Jika kita pergi ke Kota Tanjungpinang Provinsi Kepri, tepatnya di kelurahan Batu 9, ada sebuah jalan yang memiliki panjang jalan kira-kira 4,2 km. Panjang ini diestimasi dengan menggunakan aplikasi google maps.
Jalan ini menghubungkan antara jalan RH Fisabilillah (simpang lampu merah batu 8 swalayan Al Baik) hingga jalan DI Panjaitan (seberang swalayan Welcome). Hampir semua permukiman baru di kota Tanjungpinang terkonsentrasi disepanjang jalan ini. Maklum, perkembangan pembangunan Kota saat ini memang banyak terjadi di wilayah timur Kota Tanjungpinang.
Kondisi ini sangat berbeda jika dibandingkan dengan situasi awal tahun 2010, jalan ini masih sepi, banyak tanah kosong dan kendaraan roda empat jarang yang mau melewatinya. Bahkan, dibeberapa ruas jalannya, saat itu banyak ditemukan lubang alias jalannya rusak. Aspalnya terkelupas sehingga yang nampak adalah jalan berwarna cokelat kemerahan. Khas tanah laterit Kepulauan Riau.
Nama jalan tersebut adalah Handjoyo Putro. Tidak disangka, saat ini justru jalan ini merupakan jalan strategis dan menjadi akses utama warga kelurahan Batu 9. Jalannya pun sangat mulus dan beraspal. Nyaris sempurna.
Namun demikian, siapa sebenarnya Handjoyo putro ini? Karena lazimnya, penyematan nama jalan, biasanya tidak lepas dari nama-nama yang telah diketahui sebelumnya. Seperti nama pahlawan, nama pulau, nama kota atau nama daerah, nama buah-buahan, nama pohon dan lain sebagainya.
Terus terang, cukup sulit mengungkap siapa Handjoyo Putro. Di beberapa tulisan, tertulis Ejaan Hanjoyo Putro. Berdasarkan ulasan Rahmadani Yusran, sebagaimana dimuat dalam Jurnal Demokrasi volume VI no.1 tahun 2007, Handjoyo Putro adalah anggota DPR RI periode 1999-2004 komisi II dari Fraksi PDIP dapil Riau, tepatnya Kepulauan Riau (kala itu Kepri belum terbentuk).
Beliau adalah salahsatu pejuang pembentukan provinsi Kepri, dengan perannya sebagai ketua Pansus DPR RI yang kala itu menjadi penjembatan antara Tanjungpinang dan Jakarta. Hal ini mengingat, jika mengacu pada UU nomor 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah, terutama pasal 115, sejatinya provinsi Kepri tidak bisa menjadi provinsi otonom, karena tidak mendapatkan persetujuan dari Gubernur Riau dan DPRD Riau. Dibeberapa artikel bahkan menulis, karena tidak ada restu dari pemda Provinsi Riau (sebagai provinsi induk), pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri juga memiliki pandangan yang sama. Kepri dinilai belum layak untuk dimekarkan.
Namun demikian, situasi semakin memanas, ketika Badan Persiapan Pembentukan Provinsi Kepri (BP3KR) yang kala itu dipimpin oleh Datuk Huzrin Hood (yang juga menjabat sebagai Bupati Kepulauan Riau, saat ini berganti nama menjadi Kabupaten Bintan) mendapat dukungan dari ketua DPR RI, Akbar Tanjung dan juga hasil Rakerda I PDI-P Riau dalam salah satu pernyataan sikapnya memberikan dukungan penuh terhadap pembentukan Provinsi Kepri (Rahmayadi Yusran, 2007). Konon, peranan seorang Handjoyo Putro atas rekomendasi ini juga cukup besar. Mengingat beliau adalah satu-satunya anggota DPR RI dapil Riau (kepri) yang berasal dari PDI-P.
Bersyukur, meski pemerintah kala itu cukup sulit menerima usulan pemekaran provinsi Kepri, tapi berkat UU inisiatif DPR RI yakni UU nomor 25 tahun 2002 tentang Pembentukan provinsi Kepri terwujud.
Kini, Pak Handjoyo Putro memang telah tiada. Tapi peran dan kiprah beliau dikenang menjadi nama jalan di ibukota provinsi Kepri di Kota Tanjungpinang. Terima kasih pak, jasamu untuk daerah Kepri akan tetap abadi.
* drh. Iwan Berri Prima
* Tulisan ini pernah dimuat di Koran Tanjungpinang Pos edisi 16 Desember 2020