Apresiasi patut kita berikan kepada Drs. H. Juliyatmono,M.M, Bupati Karanganyar Provinsi Jawa Tengah. Berkat kegigihan beliau, kini di Karanganyar, masyarakatnya tidak lagi mengkonsumsi daging anjing. Padahal, sebelumnya masyarakat disana banyak yang mengkonsumsi daging anjing. Bahkan di wilayah yang termasuk dalam wilayah solo raya itu sempat ada yang berdalih konsumsi daging anjing atas nama budaya. Hal ini terungkap dalam webinar tentang pentingnya regulasi untuk mengakhiri perdagangan daging anjing di Indonesia, pada Sabtu 6 Maret 2021 yang digelar oleh Dog Meat Free Indonesia (DMFI) dan didukung oleh Direktorat Kesehatan Masyarakat Veteriner Ditjen PKH Kementerian Pertanian. Acara juga dibuka oleh H. Ganjar Pranowo, SH, MH Gubernur Jawa Tengah dan Lola Webber, M.Sc selaku International Coordinator of Coalition DMFI (Founder change for animal foundation UK). Bertindak selaku moderator acara adalah drh. Rio Aditya Setiawan, M.Sc dari Jakarta Animal Aid Network (JAAN).
Menurut Bupati Juli, pelarangan penjualan daging
anjing diterapkan melalui peraturan bupati, yakni Peraturan Bupati Karanganyar
Nomor: 74 Tahun 2019 tentang Pengawasan Kesehatan Masyarakat Veteriner di Rumah
Potong Hewan dan Penjualan Produk Daging dari Hewan. Hal ini mengingat anjing
bukanlah hewan pangan. Bahkan, menurutnya tidak ada budaya (kearifan lokal) di
Karanganyar yang mengizinkan anjing untuk dikonsumsi.
Penegakan hukum, pelibatan masyarakat dan kesadaran
masyarakat menjadi kunci penting untuk tidak mengkonsumsi daging anjing. Terlebih,
aturan hukum di Indonesia, mulai dari Undang-undang, peraturan pemerintah
hingga peraturan menteri, secara tegas menyampaikan bahwa anjing bukanlah hewan
untuk dikonsumsi. Anjing juga sangat berbahaya bagi kesehatan jika dikonsumsi.
Selain Bupati Karanganyar, webinar juga dihadiri oleh Drh. Syamsul Ma'arif, M.Si Direktur Kesehatan Masyarakat Veteriner, Kementan dan Ir. Lalu Muhamad Syafriadi, M.M Kepala Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Jawa Tengah. Juga hadir drh. Wiwiek Bagja, tokoh penggiat Kesejahteraan Hewan dan mantan Ketua umum PB PDHI periode 2006-2010 dan 2010-2014.
Dalam paparannya Drh. Syamsul Ma'arif, M.Si menyampaikan bahwa ada empat aspek hukum dalam
mengatasi perdagangan daging anjing, pertama, dalam aspek definisi
pangan, Undang-undang Nomor 18 tahun 2012 tentang pangan secara tegas
mendefinisikan pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati
produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan dan
air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan
atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku
pangan, dan bahan lainnya yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan
dan/atau pembuatan makanan atau minuman. Berdasarkan hal ini, maka Daging
anjing tidak termasuk kategori pangan karena bukan produk peternakan ataupun
kehutanan.
Kedua,
Aspek kesejahteraan hewan. Proses pemotongan anjing dengan cara menyakitkan dan
dianiaya merupakan sebuah pelanggaran aspek kesejahteraan hewan. Hal ini diatur
dalam UU nomor 18 Tahun 2009 Juncto UU Nomor 41 tahun 2014 serta Peraturan
Pemerintah Nomor 95 tahun 2012 tentang Kesmavet dan Kesejahteraan Hewan.
Terlebih anjing merupakan hewan kesayangan dan hewan keluarga, alangkah “sadisnya” hewan yang bertindak sebagai
kesayangan tapi justru di sembelih dan dikonsumsi.
Ketiga, Aspek Zoonosis dan Keamanan Pangan. Aspek ini
berkenaan dengan lebih banyak merugikannya mengkonsumsi daging anjing. Daging
beresiko membawa penyakit seperti E.Coli, Salmonella, Kolera dan
Trichinellosis, bahkan resiko penularan penyakit Rabies juga tinggi. Jika ada
anggapan bahwa mengkonsumsi daging anjing dapat memberikan stamina dan
pengobatan penyakit, hal ini dianggap mitos. Nyata, selain haram bagi umat
muslim, daging anjing juga memiliki beragam potensi penyakit.
Keempat, Aspek pengendalian dan pemberantasan penyakit hewan.
Mengacu pada UU Nomor 18 tahun 2009 khususnya pada Bab V dan PP nomor 47 tahun
2014 tentang Pengendalian dan penanggulangan penyakit hewan, pasal 46 ayat (5),
bahwa setiap orang dilarang mengeluarkan dan/atau memasukkan hewan, produk
hewan dan/atau media yang dimungkinkan membawa penyakit hewan lainnya, dari
daerah tertular dan/atau terduga ke daerah bebas. Oleh sebab itu, jika konsumsi
daging anjing tidak dilarang, maka aspek pengendalian dan pemberantasan
penyakit hewan, terutama rabies akan sulit diwujudkan.
Oleh sebab itu, bagi masyarakat yang masih menemukan adanya penjualan daging anjing di wilayahnya atau permasalahan lainnya yang berkenaan dengan kesmavet lainnya, dapat melaporkan melalui akses pengaduan masyarakat Direktorat Kesmavet Kementerian Pertanian melalui: Dilankesmavet.pertanian.go.id/kolam.
Penulis: drh. Iwan Berri Prima
Tulisan ini pernah di Muat di Majalah Vetnesia Edisi Maret 2021