Monday, May 31, 2021

Hentikan Konsumsi Daging Anjing


Apresiasi patut kita berikan kepada Drs. H. Juliyatmono,M.M, Bupati Karanganyar Provinsi Jawa Tengah. Berkat kegigihan beliau, kini di Karanganyar, masyarakatnya tidak lagi mengkonsumsi daging anjing. Padahal, sebelumnya masyarakat disana banyak yang mengkonsumsi daging anjing. Bahkan di wilayah yang termasuk dalam wilayah solo raya itu sempat ada yang berdalih konsumsi daging anjing atas nama budaya. Hal ini terungkap dalam webinar tentang pentingnya regulasi untuk mengakhiri perdagangan daging anjing di Indonesia, pada Sabtu 6 Maret 2021 yang digelar oleh Dog Meat Free Indonesia (DMFI) dan didukung oleh Direktorat Kesehatan Masyarakat Veteriner Ditjen PKH Kementerian Pertanian. Acara juga dibuka oleh H. Ganjar Pranowo, SH, MH Gubernur Jawa Tengah dan Lola Webber, M.Sc selaku International Coordinator of Coalition DMFI (Founder change for animal foundation UK). Bertindak selaku moderator acara adalah drh. Rio Aditya Setiawan, M.Sc dari Jakarta Animal Aid Network (JAAN).

Menurut Bupati Juli, pelarangan penjualan daging anjing diterapkan melalui peraturan bupati, yakni Peraturan Bupati Karanganyar Nomor: 74 Tahun 2019 tentang Pengawasan Kesehatan Masyarakat Veteriner di Rumah Potong Hewan dan Penjualan Produk Daging dari Hewan. Hal ini mengingat anjing bukanlah hewan pangan. Bahkan, menurutnya tidak ada budaya (kearifan lokal) di Karanganyar yang mengizinkan anjing untuk dikonsumsi.

Penegakan hukum, pelibatan masyarakat dan kesadaran masyarakat menjadi kunci penting untuk tidak mengkonsumsi daging anjing. Terlebih, aturan hukum di Indonesia, mulai dari Undang-undang, peraturan pemerintah hingga peraturan menteri, secara tegas menyampaikan bahwa anjing bukanlah hewan untuk dikonsumsi. Anjing juga sangat berbahaya bagi kesehatan jika dikonsumsi.

Selain Bupati Karanganyar, webinar juga dihadiri oleh Drh. Syamsul Ma'arif, M.Si Direktur Kesehatan Masyarakat Veteriner, Kementan dan Ir. Lalu Muhamad Syafriadi, M.M Kepala Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Jawa Tengah. Juga hadir drh. Wiwiek Bagja, tokoh penggiat Kesejahteraan Hewan dan mantan Ketua umum PB PDHI periode 2006-2010 dan 2010-2014.

Dalam paparannya Drh. Syamsul Ma'arif, M.Si  menyampaikan bahwa ada empat aspek hukum dalam mengatasi perdagangan daging anjing, pertama, dalam aspek definisi pangan, Undang-undang Nomor 18 tahun 2012 tentang pangan secara tegas mendefinisikan pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lainnya yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan dan/atau pembuatan makanan atau minuman. Berdasarkan hal ini, maka Daging anjing tidak termasuk kategori pangan karena bukan produk peternakan ataupun kehutanan.

Kedua, Aspek kesejahteraan hewan. Proses pemotongan anjing dengan cara menyakitkan dan dianiaya merupakan sebuah pelanggaran aspek kesejahteraan hewan. Hal ini diatur dalam UU nomor 18 Tahun 2009 Juncto UU Nomor 41 tahun 2014 serta Peraturan Pemerintah Nomor 95 tahun 2012 tentang Kesmavet dan Kesejahteraan Hewan. Terlebih anjing merupakan hewan kesayangan dan hewan keluarga, alangkah “sadisnya” hewan yang bertindak sebagai kesayangan tapi justru di sembelih dan dikonsumsi.

Ketiga, Aspek Zoonosis dan Keamanan Pangan. Aspek ini berkenaan dengan lebih banyak merugikannya mengkonsumsi daging anjing. Daging beresiko membawa penyakit seperti E.Coli, Salmonella, Kolera dan Trichinellosis, bahkan resiko penularan penyakit Rabies juga tinggi. Jika ada anggapan bahwa mengkonsumsi daging anjing dapat memberikan stamina dan pengobatan penyakit, hal ini dianggap mitos. Nyata, selain haram bagi umat muslim, daging anjing juga memiliki beragam potensi penyakit.

Keempat, Aspek pengendalian dan pemberantasan penyakit hewan. Mengacu pada UU Nomor 18 tahun 2009 khususnya pada Bab V dan PP nomor 47 tahun 2014 tentang Pengendalian dan penanggulangan penyakit hewan, pasal 46 ayat (5), bahwa setiap orang dilarang mengeluarkan dan/atau memasukkan hewan, produk hewan dan/atau media yang dimungkinkan membawa penyakit hewan lainnya, dari daerah tertular dan/atau terduga ke daerah bebas. Oleh sebab itu, jika konsumsi daging anjing tidak dilarang, maka aspek pengendalian dan pemberantasan penyakit hewan, terutama rabies akan sulit diwujudkan.

Oleh sebab itu, bagi masyarakat yang masih menemukan adanya penjualan daging anjing di wilayahnya atau permasalahan lainnya yang berkenaan dengan kesmavet lainnya, dapat melaporkan melalui akses pengaduan masyarakat Direktorat Kesmavet Kementerian Pertanian melalui: Dilankesmavet.pertanian.go.id/kolam.

Penulis: drh. Iwan Berri Prima

Tulisan ini pernah di Muat di Majalah Vetnesia Edisi Maret 2021 

    Choose :
  • OR
  • To comment