota
se provinsi Kepri agar mendata dan mengindentifikasi populasi sapi Bali
diwilayahnya masing-masing.
2.
Melaksanakan
surveillans rutin secara terpadu
3.
Deteksi,
pelaporan dan respon cepat kejadian penyakit
4.
Melaksanakan
pengendalian vektor dilingkungan peternakan sapi Bali
5.
Terus
melakukan upaya komunikasi, informasi dan edukasi kepada peternak tentang
penyakit jembrana
6.
Ternak
yang telah dinyatakan positif jembrana disarankan untuk dipotong
7.
Berkoordinasi
dengan Balai/Stasiun Karantina Pertanian lingkup provinsi Kepri dalam memperketat
pengawasan lalu lintas ternak dan mempersyaratkan Hasil pengujian Laboratorium
Bebas Penyakit Jembrana dengan Uji Polymerase
Chain Reaction (PCR) dilengkapi dokumen kesehatan hewan dari daerah asal
yang ditandatangani oleh dokter hewan berwenang.
Mengacu pada surat edaran tersebut, upaya pencegahan
masuknya penyakit jembrana ke dalam wilayah provinsi Kepri patut kita dukung
Bersama. Ternak sapi jenis Bali, jika akan masuk wilayah kepri, wajib
melampirkan hasil Laboratorium bebas PCR Jembrana dari laboratorium yang telah
terakreditasi. Satu ekor sapi, satu surat. Bukan satu surat untuk mewakili 10
ekor sapi atau 100 ekor sapi. Oleh sebab itu, integritas dan komitmen dalam
bekerja wajib dijunjung tinggi oleh setiap masyarakat, terlebih petugas
kesehatan hewan, baik di level dokter hewan berwenang, pejabat otoritas
veteriner, petugas dinas Kabupaten/Kota/Provinsi yang membidangi fungsi
peternakan dan kesehatan hewan dari daerah asal dan petugas Karantina Pertanian
diseluruh pintu masuk dan pintu pengeluaran. Semoga dengan kerja keras dan
kerjasama yang telah terjalin selama ini, provinsi Kepri tetap dinyatakan bebas
penyakit Jembrana. Semoga!
*drh. Iwan Berri Prima, MM (Penulis adalah Sekretaris Umum PDHI Cabang
Kepri, Dokter Hewan Berwenang dan Pejabat Otoritas Veteriner Kabupaten Bintan)
Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Vetnesia edisi Bulan Februari 2019