Wednesday, December 15, 2021

Profesi Dokter Hewan dan Kewajiban Memiliki Nomor Induk Berusaha


Ketika Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja disahkan dan sistem Online Single Submission Risk Based Approach (OSS-RBA) mulai diimplementasikan sejak akhir Agustus 2021 yang lalu, sejatinya ada permasalahan fundamental yang berkaitan dengan profesi dokter hewan.

Salah satunya adalah profesi ini disamakan dengan sebuah usaha. Buktinya, ketika dokter hewan akan mengajukan Surat Izin Praktik, salah satu syarat yang harus dilengkapi adalah harus memiliki Nomor Induk Berusaha (NIB). Persis seperti peternak, petani, pekebun dan pelaku usaha lainnya dalam lingkup sektor pertanian yang juga wajib membuat NIB.

Akan tetapi, masih mending sektor-sektor itu, dalam penyampaian modal awal di aplikasi OSS, mereka diklasifikasikan ke dalam beberapa tingkatan, mulai dari usaha mikro, kecil, menengah dan seterusnya. Artinya, jika mereka memiliki sejumlah modal tertentu, maka mereka dapat masuk pada kategori tertentu. Namun menjadi tidak tepat jika hal ini dilakukan juga untuk profesi dokter hewan. Karena tidak mungkin dokter hewan ada kategori usaha dokter hewan kategori mikro, kecil, menengah dan lain sebagainya.

Oleh sebab itu, disinilah pokok permasalahannya. Lingkup kerja dokter hewan di tataran lapangan kerja masuk dalam rumpun ilmu hayat pertanian. Padahal, lingkup kerja dokter hewan sejatinya tidak hanya berurusan dengan pertanian saja. Selayaknya urusan yang berkenaan dengan hewan, profesi dokter hewan sangat universal. Mengurusi sektor hewan lain di luar pertanian. Ada sektor perikanan dan satwa akuatik (Kementerian KKP), ada sektor satwa liar (Kementerian LHK), ada sektor kesehatan, pengendalian zoonosis dan vektor (Kemenkes) dan lintas sektoral lainnya. Hanya saja karena Undang-Undang (UU) Kesehatan Hewan dan eselon satu di pemerintahannya masuk dalam lingkup kementerian Pertanian, maka profesi ini pun diatur dalam satu lingkup (pertanian) saja.

Di sisi lain, pada tataran kampus (pendidikan), sejak 2017, kedokteran hewan sudah tidak lagi masuk dalam rumpun ilmu pertanian. Tetapi kedokteran hewan masuk dalam rumpun ilmu kesehatan. Satu rumpun dengan dokter, dokter gigi, apoteker, perawat, bidan, dan tenaga kesehatan lainnya. Sehingga seharusnya, di tataran lapangan usaha, dokter hewan mengikuti layaknya sektor kesehatan.

Namun kenyataanya, dokter hewan ditempatkan sama sebagaimana jenis pekerjaan di lingkup pertanian. Akibatnya, profesi dokter hewan ketika akan menjalankan pelayanan praktik sebagai sebuah profesi, dia harus memiliki Nomor Induk Berusaha (NIB). Dengan kata lain, prakteknya dokter hewan dianggap sama dengan sebuah usaha. Hal ini sebagaimana tertuang dalam Peraturan Pemerintah No 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko sebagai tindak lanjut atas UU Cipta Kerja.

Oleh karena itu, antara praktik dan usaha merupakan dua hal yang berbeda. Sebagai contoh pada profesi dokter gigi. Seorang dokter gigi ketika akan mengurus Surat Izin Praktik (SIP), tidak perlu dipersyaratkan membuat NIB. Kalaupun untuk memastikan lokasi kerjanya, hanya dibutuhkan Surat pernyataan mempunyai tempat praktik atau surat keterangan dari pimpinan Fasilitas Pelayanan Kesehatan tempat akan berpraktik. Demikian juga profesi lain seperti profesi Advokat, Notaris, Bidan, Perawat dan lain sebagainya.

Seharusnya, demikian juga dengan profesi dokter hewan, tidak perlu dipersyaratkan untuk membuat NIB. Pertanyaannya, apakah dokter hewan memang orientasinya usaha? Apakah dokter hewan yang akan memberikan pelayanan kesehatan kepada hewan-hewan terlantar yang nirlaba, harus membentuk usaha ketika akan melakukan pelayanan kesehatan hewan? Demikian juga dengan dokter hewan yang bekerja di laboratorium yang menangani Covid-19 juga harus membuat NIB terlebih dahulu untuk memperoleh SIP nya?

Di samping itu, profesi sejatinya merupakan panggilan jiwa. Harus mengutamakan keselamatan makhluk hidup, dibandingkan dengan profit atau keuntungan ekonomi yang diperolehnya.

Akibatnya kita patut khawatir, jika seorang dokter hewan ketika akan mengabdikan dirinya harus membuat NIB atau mendaftarkan dirinya adalah selayaknya pengusaha ketika akan melakukan prakteknya, maka ini bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Bahkan, UU Cipta Kerja menghilangkan satu “kalimat penting” di pasal 72 ayat (1) UU Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan sebagaimana direvisi menjadi UU Nomor 41 Tahun 2014, yang berbunyi: Tenaga kesehatan hewan yang melakukan pelayanan kesehatan hewan wajib memiliki surat izin praktik kesehatan hewan yang dikeluarkan oleh bupati/walikota. Pada UU Cipta Kerja, kata ‘surat izin praktik kesehatan hewan’ diganti menjadi: Tenaga kesehatan hewan yang melakukan pelayanan kesehatan hewan wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.

Efeknya, yang dirugikan adalah masyarakat itu sendiri. Dokter hewan akan berorientasi pada usaha. Bukan lagi pada sebuah pengabdian. Bukankah urusan zoonosis (penyakit yang menular dari hewan ke manusia) adalah urusan yang juga berkaitan dengan dokter hewan?

Jika aturan ini tidak segera direvisi, kita khawatir akan muncul profesi dokter hewan yang pengusaha. Menabur penyakit, menari di atas penderitaan pasien dan klien (masyarakat). Terlebih, saat ini lebih dari 75% penyakit yang baru muncul (Penyakit Infeksi Emerging) menginfeksi manusia adalah bersifat zoonosis, alias berasal dari hewan. Termasuk Ebola, HIV, MERS dan SARS-CoV-2.

Penulis: Iwan Berri Prima

Tulisan ini pernah tayang dan dimuat di majalah Vetnesia, Edisi Oktober 2021

    Choose :
  • OR
  • To comment