Anti Microbial Resistance (AMR) merupakan suatu keadaan dimana mikroba seperti Bakteri, Jamur, Parasit dan mikroba lainnya mengalami resistensi terhadap pengobatan anti mikroba. Sebagai contoh, jika sebelumnya Bakteri tertentu sembuh diobati dengan antibiotik jenis tertentu, maka saat ini ia tidak sembuh (resisten). Dampaknya, obat yang biasanya ampuh, kini menjadi tidak mampu mengatasi kasus penyakit itu.
Menurut para ahli, banyak penyebab mengapa mikroba menjadi resisten. Namun demikian, nyatanya sektor peternakan dan kesehatan hewan yang relatif besar mendapat sorotan sebagai penyumbang kejadian AMR.
Penyebabnya adalah, produk pangan asal hewan yang merupakan produk pangan dominan di konsumsi oleh masyarakat Indonesia, seperti Daging, susu dan telur, sangat rentan untuk berpotensi menyumbang AMR. Diantaranya adalah, masih banyaknya temuan penggunaan antibiotik untuk pengobatan ternak yang dilakukan tanpa resep dokter hewan. Padahal, mengacu pada Undang-Undang (UU) No 18 Tahun 2009 yang telah direvisi menjadi UU Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, pemberian obat keras (seperti antibiotik) kepada hewan wajib menggunakan resep dokter hewan. Apalagi ternak tersebut akan dikonsumsi oleh masyarakat. Hal ini tercantum dalam pasal 51, ayat 1 bahwa Obat keras yang digunakan untuk pengamanan penyakit hewan dan/atau pengobatan hewan sakit hanya dapat diperoleh dengan resep dokter hewan dan ayat 3 bahwa Setiap orang dilarang menggunakan obat hewan tertentu pada ternak yang produknya untuk konsumsi manusia.
Kewajiban adanya resep dokter hewan dalam penggunaan obat keras yang diberikan untuk hewan sejatinya bukan tanpa sebab. Salahsatunya adalah, obat keras seperti antibiotik memiliki dosis tertentu dan penggunaan atau pemberiannya pun memiliki aturan. Khusus untuk hewan pangan, pemberian antibiotik yang sembarangan akan berakibat pada residu (sisa) antibiotik didalam produk pangan itu. Dengan kata lain, konsumen yang akan mengkonsumsi produk pangan sama saja dengan mengkonsumsi (residu) antibiotik. Jika ini dibiarkan terus menerus, maka bukan tidak mungkin, kita yang sehat, jika suatu saat sakit dan diobati dengan antibiotik yang secara tidak sengaja telah kita konsumsi, maka menjadi tidak mempan. Sehingga, sebagai profesi dokter yang telah disumpah, seorang dokter hewan, sepenuhnya menyadari bahwa tanggung jawabnya cukup besar untuk menjamin produk pangan asal hewan yang aman, sehat, utuh dan halal.
Selain itu, pengobatan anti mikroba yang serampangan juga berakibat buruk terhadap hewan atau ternak kita. Hewan juga suatu saat berpotensi menjadi resisten terhadap pengobatan anti mikroba tertentu. Akibatnya, pengobatan pun menjadi lebih sulit dan mahal.
Membangun Komitmen Bersama
Untuk menanggulangi penggunaan anti mikroba, khususnya penggunaan obat keras tanpa resep dokter hewan, sebenarnya bukan hanya tanggung jawab Pemerintah melalui Pengawas Obat Hewan (POH) saja, tetapi ini merupakan tanggungjawab kita semua. Terutama bagi market place atau penjual obat yang hingga saat ini masih bebas menjual anti mikroba / antibiotik tanpa resep dokter hewan. Jika masyarakat saja mudah mendapatkan obatnya, maka jangan salahkan jika mereka melakukannya. Ini pokok persoalan yang sebenarnya.
Selanjutnya, tidak tegasnya sanksi yang diberikan oleh para pelaku juga semakin memperburuk situasi, bahkan pernah kita temui sebuah kasus dimana seorang yang bukan dokter hewan, tetapi mengumumkan dirinya untuk menerima layanan kesehatan hewan dan pengobatan hewan dengan obat keras.
Oleh sebab itu, untuk mengatasi persoalan AMR di sektor Peternakan dan Keswan setidaknya harus memiliki 3 komitmen bersama. Pertama, mari kita berantas peredaran obat hewan (terutama obat keras) yang dijual bebas (tanpa resep dokter hewan) di Market Place. Salah satu caranya adalah dengan melaporkan situs atau link penjualan obat hewan tersebut kepada pihak terkait dan ini sebaiknya dilakukan secara massal. Melibatkan elemen lain, seperti mahasiswa dan komunitas masyarakat.
Sementara itu, peranan Pengawas Obat Hewan sebagai ujung tombak dalam pengawasan obat hewan juga harus semakin ditingkatkan dan jumlahnya juga sebaiknya semakin diperbanyak. Bahkan, jika perlu, pengawasan obat hewan digabungkan saja menjadi satu dengan instansi pengawas obat dan makanan (BPOM). Terlebih, obat dan obat hewan sebenarnya merupakan zat/bahan/ sediaan yang kandungannya hampir sama. Hanya peruntukan dan dosisnya saja yang membedakan.
Kedua, pemerintah sesuai dengan kewenangannya harus berkomitmen untuk melaksanakan amanat pasal 63 UU Nomor 18 Tahun 2009 sebagaimana dirubah menjadi UU Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Keswan, yakni Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya wajib menyelenggarakan penjaminan higiene dan sanitasi.
Untuk mewujudkan higiene dan sanitasi sebagaimana dimaksud dilaksanakan: a. pengawasan, inspeksi, dan audit terhadap tempat produksi, rumah pemotongan hewan, tempat pemerahan, tempat penyimpanan, tempat pengolahan, dan tempat penjualan atau penjajaan serta alat dan mesin produk hewan; b. surveilans terhadap residu obat hewan, cemaran mikroba, dan/atau cemaran kimia; dan c. pembinaan terhadap orang yang terlibat secara langsung dengan aktivitas tersebut.
Dengan kata lain, dalam hal ini, urgensi Pengawas Kesmavet menjadi kunci dalam pengendalian AMR pada produk pangan asal hewan. Setelah itu, perlu dilakukan penelusuran dan sanksi yang lebih tegas jika ditemukan pelaku yang sengaja melakukan cemaran pangan (terutama residu obat hewan) di sebuah unit usaha.
Kemudian, jumlah pengawas Kesmavet seharusnya juga semakin diperbanyak. Agar keberadaannya merata hingga diseluruh Kabupaten/kota di Indonesia.
Ketiga, perlunya tindakan kongkret seluruh stakeholder dalam mengatasi AMR. Kementerian Pertanian dan World Organization of Animal Health (WOAH) bersama beberapa industri perunggasan dan obat hewan di Indonesia, beberapa saat yang lalu telah mendeklarasikan 5 langkah konkrit dalam usaha mengendalikan Antimicrobial Resistance (AMR) khususnya di Indonesia.
Deklarasi ini dilaksanakan bertepatan dengan Pekan Perayaan Kesadaran Antimikroba Sedunia yang berlangsung pada tanggal 18 – 24 November 2022.
Adapun 5 langkah yang dideklarasikan sebagai berikut :
1. Berkomitmen dalam penggunaan antimikroba dengan bijak yang tepat jenis dan tepat dosis sesuai resep dokter hewan dan mendukung program edukasi berkelanjutan.
2. Meningkatkan biosekuriti, vaksinasi, dan tindakan pencegahan untuk mengurangi tingkat infeksi.
3. Mengurangi penggunaan antimikroba di peternakan dan penerapan manajemen limbah yang baik.
4. Berinvestasi dalam pemanfaatan vaksin, antimikroba inovatif, dan teknologi baru untuk menekan laju resistensi antimikroba, dan
5. Berkolaborasi antar industri dan peneliti/akademisi dalam riset, data, dan informasi untuk memerangi resistensi antimikroba.
Semoga dengan komitmen bersama ini, sektor peternakan dan kesehatan hewan mampu mengatasi kejadian AMR di Indonesia. Hal ini sesuai dengan Motto PDHI, yakni Manusya Mriga, Satwa Sewaka. Mensejahterakan hewan, melalui dunia hewan. Semoga!
ditulis oleh: drh. Iwan Berri Prima
Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Vetnesia, Edisi Januari 2023