Tanggal 1 Juni yang lalu selain diperingati sebagai hari lahirnya pancasila, juga diperingati sebagai hari susu nusantara. Namun sayangnya, gaung hari susu nusantara tampaknya kalah dengan semaraknya peringatan hari lahir pancasila.
Padahal,
peringatan hari susu nusantara merupakan upaya untuk mengingatkan kepada
masyarakat akan pentingnya konsumsi susu. Masyarakat harus terus di edukasi,
bahwa susu merupakan produk pangan asal hewan yang kaya akan gizi.
Selain
itu, Kebiasaan minum susu juga merupakan kebiasaan baik guna mewujudkan
Sumberdaya Manusia (SDM) Indonesia yang lebih berkualitas. Khususnya, untuk
mengatasi kurang gizi dan stunting
yang saat ini masih menjadi pekerjaan rumah pemerintah dan kita semua.
Di
samping itu, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS),
tingkat konsumsi susu masyarakat Indonesia tahun 2019 masih
berkisar 16,23 liter per kapita/tahun. Jumlah ini tergolong rendah bila
dibandingkan dengan negara-negara lainnya se-Asia Pasifik. Hal ini tentu sangat
mengkhawatirkan. Bandingkan dengan negara Jepang, konsumsi susunya tahun 2004
saja sudah mencapai kisaran 37.83 liter per kapita/tahun (John C. Beghin,Iowa
State University, 2005).
Itulah
sebabnya, mengapa negara maju seperti Jepang memahami bahwa susu merupakan
investasi SDM untuk generasi yang akan datang.
Meskipun
susu bukan satu-satunya pangan sumber zat gizi. Tetapi susu dapat melengkapi
pemenuhan gizi yang berkualitas dalam mewujudkan gizi seimbang.
Oleh
sebab itu, tidak berlebihan jika Jepang patut disebut sebagai negara yang
sukses dalam mengkampanyekan minum susu untuk masyarakatnya.
Buktinya,
di era tahun 1940an, Jepang dikenal sebagai ras asia yang pendek. Bahkan ada
yang menyebutnya orang kate. Maklum, rata-rata tinggi orang Jepang saat itu
hanya sekitar 150an cm.
Akan
tetapi saat ini, Jepang telah menjelma menjadi generasi yang luar biasa.
Rata-rata tinggi badan orang Jepang mencapai 170.7 cm untuk laki-laki dan 158
cm untuk perempuan. Bandingkan dengan rata-rata tinggi orang Indonesia, untuk
laki-laki tingginya rata-rata 163 cm, sedangkan untuk perempuan, rata-rata
tingginya hanya 152 cm (Beritagar.id). Artinya jika tinggi anda diangka 165 cm,
berarti anda sudah di atas rata-rata tinggi orang Indonesia. Bisa jadi, anda
termasuk generasi yang selalu di support
minum susu oleh orangtua anda saat masih balita atau anda saat ini memang telah
membiasakan minum susu.
Melihat
hal ini, tentu kita patut prihatin. Ketika negara lain menggelorakan susu
sebagai salahsatu sumber gizi yang wajib dikonsumsi oleh masyarakatnya,
Indonesia justru masih berkutat dengan alasan ketidakmampuannya untuk membeli
susu. Namun anehnya, masyarakat Indonesia justru mampu untuk membeli rokok.
Buktinya, berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018,
prevalensi perokok di atas usia 15 tahun mencapai
33,8 persen dan penduduk usia 10-18 tahun yang merokok meningkat dari
7,2 persen di tahun 2013 menjadi 9,1 persen di tahun 2018.
Ironisnya,
konsumsi rokok di Indonesia, presentase tertinggi justru dilakukan oleh
kelompok pendapatan rendah, seperti nelayan yang mencapai 70,4 persen dan
petani atau buruh sebanyak 46,2 persen.
Ini
dilematis. Seandainya pemerintah Indonesia mensubsidi pembelian Susu,
sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Jepang, tentu ini akan berdampak positif
bagi kelangsungan generasi Indonesia yang akan datang. Bahkan, peternak sapi perah pun akan semakin
bergairah. Bukan tidak mungkin, industri peternakan akan semakin digemari
sebagai lapangan usaha utama yang menjanjikan di nusantara ini. Why not?
* Oleh: drh. Iwan Berri Prima (Pejabat Otoritas Veteriner dan Dokter Hewan Berwenang Kabupaten Bintan)
* Tulisan ini pernah di muat di Koran Tanjungpinang Pos, Edisi Sabtu 5 Juni 2021