Wednesday, December 15, 2021

Urusan Kesehatan Hewan Seharusnya Urusan Wajib Bagi Pemda


Membicarakan sosok pak Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah, memang tidak ada habisnya. Bahkan, ketika beliau hadir dalam acara Puncak Peringatan Hari Rabies Sedunia 2021 di Surabaya, yang digelar Direktorat Kesehatan Hewan, Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementan secara Hybrid, (offline dan online) pada 8 Oktober 2021 yang lalu. Ganjar Pranowo secara tegas menyatakan bahwa urusan kesehatan hewan sejatinya adalah urusan wajib bagi pemerintahan daerah (pemda).

Pernyataannya itu kemudian dipertegas kembali ketika menjadi Narasumber di acara Temu Puskeswan Nasional 2021 yang juga dilaksanakan secara Hybrid pada 26 Oktober 2021 di Solo, Jawa Tengah.

Setali tiga uang, Pak Menteri Pertanian, Pak Syahrul Yasin Limpo juga menaruh perhatian yang sama. Kesehatan hewan yang sangat berkaitan erat dengan kesehatan masyarakat, harus mendapatkan porsi yang serius bagi kepala daerah. Sehingga wajar untuk menyelamatkan planet, kesehatan hewan memberikan peran yang cukup penting. Kesehatan hewan sebaiknya masuk dalam urusan wajib bagi pemda.

Tidak seperti saat ini, urusan kesehatan hewan masih menjadi urusan pilihan bagi pemda, bersanding dengan urusan peternakan.

Padahal, di tataran kampus, kedokteran hewan rumpunnya ilmu kesehatan, satu rumpun dengan kedokteran umum, kedokteran gigi, farmasi, keperawatan, kebidanan dan lain sebagainya. Rumpun ini adalah rumpunnya sektor kesehatan, yang merupakan urusan wajib bagi pemda.

Dampaknya, di setiap daerah, di mana ada urusan peternakan, disana selalu ada urusan kesehatan hewan. Termasuk kesehatan masyarakat veteriner (kesmavet).

Terus terang, ini yang sulit dimengerti. Mengapa sektor kesehatan hewan hanya "menempel" di sektor peternakan saja.

Padahal kita tahu bahwa ternak merupakan salah satu bagian dari hewan. Masih ada jenis hewan lain yang juga tidak kalah pentingnya untuk disehatkan.

Ada satwa akuatik (ikan, udang, cumi-cumi dan lainnya) di sektor perikanan. Ada pula satwa liar seperti harimau, gajah, ular, dan sebagainya di sektor kehutanan. Termasuk ada hewan laboratorium seperti tikus, mencit dan lainnya di sektor penelitian dan pengembangan.

Juga di sektor penyakitnya, seperti zoonosis, yakni penyakit yang ditularkan dari hewan ke manusia atau sebaliknya dan penyakit tular vektor maupun foodborne disease atau penyakit yang ditularkan dari makanan (terutama produk pangan asal hewan) ke manusia (konsumen).

Namun demikian, sejatinya tidak ada yang salah ketika peternakan dan kesehatan hewan selalu beriringan. Tetapi, dampaknya akan memburuk ketika kita tidak bisa membedakan, mana tupoksi dokter hewan dan mana tupoksi sarjana peternakan. Ini faktanya saat ini. Bahkan ada asumsi, dokter hewan dan sarjana peternakan memiliki Tupoksi yang sama.

Oleh karena itu, Saran Pak Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo dan saran pak Ganjar untuk membahas kembali regulasi yang mengatur tentang kedokteran hewan di Indonesia patut mendapat apresiasi.

Menurut penulis, Kedokteran hewan tidak jadi masalah tetap di Kementan. Yang penting, urusannya tidak digabung dengan urusan peternakan. Karena jika masih digabung, maka sampai kapanpun kesehatan hewan akan tetap jadi urusan pilihan bagi pemda. Boleh dipilih, boleh juga tidak. Dampaknya seperti sekarang, tidak semua pemda memiliki dokter hewan berwenang dan tidak semua pemda memiliki pejabat otoritas veteriner. Efeknya, penerimaan CPNS bagi generasi muda dokter hewan juga tidak optimal.

Maklum, selayaknya urusan pertanian, sektor peternakan tidak semua pemda memiliki potensi peternakannya. Dan rasanya memang tidak elok jika urusan peternakan adalah urusan wajib bagi pemda. Apalagi di wilayah perkotaan. Lahan penggembalaan atau lahan untuk budidayanya tidak tersedia dengan cukup. Jika diwajibkan, maka dapat memberatkan bagi pemda.

Akan tetapi, berbeda urusannya jika menyangkut urusan kesehatan hewan. Tidak ada satupun daerah yang tidak ada hewannya. Dan tidak ada satupun wilayah yang luput dari ancaman zoonosis. Bahkan, tidak ada satupun daerah yang tidak mengkonsumsi produk pangan asal hewan.

Sama seperti urusan pangan. Meskipun urusan ini dulunya di bawah kementerian pertanian, toh urusan ini adalah urusan wajib bagi pemerintahan daerah. Artinya, bukan kementerianya yang jadi permasalahan. Tapi urusannya yang harus direvisi. Sekali lagi, bukan direktorat kesehatan hewan atau Kesmavetnya yang bergabung dalam kementerian Kesehatan, namun urusan kesehatan hewannya saja yang diwajibkan bagi pemda. Syukur-syukur jika direktorat ini menjadi Badan Kesehatan Hewan di bawah Kementerian Pertanian. Kenapa tidak? Semoga!

Penulis: Iwan Berri Prima

Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Vetnesia, Edisi Bulan Nopember 2021

    Choose :
  • OR
  • To comment