Tuesday, February 09, 2021

Colibacillosis Pada Broiler : Tantangan Keamanan Pangan Era Revolusi Industri 4.0


Era revolusi industri 4.0 yang saat ini sedang kita jalani ternyata membawa berbagai bentuk perubahan, yang terlihat diantaranya adalah perubahan perilaku generasi. Perilaku ini juga tampak berdampak pada perubahan budaya. Generasi milenial sebagai generasi yang dominan pada era ini ternyata memiliki tujuh ciri utama cara pandang dan gaya hidup kekinian. Ciri utama generasi milenial tersebut diantaranya adalah mengutamakan pendidikan, berjiwa enterpreneur, menikah bukan prioritas, memiliki banyak pengetahuan, kreatif dan inovatif, kurang peduli kesehatan dan dilahirkan diera milenial.

Untuk menjadi kreatif dan inovatif, seorang milenial akan membutuhkan asupan pangan yang bergizi dan berimbang, salahsatu sumber pangannya melalui produk pangan asal hewan seperti daging ayam. Sedangkan kurangnya peduli akan kesehatan, fakta ini memang demikian adanya. Generasi milenial sering mengabaikan kesehatan dengan melakukan kebiasaan yang tidak baik seperti lebih sering berlama-lama di depan gadget (gawai), laptop atau komputer dan relative enggan melakukan aktifitas fisik. Hal ini juga semakin diperparah dengan adanya kejadian meningkatnya kasus penyakit, terutama penyakit foodborne disease (penyakit diakibatkan karena konsumsi pangan) beserta potensi residu antibiotik sebagai efek dari konsumsi pangan, termasuk kejadian Collibacillosis.

Semua permasalahan itu dibahas dalam webinar yang digelar Pengurus Besar Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PB PDHI) bersama PT. Veteriner Indonesia Sejahtera (VIS) pada Sabtu, 7 November 2020. Acara yang dibuka secara resmi oleh Ketua Umum PB PDHI, Dr (c) drh. Muhammad Munawaroh, M.M itu diikuti oleh peserta dari seluruh Indonesia, baik dokter hewan maupun profesi lain yang berkenaan dengan ternak unggas. Adapun selaku host adalah Amanda Permatasari dan Moderator acara, drh. Andi Wijanarko. Webinar yang digelar secara daring menghadirkan dua orang narasumber yang pakar dibidangnya, yakni Dr. drh. Widagdo Sri Nugroho, M.P dan drh. Baskoro Tri Caroko.

Dokter Widagdo S Nugroho yang merupakan pengajar pada Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Epidemiologi Veteriner FKH UGM mengulas tentang Colibacillosis Sebagai Faktor Penghambat Tercapainya Standar Produk Unggas Yang Aman, Sehat, Utuh, Dan Halal Serta Memperbesar Risiko Terjadinya Residu Antibiotik Pada Peternakan Broiler Komersial Mandiri. Dalam paparannya, Widagdo mengungkapkan bahwa era Revolusi Industri 4.0 selain mempengaruhi budaya generasi milenial, penyediaan pangan asal hewan juga mengalami perubahan budaya. Pangan asal hewan saat ini sekurang-kurangnya harus mememenuhi aspek seperti: harus mudah diperoleh, enak dan sesuai dengan semua generasi, kualitas baik (premium), mudah diolah dan siap dikonsumsi, masalah harga bukan kendala, mendukung aktivitas (nutrisi yang baik) dan menyehatkan (ASUH atau aman, sehat, utuh dan halal).

Di samping itu, sektor perunggasan sejauh ini merupakan sektor yang memiliki peranan cukup tinggi dalam pemenuhan produk pangan asal hewan. Perkiraan konsumsi protein hewani masyarakat Indonesia dapat dilihat pada kebutuhan daging ayam sebesar 8 kg per kapita pertahun. Artinya, konsumsi pangan asal hewan terutama daging ayam sangat tinggi di negara ini, sehingga pengelolaan peternakan dalam penyediaan produk pangan yang ASUH sangat diperlukan, seperti problem residu kimia pada daging unggas. Menurut Widagdo, berdasarkan trend penyakit pada ayam broiler dan ayam petelur pasca pelarangan AGP (Antibiotik Growth Promoter) merupakan antibiotik dengan dosis tertentu yang digunakan sebagai suplemen dalam pakan ternak, salahsatu penyakit yang meningkat adalah Collibacillosis. Penyakit yang diakibatkan oleh bakteri Escherichia coli ini berdasarkan data dari Jurnalpeternakan.com, menempati urutan ketiga pada ayam broiler dan menempati urutan keempat kasusnya pada ayam petelur. Akibatnya, penyakit ini berdampak pada kerugian ekonomi ditingkat peternak. Oleh karena itu, untuk mengatasinya, seorang dokter hewan dapat melakukan tiga upaya, yakni penangangan kesehatan hewan yang baik, komunikasi, informasi dan edukasi (pendidikan) serta penerapan food hygiene sejak dari kandang hingga ke meja makan (from farm to table).

 Selain itu, dokter Widagdo juga mengungkapkan bahwa pendekatan one health untuk pangan asal hewan yang ASUH dapat dilakukan melalui pendekatan dari sisi kesehatan hewan, kesehatan lingkungan dan kesehatan masyarakat. Atas kejadian collibacillosis, seorang dokter hewan penanggungjawab kandang dapat melakukan penggunaan obat yang rasional, manajemen yang baik, bibit dan biosecurity yang tepat. Bahkan untuk mengetahui epidemiologi veterinernya, dapat menggunakan perangkat lunak manajemen peternakan untuk membantu recording dan analisis.

      Selanjutnya, drh. Baskoro Tri Caroko yang juga merupakan direktur PT. VIS dan berpengalaman dibidang perunggasan (Penerima penghargaan The 1 ST Winner Poultry Technical Consultant INPOVA Award Tahun 2019), sebagai pembicara kedua, mengulas tentang Manajemen resiko penyakit dan seni pengendalian Colibacillosis pada ayam broiler di peternakan komersil mandiri.  Menurut dokter Baskoro, terdapat tips dan trik dalam mengatasi Colibacillosis pada ayam Broiler, diantaranya adalah investigasi kasus. Upaya ini dimulai dengan mengamati gejala klinis yang muncul. Pada umumnya, ayam akan menunjukkan gejala klinis seperti ayam kurus, bulu kusam, nafsu makan turun dan murung, pertumbuhan terganggu, sering diare, bulu sekitar dubur kotor, kemudian perubahan pasca mati terdapat masa pengkejuan menyelimuti jantung, hati dan organ lainnya. Selain itu, juga terjadi komplikasi pernafasan atau pembengkakan pada kepala. Kasus ini biasanya terjadi pada minggu kedua dan menjadi parah pada minggu ketiga. Pada minggu ini, jika dilakukan pengobatan, seperti penggunaan antibiotik, selain pemborosan dan tidak efektif, juga beresiko terjadi residu antibiotik (usia mendekati panen) dan berpeluang kasus berulang pada periode berikutnya (re-emerging disease). Akibatnya, penyakit ini dapat berdampak serius pada kerugian ekonomi peternak.

         Tips dan trik berikutnya menurut Baskoro adalah dibutuhkan metode pendekatan baru dengan melibatkan berbagai disiplin ilmu yang memperhatikan interaksi semua komponen beserta lingkungannya terkait pengaruhnya terhadap kejadian dan cara penyebaran penyakit pada ayam broiler (Konsep ecohealth). Konsep ini dengan memperhatikan aspek sebagai berikut: pertama, pengaruh sumber penularan, biasanya aktifitas makan, minum, tidur dan buang kotoran pada wilayah yang sama (dalam satu kandang) mengakibatkan ruangan kandang menjadi tercemar bau ammonia, lembab, pengap dan tidak nyaman yang dapat menjadi sumber penularan. Kedua, pengaruh lingkungan, kondisi musim hujan dapat berpotensi menambah kondisi menjadi lembab, Ketiga, Pengaruh Karyawan Kandang, penerapan Standar Operasional Prosedur (SOP) perawatan mengandalkan keterampilan setiap operator kandang, jika disetiap periode terjadi ganti operator, keterampilan harus standar, karyawan harus perhatian pada ayam yang dipelihara, perawatan masa DOC dan masa brooding sangat penting, pengawasan dan tertib SOP serta upah dan kesejahteraan karyawan agar diperhatikan. Keempat, pengaruh perubahan global, seperti perubahan suhu, cuaca, kelembaban yang sangat ekstrem dan flutuatif, Kelima, pengaruh posisi kandang dan keenam, pengaruh pengelolaan limbah.

         Disamping itu, Dokter Baskoro juga menjelaskan terdapat delapan manajemen resiko dan seni dalam pengendalian kasus Collibacillosis, diantaranya adalah Upgrade Desinfeksi dan Biosecurity, Upgrade SOP perawatan DOC, Mencegah Sumber Penularan, Upgrade Perawatan, Upgrade manajemen SDM (Sumberdaya Manusia), Upgrade prasarana kandang, Upgrade manajemen kesehatan dan Penggunaan antibiotik secara bijaksana. Penggunaan antibiotik pada ayam broiler sebaiknya setelah umur 14 hari dihentikan, pada ayam layer, antibiotik pada masa pullet (sebelum bertelur) dan pada ayam kampung, mulai umur 35 hari harus sudah tanpa antibiotik. Selanjutnya, dokter Baskoro juga menekankan bahwa standar pengendalian kasus secara umum harus memenuhi kaidah: efektif dan tidak berbahaya untuk pekerja, masyarakat dan mahluk hidup disekitarnya, tidah menimbulkan kerusakan atau pencemaran, bebas polusi dan ramah lingkungan, tidak menyebabkan residu antibiotik atau bahan kimia berbahaya pada unggas maupun pada produk turunannya.

Namun demikian, pelaksanaan pengawasan kesehatan hewan, termasuk didalamnya pengawasan produk pangan asal hewan seperti daging (ayam dan sapi), susu dan telur faktanya bukan menjadi urusan wajib pemerintahan daerah (Pemda), sehingga pelaksanaannya tidak optimal dan belum maksimal. Saat ini sub urusan kesehatan hewan masuk dalam urusan pilihan pertanian. Kondisi ini berdampak pada masih banyaknya daerah yang belum memiliki dokter hewan berwenang, padahal, dalam tataran kampus, sejak tahun 2017 prodi Kedokteran Hewan masuk dalam rumpun ilmu kesehatan, satu rumpun dengan kedokteran, kedokteran gigi, keperawatan, kebidanan dan lain sebagainya. Sebelumnya, kedokteran hewan masuk dalam rumpun ilmu pertanian. Menanggapi hal ini, Dokter Widagdo, mengungkapkan bahwa ini merupakan pekerjaan rumah kita bersama. Saat ini dokter hewan harus mampu memberikan masukan kepada pihak-pihak terkait bahwa permasalahan kesehatan hewan, khususnya kesehatan hewan pangan (peternakan dan perikanan-red) sejatinya merupakan urusan wajib bagi pemerintahan daerah, karena jika sektor ini tidak dilakukan pengawasan keamanan pangannya, ini bukan hanya berdampak bagi kesehatan masyarakat, tapi dapat berpengaruh pada kualitas SDM generasi yang akan datang.  

 

*Penulis: drh. Iwan Berri Prima, M.M

Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Vetnesia Edisi Oktober 2020

    Choose :
  • OR
  • To comment