Wednesday, March 08, 2023

Izin Praktik Dokter Hewan dan Perpu Cipta Kerja



Harapan pemerintah untuk membuat aturan hukum yang lebih sederhana dalam satu Undang-Undang (UU) dikenal dengan omnibus law, sejatinya patut kita apresiasi. Termasuk, UU yang mengatur tentang Cipta Kerja. Terlepas dari persoalan pro dan kontra.  Nyatanya, negara ini memang sudah kadung terlalu banyak aturan. Sehingga, agar urusan lebih mudah, persoalan peraturan ini memang harus disederhanakan. Akan tetapi, ada persoalan yang justru kontra produktif dari semangat penyederhanaan. Salah satunya adalah persoalan tentang Izin praktik dokter hewan. 

Layaknya sebagai seorang dokter, dokter hewan dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, sejatinya juga harus memiliki Surat Izin Praktik (SIP). Hal ini sebagaimana diatur dalam UU Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, sebagaimana telah di revisi menjadi UU Nomor 41 Tahun 2014, terutama pada pasal 72 ayat (1) bahwa Tenaga Kesehatan Hewan yang melakukan pelayanan kesehatan hewan wajib memiliki Surat izin Praktik kesehatan hewan yang dikeluarkan oleh Bupati/Walikota.

Sementara itu, penerbitan SIP Dokter Hewan yang diterbitkan oleh Bupati/walikota, selama ini tidak mensyaratkan kewajiban memiliki Nomor Induk Berusaha (NIB). Hal ini dinilai wajar, karena dokter hewan yang menjalankan praktik, belum tentu sebagai pemilik usaha. Bahkan, banyak dokter hewan yang hanya sebagai pekerja, mereka menjalankan layanan jasa profesinya dengan bekerja di perusahaan atau di klinik hewan yang pemiliknya bisa saja bukan seorang dokter hewan. 

Dengan kata lain, penerbitan SIP Dokter Hewan sebelum ini hampir tidak menemui persoalan. Dokter hewan dianggap telah dengan baik menjalankan layanan jasa profesinya. Buktinya, saat ini layanan praktik dokter hewan tidak hanya berada di kota besar saja, tetapi juga sudah merambah hingga ke berbagai kota kecil (kota kecamatan) di Indonesia.
Kewajiban Memiliki Nomor Induk Berusaha

Setelah terbitnya UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, persoalan izin praktik dokter hewan justru timbul masalah.  Ketentuan pada pasal 72 ayat (1) UU Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, sebagaimana telah di revisi menjadi UU Nomor 41 Tahun 2014 diubah menjadi Pasal 34 angka 17 ayat (1) yakni Tenaga Kesehatan Hewan yang melakukan pelayanan kesehatan hewan wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. 

Kalimat “wajib memiliki Surat izin Praktik kesehatan hewan” berganti menjadi “wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat”. Perubahan ini menurut penulis cukup fundamental bagi profesi dokter hewan. Hal ini bukan hanya berkenaan dengan dokter hewan sebagai profesi, tetapi juga berpotensi melanggar tata Etika Profesi, bahkan dapat membunuh niali-nilai etika profesi tenaga kesehatan hewan.

Selain itu, dampak atas perubahan ini juga mengakibatkan bahwa tatkala tenaga kesehatan hewan akan memberikan layanan kesehatan hewan, ia wajib memiliki Nomor Induk Berusaha (NIB), artinya dokter hewan dianggap pengusaha seperti petani, peternak, pedagang atau pelaku usaha lainnya yang menjalankan usahanya. 

Oleh sebab itu, tidak salah jika dokter hewan melalui PB PDHI (Pengurus Besar Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia) pada 2022 yang lalu, menggugat ke Mahmakah Konstitusi (MK). Organisasi ini menilai, pasal tentang kewajiban perizinan berusaha inkonstitusional. Diharapkan, Izin praktik dokter hewan seyogyanya disamakan saja seperti pelayanan perizinan praktik pada tenaga kesehatan atau profesi lainnya. 

Perizinan Praktik, Berbeda dengan Perizinan Berusaha

Menurut Notoatmodjo (2010), Praktik adalah suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt behaviour). Untuk mewujudkannya diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain adalah fasilitas, seperti tempat praktik, sedangkan pengertian Perizinan Berusaha adalah legalitas yang diberikan kepada pelaku usaha untuk memulai dan menjalankan usaha dan/atau kegiatannya. 

Selanjutnya, dalam konteks kedokteran, Praktik kedokteran adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh dokter terhadap pasien dalam melaksanakan upaya kesehatan. Untuk melaksanakan praktiknya, dokter memiliki tempat pelaksanaan praktik yaitu fasilitas pelayanan kesehatan seperti praktik mandiri, Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas), Klinik, Rumah Sakit dan Fasilitas pelayanan kedokteran untuk kepentingan hukum dan lain sebagainya. Artinya, dalam berpraktik, belum tentu seseorang itu menjalankan usaha dan belum tentu sebagai pemilik fasilitas pelayanan kesehatan. Sehingga perizinan praktik, berbeda dengan perizinan berusaha.

Kemudian, jika diwajibkan memiliki NIB, maka salah satu syarat membuat NIB adalah pemohon wajib mencantumkan besaran modal, sehingga namanya sebuah usaha, bukan tidak mungkin, nanti akan ada kategori dokter hewan skala mikro, dokter hewan skala kecil, menengah dan seterusnya. Karena dokter hewan dinilai sebagai unit usaha. 

Putusan Mahkamah Konstitusi

Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK), atas Perkara yang teregister dengan Nomor 64/PUU-XIX/2021, MK menyatakan menolak gugatan uji materiil yang diajukan Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PDHI). Penyebabnya, karena UU tersebut telah dinyatakan inkonstitusional bersyarat pada 25 November 2021. 

Oleh sebab itu, mengacu pada hasil keputusan MK, sejatinya dokter hewan se Indonesia mengharapkan, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja akan menjawab keresahan yang dialaminya. Namun ternyata, Perpu yang ditandatangani presiden Jokowi tanggal 30 Desember 2022 itu, justru tidak mengubah apapun.  Pasal yang telah di ajukan ke MK, sama sekali tidak dilakukan perubahan.

Selagi Perpu ini belum ditetapkan sebagai UU, semoga Pasal 34 angka 17 ayat (1) Perpu Nomor 2 Tahun 2022 yang berbunyi “Tenaga Kesehatan Hewan yang melakukan pelayanan kesehatan hewan wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat” dirubah menjadi “Setiap Usaha Kesehatan Hewan yang melakukan pelayanan kesehatan hewan wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat”. Artinya, kita mendukung bahwa semua unit usaha wajib memenuhi perizinan berusaha.

Berbeda halnya jika tenaga kesehatan hewan seperti dokter hewan dan paramedik veteriner telah berubah menjadi pengusaha, maka kita khawatir, tidak ada lagi dokter hewan yang melayani praktik di yayasan sosial seperti shelter anjing, yayasan peduli kucing terlantar. Atau di lembaga konservasi seperti pelestarian owa jawa, orang utan dan lain sebagainya. Dampaknya, masyarakat dan negara sendiri yang dirugikan.

ditulis oleh: drh. Iwan Berri Prima
Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Vetnesia edisi Februari 2023

    Choose :
  • OR
  • To comment