Thursday, January 05, 2023

Peran Mahasiswa Kedokteran Hewan dalam Pengawasan Obat Hewan


Pemberantasan obat hewan illegal dan obat hewan yang berkategori keras namun dijual bebas tanpa resep dokter hewan, butuh kerja yang tidak biasa. Dibutuhkan terobosan yang massif dan terstruktur dengan melibatkan lebih banyak Sumber Daya Manusia (SDM).

Mengacu pada Peraturan Menteri Pertanian Nomor 16 Tahun 2021 tentang Kajian Lapang dan Pengawasan Obat Hewan, pengawasan obat hewan sejatinya butuh peran serta kita semua (masyarakat), namun, tanggung jawab pengawasannya dilakukan oleh pemerintah melalui Pengawas Obat Hewan (POH) pusat dan pemerintah daerah, sesuai tingkatan kewenangannya.

Berdasarkan jenis usahanya, Untuk Pengawas Obat Hewan (POH) Pusat (Kementerian Pertanian) berwenang dalam mengawasi di tingkat Produsen obat hewan, Eksportir dan Importir, sedangkan pengawas obat hewan tingkat Provinsi bertanggung jawab untuk mengawasi di tingkat distributor, serta untuk pengawas obat hewan tingkat Kabupaten/Kota, memiliki tanggung jawab untuk mengawasi pelaku usaha meliputi depo, apotek veteriner, pet shop, poultry shop, dan toko Obat Hewan.

Sementara itu, secara konsisten Pemerintah melalui Substansi Pengawas Obat Hewan, Direktorat Kesehatan Hewan, Ditjen PKH Kementan juga terus meningkatkan jumlah SDM pengawas obat hewan, baik secara kualitas, maupun Kuantitas. Adapun Persyaratan untuk ditetapkan sebagai Pengawas Obat Hewan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) Peraturan Menteri Pertanian Nomor 16 Tahun 2021  adalah sebagai berikut: a. dokter hewan yang berstatus aparatur sipil negara; b. bertugas pada instansi yang menyelenggarakan kesehatan hewan; c. telah mengikuti pelatihan dan memperoleh sertifikat pelatihan Pengawas Obat Hewan; dan d. tidak berafiliasi atau memiliki konflik kepentingan dengan kegiatan usaha di bidang Obat Hewan.

Namun demikian, pertambahan jumlah Pengawas Obat Hewan di Indonesia, nyatanya tidak berimbang jika dibandingkan dengan jumlah pertumbuhan lapangan usaha yang bergerak dibidang obat hewan. belum lagi, penjualan obat hewan illegal dan obat hewan yang berkategori keras dengan memanfaatkan “market place” juga semakin menjamur. Terbukti, ketika kita mengetik jenis obat tertentu, dengan mudah akan kita temukan di market place itu atau di internet (e-Commerce).

Akibatnya, akhir-akhir ini kita kerap menemukan dokter hewan abal-abal yang bertindak seolah-olah menjadi dokter hewan, padahal ia bukan lulusan Pendidikan Profesi Dokter Hewan dan hanya mempelajari cara pengobatan melalui media sosial serta bermodalkan sarana obat-obatan hewan yang mudah ia dapatkan, namun ia membuka pelayanan kesehatan hewan. Terbaru, kasus seperti ini kita temukan di wilayah Kabupaten Blitar, Jawa Timur.

Kondisi ini tentu sangat membahayakan. Hal ini tidak hanya mengancam kesehatan masyarakat, hewan dan lingkungan, namun juga berpotensi menyalahi aturan dalam penggunaan obat dan mengancam eksistensi profesi dokter hewan.

Oleh sebab itu, upaya pemberantasan penjualan obat hewan, khususnya obat keras yang dijual secara online (tanpa resep dokter hewan) harus kita hentikan. Upaya POH Kementerian Pertanian yang telah men “take down” ratusan situs penjualan obat hewan melalui Market Place harus kita apresiasi.

Perlu Terobosan Melalui Peran Mahasiswa Kedokteran Hewan

Secara umum, proses “take down” situs penjualan obat hewan yang dilakukan pemerintah sudah berjalan dengan baik, namun kecepatan dan jangkauannya masih belum massif. Selama ini, dengan keterbatasan jumlah SDM, POH diberbagai tingkatan, hanya melakukan pelaporan secara sporadik. Maklum, bagi POH, terutama POH di daerah,  tugas pengawasan obat hewan buktinya masih belum menjadi prioritas utama. Bahkan, pengawasan obat hewan sebagian besar hanya menjadi pelengkap dari tugas besarnya sebagai tenaga fungsional medik veteriner.

Dengan demikian, dibutuhkan SDM lain yang dapat membantu pengawasan obat hewan, salah satunya adalah dengan meningkatkan peran mahasiswa kedokteran hewan. Di era kekinian, rasanya mahasiswa merupakan sumber daya yang tepat untuk membantu menjadi pengawas, terutama bagi penjualan obat hewan illegal di dunia maya. Caranya adalah perlu adanya sosialisasi kepada mahasiswa, yang mungkin dapat difasilitasi melalui Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Kedokteran Hewan atau melalui IMAKAHI (Ikatan Mahasiswa Kedokteran Hewan Indonesia), bahwa obat-obatan hewan apa saja yang tidak boleh dijual secara bebas.

Jika ditemukan (Secara online), laporannya pun cukup mudah, mahasiswa hanya perlu menulis Nama Akun Penjual, Merk Obat yang dijual, Kandungan obat yang ditawarkan dan mengcopy Link internet obat hewan tersebut.

Setelah itu, masukkan semua catatan temuan tersebut dalam sebuah tabel dan kirimkan ke Pengawas obat hewan (POH) yang dikenalnya (Penulis siap menjadi saluran aduan atau penerima laporan), nanti pihak POH (penulis) yang akan mengindentifikasi potensi pelanggaran dan meneruskan ke POH pusat (Kementerian Pertanian). Hal ini berkenaan dengan tugas “take down” selama ini disepakati melalui satu pintu, yakni melalui POH pusat dan POH pusat akan bersurat kepada Kementerian Kominfo (untuk penjualan melalui website) dan kepada Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) untuk penjualan melalui “Market Place”.

Akan tetapi, kedepan akan Lebih bagus lagi jika POH Pusat menyediakan kanal khusus (daftar form isian) atau aplikasi tertentu yang berfungsi sebagai saluran aduan jika masyarakat menemukan situs penjualan obat hewan illegal.

Obat-Obatan hewan yang Tidak Boleh Dijual Bebas

Terdapat banyak jenis obat hewan yang tidak boleh dijual bebas, baik secara offline (jualan langsung) maupun secara online. Jenis obat ini memiliki kode K. Namun sayangnya, kode ini biasanya tidak ditemukan pada obat hewan illegal. Obat itu salah satunya adalah Obat jenis Antibiotik. Merknya beragam, yang jelas adalah Antibiotik apapun, ketika di market place atau di website menuliskan itu obat anti biotik, maka ini dilarang dijual secara bebas.

Kemudian yang dilarang selanjutnya adalah Hormon. Apapun jenis hormonnya. Bahkan yang menarik adalah penjualan hormon tertentu, karena obat hewan sebenarnya “tidak ada beda” dengan obat manusia, akibatnya pembelian obat ini sering disalahgunakan. Meski ini obat hewan, ternyata banyak digunakan untuk manusia.

Selanjutnya adalah jenis Vaksin, walaupun vaksin harus dalam rantai dingin, buktinya masih ditemukan penjualan vaksin melalui online, dijual secara bebas. Padahal, vaksin merupakan produk biologis, merupakan mikro organisme (antigen) yang dilemahkan/dimatikan, memerlukan kondisi khusus pada penyimpanannya (umumnya membutuhkan suhu 2-8 ˚C, digunakan untuk menimbulkan kekebalan spesifik berdasarkan antigen yang terkandung dan dapat rusak apabila terpapar sinar matahari langsung.

Selain itu, ada juga obat-obatan yang berkategori injeksi. Meski obat ini “hanya” berisi vitamin, namun jika penjualnya juga menjual spuit (suntikan dan jarum suntiknya), ini juga perlu dilaporkan. Caranya, tanyakan saja ke penjualnya, apakah ini dijual juga alat suntiknya? Jika iya, jangan segan-segan untuk melaporkan. Apalagi, obat injeksi tentu membutuhkan skill dan pengetahuan bagi penggunanya. Tidak boleh masyarakat awam melakukan pengobatan injeksi sendiri.

Kemudian ada juga obat jenis anastesi (obat bius) dan jenis obat-obatan berkategori Narkotika tidak boleh dijual bebas. Khusus obat ini, pihak Aparat Penegak Hukum (Kepolisian), BNN dan BPOM, barangkali sudah melakukan pengawasan. Namun, untuk obat hewan, barangkali mereka belum melakukan pengawasan, karena tupoksi pengawasan obat hewan sejauh ini masih menjadi tanggung jawab dari Kementerian Pertanian bersama POH di seluruh pemda di Indonesia.

Oleh sebab itu, mari jadilah pelapor untuk memberantas obat hewan illegal dan berkategori keras namun dijual bebas di Internet (E-Comerrce). Terutama bagi mahasiswa Kedokteran Hewan, Mulailah dari hal-hal yang kecil dengan peduli pada obat hewan, mulailah dari diri sendiri, dan mulailah dari sekarang, kalau bukan kita siapa lagi, kalau tidak sekarang, kapan lagi?

Penulis: drh. Iwan Berri Prima (Penulis adalah Pengawas Obat Hewan dan Medik Veteriner Ahli Muda Kabupaten Bintan), Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Vetnesia Edisi Bulan April 2022

    Choose :
  • OR
  • To comment