Friday, January 24, 2020

Kedokteran Hewan Rumpun Ilmu Kesehatan: Sebuah Tantangan Profesi Kedepan

Bagi kita yang masuk Fakultas Kedokteran Hewan atau Program Studi Kedokteran Hewan dibawah tahun 2017 mungkin belum banyak yang mengetahui bahwa Kedokteran Hewan kini sudah masuk dalam rumpun Ilmu Kesehatan. Hal ini sesuai dengan Keputusan Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Ristekdikti) Nomor 257 Tahun 2017 tentang Nama Program Studi pada Perguruan Tinggi. Keputusan ini kemudian dipertegas kembali melalui Keputusan Dirjen Pembelajaran dan Kemahasiswaan Nomor: 46 Tahun 2019 tanggal 22 Februari 2019 tentang Daftar Nama Program Studi pada Perguruan Tinggi.  Didalam daftar nama tersebut, kedokteran hewan (veteriner) masuk kedalam rumpun ilmu kesehatan, serumpun dengan ilmu atau sains Kedokteran, ilmu atau sains kedokteran gigi, ilmu farmasi, kesehatan masyarakat, keperawatan, kebidanan dan ilmu kesehatan lainnya.

Perubahan rumpun pendidikan ini tentu saja bukan hanya sebatas berubahnya nama semata, tetapi tentu saja dapat membawa dampak pada berbagai aspek, diantaranya adalah : Pertama, Kedokteran hewan memiliki perspektif kesehatan. Selama ini, diakui atau tidak, kedokteran hewan masih dianggap sebagai penunjang sektor pertanian, khususnya sub sektor peternakan. Dunia kedokteran hewan seakan-akan selalu berdampingan dengan dunia peternakan, bahkan dibeberapa kondisi dilapangan, dokter hewan diartikan sama dengan sarjana dibidang peternakan. Demikian sebaliknya. Bahkan, saat ini nama undang-undang yang mengatur tentang kesehatan hewan pun bernama Undang-Undang tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan.

Sebagai dokter hewan, kita akui memang dunia veteriner ini cukup banyak bersinggungan dengan hewan yang namanya ternak. Bahkan hewan ternak menjadi salah satu penyumbang protein pangan asal hewan. Dengan kata lain, produk peternakan seperti daging, susu dan telur telah diakui secara nyata turut serta mencerdaskan kehidupan bangsa. Tanpa asupan protein, baik protein hewani maupun nabati (asal tumbuhan), perkembangan kesehatan masyarakat, terutama generasi muda akan terganggu. Oleh sebab itu, peran sinergi antara dokter hewan sebagai tenaga medis dengan stakeholder lain dibidang peternakan ini sangat dibutuhkan. Tetapi jangan juga kemudian dokter hewan mengklaim dirinya adalah peternakan. Dokter hewan adalah dokter, bukan ahli segala-galanya dibidang peternakan. Kecuali dokter hewan yang memang berkecimpung dan berusaha dibidang peternakan. Dalam konteks ini, betul apa kata pepatah jawa: “Biso lantaran kulino” (bisa karena terbiasa).

Kedua, Saat ini kedokteran hewan semakin menguatkan peran profesi ini sebagaimana motto PDHI : Manusya Mriga Satwa Sewaka. Melalui hewan mengabdi kemanusiaan. Artinya dunia kemanusiaan, kenyamanan batin masyarakat, kesehatan masyarakat dan kesejahteraan masyarakat menjadi tujuan akhir cita-cita yang harus diwujudkan profesi ini. Keberadaan profesi dokter hewan menjadi lebih luas, seluas banyaknya jumlah spesies hewan yang ada dimuka bumi ini. Tetapi semuanya akan bermuara kepada kemanusiaan. Hewan sehat, manusia sehat. Hal ini tentu berbeda dengan rumpun ilmu sebelumnya, bahwa dokter hewan memiliki peran dalam meningkatkan perekonomian masyarakat. Tetapi, tanpa menyalahkan yang lalu-lalu, kenyataan bahwa peningkatan ekonomi menjadi tujuan saat ini masih terjadi. Sebut saja di pemerintahan. Baik pemerintah pusat maupun pemerintahan daerah (Pemda). Tidak sedikit dokter hewan pemerintah yang berjibaku untuk meningkatkan perekonomian, asal bernilai ekonomi tinggi, urusan kesehatan bisa nomor kesekian, mungkin demikian istilah ekstremnya. Bahkan konon di instansi swasta juga demikian, asal perusahaan untung, urusan kesehatan bisa nomor kesekian. Konsekuensinya pun cukup terasa, saat ini urusan kesehatan hewan bukan menjadi urusan wajib bagi pemerintahan daerah. Setiap daerah yang tidak memiliki potensi ekonomi berkenaan dengan hewan, boleh tidak memiliki dokter hewan. Sehingga tidak heran jika ada di suatu daerah yang tidak ada dokter hewan pemerintahnya. Dokter hewan pemerintahnya saja tidak ada, apalagi dokter hewan swastanya. Alhasil peranan dokter hewan dan keberadaan dokter hewan tidak merata dan tidak terlihat (baca: Namanya juga urusan ekonomi/ pilihan). Padahal, rasanya tidak ada suatu daerah yang tidak ada hewannya. Semua daerah dipastikan ada hewan hidup didalamnya, sekurang-kurangnya masyarakatnya memelihara hewan kesayangan (Kucing, anjing, burung dan lain sebagainya). Belum lagi, bagaimana saat ini dengan mudahnya obat-obatan hewan yang berkategori obat keras tetapi dijual bebas melalui online. Siapapun bisa membelinya tanpa resep dokter hewan.

Ketiga, Perubahan kurikulum. Kurikulum kedokteran hewan harus mengacu pada kurikulum rumpun ilmu kesehatan. Akreditasi kampus kedokteran hewan pun harus diakreditasi oleh Lembaga Akreditasi Mandiri Perguruan Tinggi Kesehatan (LAM PTKES). Selama ini kita berkelompok (rumpun) ilmu hayat/pertanian, berjumpa dengan berbagai jurusan diranah pertanian, saat ini harus berubah kelompok. Ini tentu tidak mudah, banyak aturan yang harus dirubah, banyak penyesuaian pembelajaran baru yang harus diikuti, apalagi sepanjang sejarah Indonesia, Kedokteran hewan belum pernah masuk dalam rumpun ilmu kesehatan.

Keempat, Dokter hewan harus siap menghadapi tantangan global. Penyakit hewan menular dan penyakit hewan yang berkategori zoonosis saat ini muncul dari berbagai macam jenis hewan. Hewan apapun memiliki potensi bisa menularkan penyakitnya ke manusia. oleh sebab itu, membuka cakrawala (wawasan) yang luas tentang kesehatan hewan suka tidak suka harus dilakukan dan dipelajari oleh dokter hewan. Dokter hewan dituntut untuk mengobati semua jenis hewan, terlebih hewan tersebut memiliki potensi menyebabkan sakit maupun penyakit pada manusia. Baik hewan tersebut dipelihara, maupun hewan liar.

Proses perubahan mindset (pola pikir) dari kurikulum Pendidikan yang lama menuju kedokteran hewan sebagai rumpun ilmu kesehatan, ini tentu tidak instant. Apalagi mahasiswa generasi tahun 2017 saat ini belum ada yang lulus. Disamping itu, tantangan penyakit juga semakin kompleks, belum lagi tantangan penggunaan kuman penyakit hewan yang dijadikan sebagai senjata biologis (Bio terorisme). Tetapi kita optimis, perubahan rumpun kedokteran hewan masuk dalam rumpun ilmu kesehatan ini akan menjadikan profesi kita semakin sejajar dengan profesi kesehatan lainnya. Semoga !
Penulis adalah Sekretaris Umum PDHI Cabang Kepri dan Ketua Umum PB IMAKAHI Periode Masa Bhakti 2006-2008

Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Vetnesia Edisi Desember 2019 (Edisi 12)

    Choose :
  • OR
  • To comment