Ketika Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja disahkan dan sistem Online Single Submission Risk Based Approach (OSS-RBA) mulai diimplementasikan sejak akhir Agustus 2021 yang lalu, sejatinya ada permasalahan fundamental yang berkaitan dengan profesi dokter hewan.
Salah
satunya adalah profesi ini disamakan dengan sebuah usaha. Buktinya, ketika
dokter hewan akan mengajukan Surat Izin Praktik, salah satu syarat yang harus
dilengkapi adalah harus memiliki Nomor Induk Berusaha (NIB). Persis seperti
peternak, petani, pekebun dan pelaku usaha lainnya dalam lingkup sektor
pertanian yang juga wajib membuat NIB.
Akan
tetapi, masih mending sektor-sektor itu, dalam penyampaian modal awal di
aplikasi OSS, mereka diklasifikasikan ke dalam beberapa tingkatan, mulai dari
usaha mikro, kecil, menengah dan seterusnya. Artinya, jika mereka memiliki
sejumlah modal tertentu, maka mereka dapat masuk pada kategori tertentu. Namun
menjadi tidak tepat jika hal ini dilakukan juga untuk profesi dokter hewan.
Karena tidak mungkin dokter hewan ada kategori usaha dokter hewan kategori
mikro, kecil, menengah dan lain sebagainya.
Oleh
sebab itu, disinilah pokok permasalahannya. Lingkup kerja dokter hewan di
tataran lapangan kerja masuk dalam rumpun ilmu hayat pertanian. Padahal,
lingkup kerja dokter hewan sejatinya tidak hanya berurusan dengan pertanian
saja. Selayaknya urusan yang berkenaan dengan hewan, profesi dokter hewan
sangat universal. Mengurusi sektor hewan lain di luar pertanian.
Ada sektor perikanan dan satwa akuatik (Kementerian KKP), ada sektor satwa liar
(Kementerian LHK), ada sektor kesehatan, pengendalian zoonosis dan vektor
(Kemenkes) dan lintas sektoral lainnya. Hanya saja karena Undang-Undang (UU)
Kesehatan Hewan dan eselon satu di pemerintahannya masuk dalam lingkup
kementerian Pertanian, maka profesi ini pun diatur dalam satu lingkup
(pertanian) saja.
Di
sisi lain, pada tataran kampus (pendidikan), sejak 2017, kedokteran hewan sudah
tidak lagi masuk dalam rumpun ilmu pertanian. Tetapi kedokteran hewan masuk dalam
rumpun ilmu kesehatan. Satu rumpun dengan dokter, dokter gigi, apoteker,
perawat, bidan, dan tenaga kesehatan lainnya. Sehingga seharusnya, di tataran
lapangan usaha, dokter hewan mengikuti layaknya sektor kesehatan.
Namun
kenyataanya, dokter hewan ditempatkan sama sebagaimana jenis pekerjaan di
lingkup pertanian. Akibatnya, profesi dokter hewan ketika akan menjalankan
pelayanan praktik sebagai sebuah profesi, dia harus memiliki Nomor Induk
Berusaha (NIB). Dengan kata lain, prakteknya dokter hewan dianggap sama dengan
sebuah usaha. Hal ini sebagaimana tertuang dalam Peraturan Pemerintah No 5
Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko sebagai
tindak lanjut atas UU Cipta Kerja.
Oleh
karena itu, antara praktik dan usaha merupakan dua hal yang berbeda. Sebagai
contoh pada profesi dokter gigi. Seorang dokter gigi ketika akan mengurus Surat
Izin Praktik (SIP), tidak perlu dipersyaratkan membuat NIB. Kalaupun untuk
memastikan lokasi kerjanya, hanya dibutuhkan Surat pernyataan mempunyai tempat
praktik atau surat keterangan dari pimpinan Fasilitas Pelayanan Kesehatan
tempat akan berpraktik. Demikian juga profesi lain seperti profesi Advokat,
Notaris, Bidan, Perawat dan lain sebagainya.
Seharusnya,
demikian juga dengan profesi dokter hewan, tidak perlu dipersyaratkan untuk
membuat NIB. Pertanyaannya, apakah dokter hewan memang orientasinya usaha?
Apakah dokter hewan yang akan memberikan pelayanan kesehatan kepada hewan-hewan
terlantar yang nirlaba, harus membentuk usaha ketika akan melakukan pelayanan
kesehatan hewan? Demikian juga dengan dokter hewan yang bekerja di laboratorium
yang menangani Covid-19 juga harus membuat NIB terlebih dahulu untuk memperoleh
SIP nya?
Di
samping itu, profesi sejatinya merupakan panggilan jiwa. Harus mengutamakan
keselamatan makhluk hidup, dibandingkan dengan profit atau keuntungan ekonomi
yang diperolehnya.
Akibatnya
kita patut khawatir, jika seorang dokter hewan ketika akan mengabdikan dirinya
harus membuat NIB atau mendaftarkan dirinya adalah selayaknya pengusaha ketika
akan melakukan prakteknya, maka ini bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
1945. Bahkan, UU Cipta Kerja menghilangkan satu “kalimat penting” di pasal 72
ayat (1) UU Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan
sebagaimana direvisi menjadi UU Nomor 41 Tahun 2014, yang berbunyi: Tenaga kesehatan hewan yang melakukan pelayanan
kesehatan hewan wajib memiliki surat izin praktik kesehatan hewan yang
dikeluarkan oleh bupati/walikota. Pada UU Cipta Kerja, kata ‘surat izin praktik
kesehatan hewan’ diganti menjadi: Tenaga kesehatan hewan yang melakukan
pelayanan kesehatan hewan wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah
Pusat.
Efeknya,
yang dirugikan adalah masyarakat itu sendiri. Dokter hewan akan berorientasi
pada usaha. Bukan lagi pada sebuah pengabdian. Bukankah urusan zoonosis
(penyakit yang menular dari hewan ke manusia) adalah urusan yang juga berkaitan
dengan dokter hewan?
Jika
aturan ini tidak segera direvisi, kita khawatir akan muncul profesi dokter
hewan yang pengusaha. Menabur penyakit, menari di atas penderitaan pasien dan
klien (masyarakat). Terlebih, saat ini lebih dari 75% penyakit yang baru muncul
(Penyakit Infeksi Emerging) menginfeksi manusia adalah bersifat zoonosis, alias
berasal dari hewan. Termasuk Ebola, HIV, MERS dan SARS-CoV-2.
Penulis: Iwan Berri Prima
Tulisan ini pernah tayang dan dimuat di majalah Vetnesia, Edisi Oktober 2021