Sejak Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) kembali merebak dan dinyatakan sebagai wabah melalui Keputusan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor: 403/KPTS/PK.300/M/05/2022 tanggal 9 Mei 2022 tentang Penetapan Daerah Wabah Penyakit Mulut dan Kuku pada Beberapa wilayah di Provinsi Jawa Timur dan Keputusan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor: 404/KPTS/PK.300/M/05/2022 tanggal 9 Mei 2022 tentang Penetapan Daerah Wabah Penyakit Mulut dan Kuku di Kabupaten Aceh Tamiang Provinsi Aceh, pemerintah mulai menekankan pentingnya setiap pemerintah daerah untuk menetapkan Pejabat Otoritas Veteriner (POV). Hal ini setidaknya, tertuang dalam Instruksi Mendagri Nomor 37 Tahun 2022 tentang Penanganan PMK di Daerah yang diterbitkan pada 15 Juli 2022 yang lalu.
Melalui Instruksi Mendagri ini, Kemendagri kembali meminta kepada Gubernur, Bupati dan Wali Kota untuk menetapkan Pejabat Otoritas Veteriner (POV) serta mengoptimalkan peran dan fungsinya untuk menjamin mitigasi risiko kesehatan hewan dan lingkungan serta pengaruhnya pada aspek ekonomi, sosial, dan budaya sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dasar Hukum Otoritas Veteriner
Adanya istilah Otoritas
Veteriner atau Otovet sejatinya bukan perihal yang baru. Istilah ini sudah ada
sejak lama. Merujuk pada Undang-Undang (UU) Nomor 18 Tahun 2009 yang direvisi
menjadi UU Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan dan
kemudian direvisi kembali menjadi UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja,
dasar hukum tentang Otoritas Veteriner tidak dirubah. Otoritas veteriner adalah
kelembagaan Pemerintah dan/atau kelembagaan yang dibentuk Pemerintah dalam
pengambilan keputusan tertinggi yang bersifat teknis kesehatan hewan dengan
melibatkan keprofesionalan dokter hewan dan dengan mengerahkan semua lini
kemampuan profesi mulai dari mengindentifikasikan masalah, menentukan kebijakan,
mengoordinasikan pelaksana kebijakan, sampai dengan mengendalikan teknis
operasional di lapangan.
Selanjutnya, masih mengacu pada UU tersebut di atas, Penyelenggaraan kesehatan hewan di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia memerlukan otoritas veteriner dan bersama organisasi profesi kedokteran hewan, Otovet melaksanakan Siskeswanas dengan memberdayakan potensi tenaga kesehatan hewan dan membina pelaksanaan praktik kedokteran hewan di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Di samping melaksanakan pengendalian dan penanggulangan penyakit hewan, kesehatan masyarakat veteriner, dan/atau kesejahteraan hewan, otoritas veteriner juga melakukan pelayanan kesehatan hewan, pengaturan tenaga kesehatan hewan, pelaksanaan medik reproduksi, medik konservasi, forensik veteriner, dan pengembangan kedokteran hewan perbandingan.
Selain itu, dasar hukum Otovet juga secara spesifik diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP), yakni PP Nomor 3 Tahun 2017 tentang Otoritas Veteriner dan secara teknis, aturan tentang Otovet dijelaskan melalui Peraturan Menteri Pertanian Nomor 08 Tahun 2019 tentang Pejabat Otoritas Veteriner dan Dokter Hewan Berwenang. Dengan demikian, secara aturan hukum, Otovet memiliki dasar hukum yang kuat.
Tugas, Wewenang dan Fungsi
Dalam melaksanakan
perintah Undang-Undang dan aturan hukum turunannya, Otoritas Veteriner dipimpin
oleh seorang Pejabat Otoritas Veteriner (POV). Secara umum, Otoritas
Veteriner mempunyai tugas menyiapkan rumusan dan melaksanakan kebijakan dalam penyelenggaraan
Kesehatan Hewan dan Otoritas Veteriner berwenang mengambil keputusan tertinggi
yang bersifat teknis Kesehatan Hewan.
Namun, pelaksanaan tugas dan wewenang Otoritas Veteriner merupakan penguatan tugas, fungsi, dan wewenang dalam penyelenggaraan Kesehatan Hewan. Dalam pengambilan keputusan tertinggi Otoritas Veteriner melibatkan keprofesionalan Dokter Hewan dan mengerahkan semua lini kemampuan profesi.
Selanjutnya, Otoritas Veteriner mempunyai fungsi: a. pelaksana Kesehatan Masyarakat Veteriner; b. penyusun standar dan meningkatkan mutu penyelenggaraan Kesehatan Hewan; c. pengidentifikasi masalah dan pelaksana pelayanan Kesehatan Hewan; d. pelaksana pengendalian dan penanggulangan Penyakit Hewan; e. pengawas dan pengendali pemotongan ternak ruminansia betina produktif dan/atau ternak ruminansia indukan; f. pengawas tindakan penganiayaan dan penyalahgunaan terhadap Hewan serta aspek Kesejahteraan Hewan lainnya; g. pengelola Tenaga Kesehatan Hewan; h. pelaksana pengembangan profesi kedokteran Hewan; i. pengawas penggunaan alat dan mesin Kesehatan Hewan; j. pelaksana perlindungan Hewan dan lingkungannya; k. pelaksana penyidikan dan pengamatan Penyakit Hewan; l. penjamin ketersediaan dan mutu Obat Hewan; m. penjamin keamanan Pakan dan bahan Pakan asal Hewan; n. penyusun prasarana dan sarana serta pembiayaan Kesehatan Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner; dan o. pengelola medik akuatik dan medik konservasi.
Oleh sebab itu, mengacu pada besarnya Tugas, Wewenang dan Fungsi seorang Pejabat Otovet ada beberapa catatan kritis yang patut menjadi perhatian dari pemangku kebijakan.
Pertama, menindaklanjuti dinamika sistem ASN (Aparatur Sipil Negara) yang sangat dinamis, yakni tidak adanya pejabat eselon IV di daerah, khususnya di dinas teknis di Kabupaten/Kota (akibat Penyederhanaan jabatan), maka aturan yang mengatur bahwa seorang POV adalah minimal paling rendah berkedudukan sebagai pejabat pengawas atau pejabat eselon IV untuk POV Kabupaten/Kota ini perlu mendapat prioritas dalam pembenahan/ revisi. Bahkan, sejatinya seorang POV adalah pemimpin maka seharusnya, POV adalah wajib sebagai pejabat eselon. Tidak sebagai staf atau pejabat fungsional. Terbukti, ketika seorang fungsional (Medik veteriner Muda) menjadi POV, banyak POV di daerah yang sangat kesulitan ketika harus berkoordinasi dengan pimpinan instansi lain, sebut saja, dalam penanganan PMK, seorang POV harus berkoordinasi dengan Kepolisian, Kejaksaan, TNI, BIN dan instansi lainnya. Kesulitan koordinasi ini juga berkenaan dengan jenjang birokrasi, dalam hal surat menyurat dan dalam rapat di level kepemimpinan (rapat pimpinan) di daerah. Dengan kata lain, pemerintah melalui Kementan sebaiknya justru menaikkan standar minimal seorang POV adalah minimal pejabat eselon III untuk Kabupaten/Kota, bukan justru boleh dari seorang pejabat fungsional. Pertimbangannya adalah, ketika seseorang sudah ditunjuk menjadi POV, sejatinya seseorang itu telah dipandang cakap dan mampu untuk mengemban amanah menjadi Kepala Bidang di lingkup Bidang Kesehatan Hewan. Dampaknya, ini sangat positif bagi sistem kesehatan hewan nasional.
Kedua, tanggung jawab besar, namun “minim apresiasi”. Itulah yang dialami oleh pejabat otovet di daerah. Seorang POV harus menjadi leader dalam penanganan kasus penyakit hewan, namun dirinya sendiri tidak mendapat apresiasi terutama dalam penghasilan atau gaji dan tunjangan / honor. Hal ini tentu sangat bertentang dengan prinsip keadilan. Siapa yang bertanggung jawab lebih besar, seharusnya ia yang mendapat apresiasi lebih besar. Nyatanya, hingga saat ini belum ada aturan yang mengatur tentang besaran apresiasi atau besaran honor/ gaji/ tunjangan jika seseorang ditunjuk sebagai seorang POV. Artinya, seorang POV saat ini bekerja keras, bahkan tidak jarang mendapat ‘intimidasi’ karena komitmennya dalam menjaga wilayah dari ancaman penyakit hewan, terutama berkenaan dengan rekomendasi pemasukan dan pengeluaran hewan (lalu lintas) hewan rentan PMK dan pelaksanaan pemotongan hewan kurban dimasa wabah PMK, namun bekerjanya secara sukarela alias tanpa pamrih. Untuk hal ini, tidak salah jika pahlawan tanpa tanda jasa, juga patut kita sematkan kepada Pejabat Otoritas Veteriner se Indonesia.
Ketiga, Pemerintah meminta seluruh Kepala Daerah untuk menetapkan POV di daerahnya, Namun demikian, mengacu pada pembagian Urusan pemerintahan konkuren, sejatinya tidak ada kewajiban daerah untuk melaksanakan urusan kesehatan hewan (keswan), hal ini mengingat urusan keswan bukan urusan wajib. Melainkan urusan pilihan yang masuk dalam urusan pertanian. Akibatnya, wajar jika tidak semua kepala daerah menetapkan POV. Berdasarkan Data dari Dirjen Bina Pembangunan Daerah Kemendagri per 16 Juli 2022, jumlah daerah yang telah menetapkan POV baru 129 Kabupaten/Kota (25,09%) dari 514 Kabupaten/Kota se Indonesia. Sehingga seharusnya pemerintah menetapkan aturan terlebih dahulu bahwa urusan kesehatan hewan adalah urusan pemerintahan wajib bagi pemerintah daerah, barulah kemudian pemerintah meminta kepala daerah untuk menetapkan POV. Jangan terbalik, meminta sesuatu yang sebenarnya pemerintah daerahnya sendiri tidak wajib menjalankan urusan itu.
Semoga dengan catatan kritis ini, kemajuan kesehatan hewan di Indonesia, yang bermuara pada meningkatnya kemajuan sektor peternakan, peningkatan kesejahteraan peternak, terlindunginya ekosistem dan lingkungan serta terwujudnya kesehatan yang satu (konsep one helath) akan semakin mudah terwujud. Bahkan, bukan tidak mungkin nantinya setiap daerah akan berlomba-lomba untuk menetapkan POV nya. Bukan seperti saat ini, untuk menetapkan POV, sejak 2009 hingga saat ini, kepala daerah masih gamang. Wallahualam Bissawab.
Penulis: drh. Iwan Berri Prima (Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Vetnesia edisi Juli 2022)