Membicarakan sosok pak Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah, memang tidak ada habisnya. Bahkan, ketika beliau hadir dalam acara Puncak Peringatan Hari Rabies Sedunia 2021 di Surabaya, yang digelar Direktorat Kesehatan Hewan, Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementan secara Hybrid, (offline dan online) pada 8 Oktober 2021 yang lalu. Ganjar Pranowo secara tegas menyatakan bahwa urusan kesehatan hewan sejatinya adalah urusan wajib bagi pemerintahan daerah (pemda).
Pernyataannya
itu kemudian dipertegas kembali ketika menjadi Narasumber di acara Temu Puskeswan
Nasional 2021 yang juga dilaksanakan secara Hybrid pada 26 Oktober 2021 di
Solo, Jawa Tengah.
Setali
tiga uang, Pak Menteri Pertanian, Pak Syahrul Yasin Limpo juga menaruh
perhatian yang sama. Kesehatan hewan yang sangat berkaitan erat dengan kesehatan
masyarakat, harus mendapatkan porsi yang serius bagi kepala daerah. Sehingga
wajar untuk menyelamatkan planet, kesehatan hewan memberikan peran yang cukup
penting. Kesehatan hewan sebaiknya masuk dalam urusan wajib bagi pemda.
Tidak
seperti saat ini, urusan kesehatan hewan masih menjadi urusan pilihan bagi
pemda, bersanding dengan urusan peternakan.
Padahal,
di tataran kampus, kedokteran hewan rumpunnya ilmu kesehatan, satu rumpun
dengan kedokteran umum, kedokteran gigi, farmasi, keperawatan, kebidanan dan
lain sebagainya. Rumpun ini adalah rumpunnya sektor kesehatan, yang merupakan
urusan wajib bagi pemda.
Dampaknya,
di setiap daerah, di mana ada urusan peternakan, disana selalu ada urusan
kesehatan hewan. Termasuk kesehatan masyarakat veteriner (kesmavet).
Terus
terang, ini yang sulit dimengerti. Mengapa sektor kesehatan hewan hanya
"menempel" di sektor peternakan saja.
Padahal
kita tahu bahwa ternak merupakan salah satu bagian dari hewan. Masih ada jenis
hewan lain yang juga tidak kalah pentingnya untuk disehatkan.
Ada
satwa akuatik (ikan, udang, cumi-cumi dan lainnya) di sektor perikanan. Ada
pula satwa liar seperti harimau, gajah, ular, dan sebagainya di sektor
kehutanan. Termasuk ada hewan laboratorium seperti tikus, mencit dan lainnya di
sektor penelitian dan pengembangan.
Juga
di sektor penyakitnya, seperti zoonosis, yakni penyakit yang ditularkan dari
hewan ke manusia atau sebaliknya dan penyakit tular vektor maupun foodborne disease atau penyakit yang
ditularkan dari makanan (terutama produk pangan asal hewan) ke manusia
(konsumen).
Namun
demikian, sejatinya tidak ada yang salah ketika peternakan dan kesehatan hewan
selalu beriringan. Tetapi, dampaknya akan memburuk ketika kita tidak bisa
membedakan, mana tupoksi dokter hewan dan mana tupoksi sarjana peternakan. Ini
faktanya saat ini. Bahkan ada asumsi, dokter hewan dan sarjana peternakan
memiliki Tupoksi yang sama.
Oleh
karena itu, Saran Pak Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo dan saran pak
Ganjar untuk membahas kembali regulasi yang mengatur tentang kedokteran hewan
di Indonesia patut mendapat apresiasi.
Menurut
penulis, Kedokteran hewan tidak jadi masalah tetap di Kementan. Yang penting,
urusannya tidak digabung dengan urusan peternakan. Karena jika masih digabung,
maka sampai kapanpun kesehatan hewan akan tetap jadi urusan pilihan bagi pemda.
Boleh dipilih, boleh juga tidak. Dampaknya seperti sekarang, tidak semua pemda
memiliki dokter hewan berwenang dan tidak semua pemda memiliki pejabat otoritas
veteriner. Efeknya, penerimaan CPNS bagi generasi muda dokter hewan juga tidak
optimal.
Maklum,
selayaknya urusan pertanian, sektor peternakan tidak semua pemda memiliki
potensi peternakannya. Dan rasanya memang tidak elok jika urusan peternakan
adalah urusan wajib bagi pemda. Apalagi di wilayah perkotaan. Lahan
penggembalaan atau lahan untuk budidayanya tidak tersedia dengan cukup. Jika
diwajibkan, maka dapat memberatkan bagi pemda.
Akan
tetapi, berbeda urusannya jika menyangkut urusan kesehatan hewan. Tidak ada
satupun daerah yang tidak ada hewannya. Dan tidak ada satupun wilayah yang
luput dari ancaman zoonosis. Bahkan, tidak ada satupun daerah yang tidak
mengkonsumsi produk pangan asal hewan.
Sama
seperti urusan pangan. Meskipun urusan ini dulunya di bawah kementerian
pertanian, toh urusan ini adalah urusan wajib bagi pemerintahan daerah.
Artinya, bukan kementerianya yang jadi permasalahan. Tapi urusannya yang harus
direvisi. Sekali lagi, bukan direktorat kesehatan hewan atau Kesmavetnya yang
bergabung dalam kementerian Kesehatan, namun urusan kesehatan hewannya saja
yang diwajibkan bagi pemda. Syukur-syukur jika direktorat ini menjadi Badan
Kesehatan Hewan di bawah Kementerian Pertanian. Kenapa tidak? Semoga!
Penulis: Iwan Berri Prima
Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Vetnesia, Edisi Bulan Nopember 2021