Memiliki usaha peternakan, baik ternak ruminansia, ternak unggas, ternak Babi, maupun ternak lainnya, sebaiknya sebelum memulai usahanya harus sudah memiliki izin. Setidaknya, izin dari tetangga atau warga lingkungan sekitar. Sembari mengurus izin usaha yang diterbitkan oleh Dinas Penanaman Modal dan Perizinan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) dari pemerintah atau pemerintah daerah.
Perizinan ini memegang peranan sangat penting. Agar kedepan usaha kita tidak menemui kasus yang tidak diinginkan. Salahsatu kasus yang sering ditemukan adalah keberatan warga sekitar atas keberadaan usaha peternakan.
Meskipun lokasi peternakan (kandang) berada di tengah kebun atau hutan, yang tidak memiliki sepadan dengan perumahan warga, tapi perizinan tetap harus diupayakan. Setidaknya, perizinan itu menjadi bukti, catatan sejarah, kapan usaha itu mulai dirintis.
Selanjutnya, jika kawasan sekitar kandang ternak sudah beralih menjadi kawasan permukiman atau telah beralihnya status kawasan dalam RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah), awalnya kawasan pertanian menjadi kawasan permukiman, ini yang jadi masalah.
Secara aturan, jika kawasan telah berganti menjadi kawasan permukiman, maka aktifitas usaha peternakan secara tidak langsung harus dipindahkan. Padahal, justru usaha peternakan sering kali yang mengundang masyarakat untuk bermukim di sana.
Inilah yang disebut dengan kepastian usaha. Negara kita meskipun telah menetapkan RTRW dalam kurun waktu yang cukup panjang, yakni 20 tahun, namun dalam perjalanannya RTRW tersebut dapat ditinjau kembali. Repotnya, jika merugikan, itu jadi masalah.
Sebagai Dokter Hewan Berwenang di daerah, penulis sering menemui kasus - kasus yang berkenaan dengan keluhan (komplain) warga atas usaha peternakan di daerah.
Untuk mengatasi hal tersebut, diperlukan beragam upaya, namun, secara umum, upaya yang dapat disarankan kepada pelaku usaha peternakan di daerah adalah sebagai berikut: pertama, Peternak dalam menjalankan usahanya harus legal (berizin). Jika selama ini belum memilikinya, maka upayakan untuk mengurusnya. Di beberapa daerah di Kabupaten Bintan, tidak adanya perizinan dianggap merupakan kelalaian peternak yang cepat atau lambat peternak itu sendiri yang menanggung akibatnya. Terutama dalam menghadapi komplain dari warga.
Kedua, konsisten dalam menerapkan prinsip atau manajemen peternakan yang baik. Jika ada bagian yang tidak dijalankan dengan baik, biasanya berpotensi muncul efek negatif. Seperti: bau, banyaknya lalat dan limbah atau pencemaran lingkungan. Hal inilah yang sering memicu komplain warga.
Ketiga, jaga hubungan baik dengan masyarakat lingkungan sekitar kandang. Salurkan dana CSR (Corporate Social Responsibility) dengan tepat sasaran. Pastikan penyalurannya tidak cenderung mengandalkan satu dua orang. Tetapi, pastikan kembali bahwa CSR telah berjalan dan diterima oleh penerima yang tepat. Tidak jarang, gara-gara CSR, masyarakat juga sering melayangkan komplain.
Keempat, segera berkoordinasi dengan dinas teknis, jika ditemukan masalah di lapangan. Apalagi, umumnya peternakan yang memiliki masalah justru yang jarang berkomunikasi dengan dinas. Jadikan dinas sebagai partner dalam menjalankan usaha.
Namun, jika ada oknum pegawai dinas yang meminta sejumlah imbalan atau uang, tentu ini tindakan yang tidak dibenarkan. Secara aturan, seorang pegawai dinas (termasuk dinas yang membidangi urusan peternakan), tidak diperkenankan melakukan pungutan liar (pungli), kecuali pungutan resmi (dalam bentuk retribusi daerah). Itupun ditransfer ke rekening kas daerah, bukan ke rekening pribadi atau oknum. Jika ditemukan, maka segera laporkan ke satgas pungli (kepolisian) setiap daerah. Larangan aparatur pemerintah melakukan pungutan liar sebagaimana tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor: 87 Tahun 2016 tentang Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar.
Kelima, pelajari aturan atau peraturan yang berkenaan dengan usaha peternakan yang dijalani. Khususnya peraturan daerah atau peraturan bupati. Hal ini disebabkan karena, urusan peternakan merupakan urusan pilihan pemda dan sepenuhnya diatur sesuai dengan kebijakan dan kearifan lokal masing-masing pemda.
Sebagai contoh di Kota Batam, dalam peraturan daerahnya, di pulau Batam tidak diperkenankan untuk adanya usaha peternakan. Demikian juga dengan Kabupaten Bintan, tidak semua pulau di Kabupaten ini yang diperbolehkan untuk usaha peternakan. Bahkan, khusus untuk ternak sapi Jenis Bali, jika akan masuk ke Provinsi Kepri (dari luar Kepri), wajib menyertakan hasil test PCR negatif Jembrana dari laboratorium disertai dengan dokumen kesehatan hewan dari daerah asal yang ditandatangani oleh dokter hewan berwenang. Hal ini berdasarkan Surat Edaran Kepala Dinas Ketahanan Pangan, Pertanian dan Kesehatan Hewan Provinsi Kepri, Nomor: 524/DKP2KH/2018/07/538 tanggal 31 Juli 2018 tentang Kewaspadaan Penyakit Jembrana.
Semoga, ikhtiar kita dalam mendorong sektor peternakan berdaya saing, yang bermuara pada meningkatnya kontribusi peternakan sebagai sektor utama dalam pemulihan ekonomi nasional dapat terwujud. Semoga!
Penulis: drh. Iwan Berri Prima
Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Infovet Edisi April 2021