Bagi kita yang masuk Fakultas Kedokteran Hewan
atau Program Studi Kedokteran Hewan dibawah tahun 2017 mungkin belum banyak
yang mengetahui bahwa Kedokteran Hewan kini sudah masuk dalam rumpun Ilmu
Kesehatan. Hal ini sesuai dengan Keputusan Menteri Riset, Teknologi dan
Pendidikan Tinggi (Ristekdikti) Nomor 257 Tahun 2017 tentang Nama Program Studi
pada Perguruan Tinggi. Keputusan ini kemudian dipertegas kembali melalui Keputusan
Dirjen Pembelajaran dan Kemahasiswaan Nomor: 46 Tahun 2019 tanggal 22 Februari
2019 tentang Daftar Nama Program Studi pada Perguruan Tinggi. Didalam daftar nama tersebut, kedokteran hewan
(veteriner) masuk kedalam rumpun ilmu kesehatan, serumpun dengan ilmu atau
sains Kedokteran, ilmu atau sains kedokteran gigi, ilmu farmasi, kesehatan
masyarakat, keperawatan, kebidanan dan ilmu kesehatan lainnya.
Perubahan rumpun pendidikan ini tentu saja
bukan hanya sebatas berubahnya nama semata, tetapi tentu saja dapat membawa
dampak pada berbagai aspek, diantaranya adalah : Pertama,
Kedokteran hewan memiliki perspektif kesehatan. Selama ini, diakui atau tidak,
kedokteran hewan masih dianggap sebagai penunjang sektor pertanian, khususnya
sub sektor peternakan. Dunia kedokteran hewan seakan-akan selalu berdampingan
dengan dunia peternakan, bahkan dibeberapa kondisi dilapangan, dokter hewan
diartikan sama dengan sarjana dibidang peternakan. Demikian sebaliknya. Bahkan,
saat ini nama undang-undang yang mengatur tentang kesehatan hewan pun bernama
Undang-Undang tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan.
Sebagai dokter hewan, kita akui
memang dunia veteriner ini cukup banyak bersinggungan dengan hewan yang namanya
ternak. Bahkan hewan ternak menjadi salah satu penyumbang protein pangan asal
hewan. Dengan kata lain, produk peternakan seperti daging, susu dan telur telah
diakui secara nyata turut serta mencerdaskan kehidupan bangsa. Tanpa asupan
protein, baik protein hewani maupun nabati (asal tumbuhan), perkembangan
kesehatan masyarakat, terutama generasi muda akan terganggu. Oleh sebab itu, peran
sinergi antara dokter hewan sebagai tenaga medis dengan stakeholder lain
dibidang peternakan ini sangat dibutuhkan. Tetapi jangan juga kemudian dokter
hewan mengklaim dirinya adalah peternakan. Dokter hewan adalah dokter, bukan
ahli segala-galanya dibidang peternakan. Kecuali dokter hewan yang memang
berkecimpung dan berusaha dibidang peternakan. Dalam konteks ini, betul apa
kata pepatah jawa: “Biso lantaran kulino” (bisa karena terbiasa).
Kedua, Saat ini kedokteran hewan semakin
menguatkan peran profesi ini sebagaimana motto PDHI : Manusya Mriga Satwa
Sewaka. Melalui hewan mengabdi kemanusiaan. Artinya dunia kemanusiaan,
kenyamanan batin masyarakat, kesehatan masyarakat dan kesejahteraan masyarakat
menjadi tujuan akhir cita-cita yang harus diwujudkan profesi ini. Keberadaan
profesi dokter hewan menjadi lebih luas, seluas banyaknya jumlah spesies hewan
yang ada dimuka bumi ini. Tetapi semuanya akan bermuara kepada kemanusiaan.
Hewan sehat, manusia sehat. Hal ini tentu berbeda dengan rumpun ilmu
sebelumnya, bahwa dokter hewan memiliki peran dalam meningkatkan perekonomian
masyarakat. Tetapi, tanpa menyalahkan yang lalu-lalu, kenyataan bahwa
peningkatan ekonomi menjadi tujuan saat ini masih terjadi. Sebut saja di
pemerintahan. Baik pemerintah pusat maupun pemerintahan daerah (Pemda). Tidak
sedikit dokter hewan pemerintah yang berjibaku untuk meningkatkan perekonomian,
asal bernilai ekonomi tinggi, urusan kesehatan bisa nomor kesekian, mungkin
demikian istilah ekstremnya. Bahkan konon di instansi swasta juga demikian,
asal perusahaan untung, urusan kesehatan bisa nomor kesekian. Konsekuensinya
pun cukup terasa, saat ini urusan kesehatan hewan bukan menjadi urusan wajib
bagi pemerintahan daerah. Setiap daerah yang tidak memiliki potensi ekonomi
berkenaan dengan hewan, boleh tidak memiliki dokter hewan. Sehingga tidak heran
jika ada di suatu daerah yang tidak ada dokter hewan pemerintahnya. Dokter
hewan pemerintahnya saja tidak ada, apalagi dokter hewan swastanya. Alhasil
peranan dokter hewan dan keberadaan dokter hewan tidak merata dan tidak
terlihat (baca: Namanya juga urusan ekonomi/ pilihan). Padahal, rasanya tidak
ada suatu daerah yang tidak ada hewannya. Semua daerah dipastikan ada hewan
hidup didalamnya, sekurang-kurangnya masyarakatnya memelihara hewan kesayangan
(Kucing, anjing, burung dan lain sebagainya). Belum lagi, bagaimana saat ini
dengan mudahnya obat-obatan hewan yang berkategori obat keras tetapi dijual
bebas melalui online. Siapapun bisa membelinya tanpa resep dokter hewan.
Ketiga, Perubahan kurikulum. Kurikulum
kedokteran hewan harus mengacu pada kurikulum rumpun ilmu kesehatan. Akreditasi
kampus kedokteran hewan pun harus diakreditasi oleh Lembaga Akreditasi Mandiri
Perguruan Tinggi Kesehatan (LAM PTKES). Selama ini kita berkelompok (rumpun)
ilmu hayat/pertanian, berjumpa dengan berbagai jurusan diranah pertanian, saat
ini harus berubah kelompok. Ini tentu tidak mudah, banyak aturan yang harus
dirubah, banyak penyesuaian pembelajaran baru yang harus diikuti, apalagi
sepanjang sejarah Indonesia, Kedokteran hewan belum pernah masuk dalam rumpun
ilmu kesehatan.
Keempat, Dokter hewan harus siap menghadapi
tantangan global. Penyakit hewan menular dan penyakit hewan yang berkategori
zoonosis saat ini muncul dari berbagai macam jenis hewan. Hewan apapun memiliki
potensi bisa menularkan penyakitnya ke manusia. oleh sebab itu, membuka
cakrawala (wawasan) yang luas tentang kesehatan hewan suka tidak suka harus
dilakukan dan dipelajari oleh dokter hewan. Dokter hewan dituntut untuk
mengobati semua jenis hewan, terlebih hewan tersebut memiliki potensi
menyebabkan sakit maupun penyakit pada manusia. Baik hewan tersebut dipelihara,
maupun hewan liar.
Proses perubahan mindset (pola pikir)
dari kurikulum Pendidikan yang lama menuju kedokteran hewan sebagai rumpun ilmu
kesehatan, ini tentu tidak instant. Apalagi mahasiswa generasi tahun 2017 saat
ini belum ada yang lulus. Disamping itu, tantangan penyakit juga semakin
kompleks, belum lagi tantangan penggunaan kuman penyakit hewan yang dijadikan
sebagai senjata biologis (Bio terorisme). Tetapi kita optimis, perubahan
rumpun kedokteran hewan masuk dalam rumpun ilmu kesehatan ini akan menjadikan
profesi kita semakin sejajar dengan profesi kesehatan lainnya. Semoga !
Penulis adalah
Sekretaris Umum PDHI Cabang Kepri dan Ketua Umum PB IMAKAHI Periode Masa Bhakti
2006-2008
Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Vetnesia Edisi Desember 2019 (Edisi 12)