Pandemi Covid-19 tampaknya belum ada tanda-tanda akan usai. Berdasarkan data dari laman: Covid19.go.id, Hingga 11 Juli 2021, kasus konfirmasi positif di Indonesia mencapai 2.527.203 kasus dan sebanyak 66.464 orang (2,6%) di antaranya meninggal dunia. Untuk di Provinsi Kepri, kasus Covid-19 juga belum melandai. Mengutip laman: corona.kepriprov.go.id, pada 11 Juli 2021, terdapat penambahan kasus konfirmasi sebanyak 651 kasus, sehingga total kasus Covid-19 di Kepri sebanyak 31.769 kasus.
Selanjutnya, adanya peningkatan kasus Covid-19 di
Kepri mengakibatkan dari 7 Kabupaten/Kota, per 11 Juli 2021, Kabupaten Bintan
dan Kota Batam masih dinyatakan sebagai zona merah. Kasus Covid-19 di Bintan
mencapai 3.511 kasus dan sebanyak 69 orang (2%) di antaranya meninggal dunia.
Sebagai daerah zona merah, wajar jika pemerintah
Kabupaten Bintan mengeluarkan Surat Edaran Bupati Bintan Nomor: T/827/443/Satgas/VII/2021
tanggal 7 Juli 2021 tentang Perubahan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan
Keramaian dalam Rangka Pengendalian Penyebaran Covid-19 di Kabupaten Bintan.
Edaran ini berlaku sejak tanggal 7 Juli 2021 hingga 20 Juli 2021.
Kemudian, berkenaan dengan pelaksanaan Salat Idul Adha
1442 H dan pelaksanaan pemotongan hewan kurban, Kementerian Agama telah
mengeluarkan Surat Edaran Menteri Agama, Nomor: 17 Tahun 2021 tentang Petunjuk
Teknis Penyelenggaraan Malam Takbiran, Shalat Idul Adha, dan Pelaksanaan Qurban
Tahun 1442 H/2021 M di wilayah PPKM Darurat. Demikian juga Kementerian
Pertanian (Kementan) melalui Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan
(Ditjen PKH) juga telah menerbitkan Surat Edaran (SE) Nomor
8017/SE/PK.320/F/06/2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Kurban Dalam Masa Pandemi
Corona Virus Covid-19.
Secara umum, pelaksanaan pemotongan hewan kurban di
masa pandemi sejatinya dilaksanakan di Rumah Potong Hewan Ruminansia (RPHR),
hal ini sebagaimana yang dilakukan di Arab Saudi dan sebagian besar negara di
dunia bahwa pemotongan hewan kurban dilakukan di rumah potong.
Oleh sebab itu, kita patut mendorong setiap
pemerintahan daerah untuk mengupayakan pembangunan rumah potong. Terlebih,
pemotongan hewan kurban merupakan kegiatan rutin tahunan yang dilaksanakan oleh
masyarakat muslim, masyarakat penganut agama mayoritas di negara ini.
Namun demikian, nyatanya, pemotongan hewan kurban di
Indonesia sudah bertahun-tahun justru banyak dilakukan di luar RPH. Bahkan,
momentum pemotongan hewan kurban telah menjadi tradisi sebagai ajang untuk
bergotong-royong bersama-sama melakukan pemotongan hewan kurban. Akibatnya,
pengawasan pemotongan hewan kurban di luar RPH menjadi tugas ekstra yang harus
di emban oleh tim tenaga kesehatan hewan (dokter hewan), khususnya dinas yang
membidangi urusan kesehatan masyarakat veteriner di daerah. Berdasarkan data
dari Ditjen PKH, pada tahun 2020, jumlah lokasi pemotongan hewan kurban di luar
RPH sebanyak 34.051 lokasi. Dengan rincian lokasi
di Masjid sebanyak 22.224 lokasi (65%), di lapangan sebanyak 3.079 (9%), di sekolah
sebanyak 607 (2%) dan di lokasi lainnya sebanyak 8.141 (42%).
Akan
tetapi, yang menjadi persoalan adalah, ternyata urusan kesehatan hewan bukan
merupakan urusan wajib bagi pemerintahan daerah. Urusan ini menurut UU Pemda
masih menjadi urusan pilihan, boleh dipilih, boleh tidak. Efeknya, tidak semua
daerah memiliki dokter hewan berwenang (dokter hewan pemerintah). Padahal, di tataran kampus, kedokteran hewan
merupakan rumpun ilmu kesehatan, satu rumpun dengan dokter, dokter gigi,
apoteker dan tenaga kesehatan lainnya.
Oleh karena itu, momentum pandemi ini juga sebaiknya menjadi
momentum yang tepat untuk mendorong setiap Pemda untuk merekrut CASN (Calon
Aparatur Sipil Negara) formasi Dokter hewan. Tujuannya agar penjaminan produk
pangan asal hewan (termasuk hewan kurban) dapat terlaksana dengan baik.
Apalagi, syarat sah hewan kurban adalah wajib sehat. Adapun profesi yang
memiliki otoritas menentukan sehat atau tidaknya hewan berada pada kewenangan
seorang dokter hewan.
Di samping itu, pemotongan hewan kurban di luar RPH
juga berpotensi menimbulkan kerumuman. Ini tentu sangat membahayakan bagi
potensi penularan Covid-19 di negeri ini. Sehingga terdapat beberapa hal
penting yang harus mendapat perhatian serius dari pemangku kebijakan terkait
pelaksanaan kurban di masa pandemi covid-19 ini. Hal penting tersebut
diantaranya adalah:
Pertama, pelaksanaan mitigasi risiko harus dimulai sejak
mendatangkan hewan kurban atau penjualan hewan kurban. Penjualan hewan kurban
dioptimalkan dengan memanfaatkan teknologi daring atau dikoordinir oleh panitia
(Dewan kemakmuran masjid, Badan Amil Zakat Nasional, Lembaga Amil Zakat
Nasional, atau lainnya). Tempat penjualan hewan kurban harus mendapat izin dari
bupati atau wali kota. Tempat penjualan harus menghindari kerumunan massa yakni
dengan memperhatikan pembatasan waktu penjualan. Khusus untuk ternak sapi Bali
yang didatangkan dari luar provinsi Kepri, dipersyaratkan bebas penyakit
jembrana dengan dibuktikan hasil negative uji Polymerase Chain Reaction
(PCR) dan dilengkapi dokumen Kesehatan hewan yang ditandatangani oleh dokter
hewan berwenang daerah asal.
Kedua, pemotongan hewan kurban di luar RPH harus menerapkan
protokol kesehatan yang ketat. Meskipun pemotongan hewan kurban ini adalah
tahun kedua sejak pandemi Covid-19, namun kita tidak boleh lengah. Panitia
pemotongan harus berani bertindak tegas jika ada kerumunan masyarakat yang
menyaksikan pemotongan, harus berkoordinasi dengan dinas yang membidangi urusan
Kesehatan masyarakat veteriner (Kesmavet) di daerahnya, membatasi jumlah
panitia, memasang tali/pembatas di lokasi pemotongan yang hanya dihadiri oleh
panitia, pengaturan jarak minimal 1 meter dan tidak saling berhadapan
antarpetugas pada saat melakukan aktivitas pengulitan, pencacahan, penanganan
dan pengemasan daging serta pendistribusian daging kurban hanya dilakukan oleh
panitia ke rumah masing-masing mustahik.
Ketiga, Penerapan Hygiene
Personal. Panitia yang berada di area penyembelihan dan penanganan daging dan
jerohan harus dibedakan. Petugas harus menghindari menyentuh muka, termasuk
mata, hidung, telinga, dan mulut saat bertugas. Petugas juga harus menyediakan
fasilitas Cuci Tangan Pakai Sabun (CTPS) dan menghindari berjabat tangan, atau
kontak langsung lainnya dan memperhatikan etika batuk/bersin/meludah. Jangan
sambil merokok ketika memproses daging.
Selanjutnya, pemeriksaan kesehatan awal (screening)
yang meliputi pengukuran suhu tubuh bagi setiap orang (panitia) dipintu masuk
tempat pemotongan hewan kurban juga perlu dilakukan dan setiap orang yang
memiliki gejala demam, nyeri tenggorokan, batuk, pilek, dan sesak napas
dilarang masuk ketempat pemotongan. Oleh sebab itu, dianjurkan setiap panitia
hewan kurban juga berkoordinasi dengan puskesmas/dinas kesehatan setempat atau
satgas covid-19 di daerahnya, agar pelaksanaan pemotongan hewan kurban berjalan
dengan baik sebagaimana salah satu hakikat tujuan pemotongan hewan kurban yakni
saling berbagi, bukan justru saling berbagi penyakit. Semoga!
* Tulisan ini pernah dimuat di Koran Tanjungpinang Pos, Edisi Rabu 14 Juli 2021