Pemberantasan obat hewan illegal dan obat hewan yang berkategori keras namun dijual bebas tanpa resep dokter hewan, butuh kerja yang tidak biasa. Dibutuhkan terobosan yang massif dan terstruktur dengan melibatkan lebih banyak Sumber Daya Manusia (SDM).
Mengacu pada Peraturan Menteri Pertanian Nomor 16
Tahun 2021 tentang Kajian Lapang dan Pengawasan Obat Hewan, pengawasan obat
hewan sejatinya butuh peran serta kita semua (masyarakat), namun, tanggung
jawab pengawasannya dilakukan oleh pemerintah melalui Pengawas Obat Hewan (POH)
pusat dan pemerintah daerah, sesuai tingkatan kewenangannya.
Berdasarkan jenis usahanya, Untuk Pengawas Obat Hewan (POH) Pusat (Kementerian Pertanian) berwenang dalam mengawasi di tingkat Produsen obat hewan, Eksportir dan Importir, sedangkan pengawas obat hewan tingkat Provinsi bertanggung jawab untuk mengawasi di tingkat distributor, serta untuk pengawas obat hewan tingkat Kabupaten/Kota, memiliki tanggung jawab untuk mengawasi pelaku usaha meliputi depo, apotek veteriner, pet shop, poultry shop, dan toko Obat Hewan.
Sementara
itu, secara konsisten Pemerintah melalui Substansi Pengawas Obat Hewan,
Direktorat Kesehatan Hewan, Ditjen PKH Kementan juga terus meningkatkan jumlah
SDM pengawas obat hewan, baik secara kualitas, maupun Kuantitas. Adapun
Persyaratan untuk ditetapkan sebagai Pengawas Obat Hewan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 23 ayat (1) Peraturan
Menteri Pertanian Nomor 16 Tahun 2021
adalah sebagai berikut: a. dokter hewan yang berstatus
aparatur sipil negara; b. bertugas pada instansi yang menyelenggarakan
kesehatan hewan; c. telah mengikuti pelatihan dan memperoleh sertifikat
pelatihan Pengawas Obat Hewan; dan d. tidak berafiliasi atau memiliki konflik
kepentingan dengan kegiatan usaha di bidang Obat Hewan.
Namun
demikian, pertambahan jumlah Pengawas Obat Hewan di Indonesia, nyatanya tidak
berimbang jika dibandingkan dengan jumlah pertumbuhan lapangan usaha yang
bergerak dibidang obat hewan. belum lagi, penjualan obat hewan illegal dan obat hewan yang berkategori keras dengan
memanfaatkan “market place” juga semakin menjamur. Terbukti, ketika kita
mengetik jenis obat tertentu, dengan mudah akan kita temukan di market place
itu atau di internet (e-Commerce).
Akibatnya, akhir-akhir ini kita kerap menemukan dokter
hewan abal-abal yang bertindak seolah-olah menjadi dokter hewan, padahal ia bukan
lulusan Pendidikan Profesi Dokter Hewan dan hanya mempelajari cara pengobatan
melalui media sosial serta bermodalkan sarana obat-obatan hewan yang mudah ia
dapatkan, namun ia membuka pelayanan kesehatan hewan. Terbaru, kasus seperti
ini kita temukan di wilayah Kabupaten Blitar, Jawa Timur.
Kondisi ini tentu sangat membahayakan. Hal ini tidak
hanya mengancam kesehatan masyarakat, hewan dan lingkungan, namun juga
berpotensi menyalahi aturan dalam penggunaan obat dan mengancam eksistensi
profesi dokter hewan.
Oleh sebab itu, upaya pemberantasan penjualan obat hewan, khususnya obat keras yang dijual secara online (tanpa resep dokter hewan) harus kita hentikan. Upaya POH Kementerian Pertanian yang telah men “take down” ratusan situs penjualan obat hewan melalui Market Place harus kita apresiasi.
Perlu
Terobosan Melalui Peran Mahasiswa Kedokteran Hewan
Secara umum, proses “take down” situs penjualan obat
hewan yang dilakukan pemerintah sudah berjalan dengan baik, namun kecepatan dan
jangkauannya masih belum massif.
Selama ini, dengan keterbatasan jumlah SDM, POH diberbagai tingkatan, hanya
melakukan pelaporan secara sporadik. Maklum, bagi POH, terutama POH di daerah, tugas pengawasan obat hewan buktinya masih
belum menjadi prioritas utama. Bahkan, pengawasan obat hewan sebagian besar
hanya menjadi pelengkap dari tugas besarnya sebagai tenaga fungsional medik
veteriner.
Dengan demikian, dibutuhkan SDM lain yang dapat
membantu pengawasan obat hewan, salah satunya adalah dengan meningkatkan peran
mahasiswa kedokteran hewan. Di era kekinian, rasanya mahasiswa merupakan sumber
daya yang tepat untuk membantu menjadi pengawas, terutama bagi penjualan obat
hewan illegal di dunia maya. Caranya adalah perlu adanya sosialisasi kepada
mahasiswa, yang mungkin dapat difasilitasi melalui Badan Eksekutif Mahasiswa
(BEM) Fakultas Kedokteran Hewan atau melalui IMAKAHI (Ikatan Mahasiswa
Kedokteran Hewan Indonesia), bahwa obat-obatan hewan apa saja yang tidak boleh
dijual secara bebas.
Jika ditemukan (Secara online), laporannya pun cukup
mudah, mahasiswa hanya perlu menulis Nama Akun Penjual, Merk Obat yang dijual,
Kandungan obat yang ditawarkan dan mengcopy Link internet obat hewan tersebut.
Setelah itu, masukkan semua catatan temuan tersebut
dalam sebuah tabel dan kirimkan ke Pengawas obat hewan (POH) yang dikenalnya
(Penulis siap menjadi saluran aduan atau penerima laporan), nanti pihak POH
(penulis) yang akan mengindentifikasi potensi pelanggaran dan meneruskan ke POH
pusat (Kementerian Pertanian). Hal ini berkenaan dengan tugas “take down”
selama ini disepakati melalui satu pintu, yakni melalui POH pusat dan POH pusat
akan bersurat kepada Kementerian Kominfo (untuk penjualan melalui website) dan
kepada Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) untuk penjualan melalui “Market
Place”.
Akan tetapi, kedepan akan Lebih bagus lagi jika POH Pusat menyediakan kanal khusus (daftar form isian) atau aplikasi tertentu yang berfungsi sebagai saluran aduan jika masyarakat menemukan situs penjualan obat hewan illegal.
Obat-Obatan
hewan yang Tidak Boleh Dijual Bebas
Terdapat banyak jenis obat hewan yang tidak boleh
dijual bebas, baik secara offline (jualan langsung) maupun secara online. Jenis
obat ini memiliki kode K. Namun sayangnya, kode ini biasanya tidak ditemukan
pada obat hewan illegal. Obat itu salah satunya adalah Obat jenis Antibiotik. Merknya
beragam, yang jelas adalah Antibiotik apapun, ketika di market place atau di
website menuliskan itu obat anti biotik, maka ini dilarang dijual secara bebas.
Kemudian yang dilarang selanjutnya adalah Hormon.
Apapun jenis hormonnya. Bahkan yang menarik adalah penjualan hormon tertentu,
karena obat hewan sebenarnya “tidak ada beda” dengan obat manusia, akibatnya
pembelian obat ini sering disalahgunakan. Meski ini obat hewan, ternyata banyak
digunakan untuk manusia.
Selanjutnya adalah jenis Vaksin, walaupun vaksin harus
dalam rantai dingin, buktinya masih ditemukan penjualan vaksin melalui online,
dijual secara bebas. Padahal, vaksin merupakan produk biologis, merupakan mikro
organisme (antigen) yang dilemahkan/dimatikan, memerlukan kondisi khusus pada
penyimpanannya (umumnya membutuhkan suhu 2-8 ˚C, digunakan untuk menimbulkan
kekebalan spesifik berdasarkan antigen yang terkandung dan dapat rusak apabila
terpapar sinar matahari langsung.
Selain itu, ada juga obat-obatan yang berkategori
injeksi. Meski obat ini “hanya” berisi vitamin, namun jika penjualnya juga
menjual spuit (suntikan dan jarum suntiknya), ini juga perlu dilaporkan.
Caranya, tanyakan saja ke penjualnya, apakah ini dijual juga alat suntiknya?
Jika iya, jangan segan-segan untuk melaporkan. Apalagi, obat injeksi tentu
membutuhkan skill dan pengetahuan bagi penggunanya. Tidak boleh masyarakat awam
melakukan pengobatan injeksi sendiri.
Kemudian ada juga obat jenis anastesi (obat bius) dan
jenis obat-obatan berkategori Narkotika tidak boleh dijual bebas. Khusus obat
ini, pihak Aparat Penegak Hukum (Kepolisian), BNN dan BPOM, barangkali sudah
melakukan pengawasan. Namun, untuk obat hewan, barangkali mereka belum
melakukan pengawasan, karena tupoksi pengawasan obat hewan sejauh ini masih
menjadi tanggung jawab dari Kementerian Pertanian bersama POH di seluruh pemda
di Indonesia.
Oleh sebab itu, mari jadilah pelapor untuk memberantas obat hewan illegal dan berkategori keras namun dijual bebas di Internet (E-Comerrce). Terutama bagi mahasiswa Kedokteran Hewan, Mulailah dari hal-hal yang kecil dengan peduli pada obat hewan, mulailah dari diri sendiri, dan mulailah dari sekarang, kalau bukan kita siapa lagi, kalau tidak sekarang, kapan lagi?
Penulis: drh. Iwan Berri Prima (Penulis adalah Pengawas Obat Hewan dan Medik Veteriner Ahli Muda Kabupaten Bintan), Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Vetnesia Edisi Bulan April 2022