Friday, April 06, 2018

Opini : Urgensi Pencantuman Label Halal Suatu Produk

 

Sebagai daerah melayu yang mayoritas beragama muslim, penyediaan makanan dan minuman yang halal merupakan kewajiban yang harus dipenuhi bagi setiap penjual makanan dan minuman, apalagi makanan yang dilakukan pemotongan dan pengolahan sendiri seperti bahan pangan asal hewan (daging ayam, daging sapi dan produk turunannnya seperti bakso, sosis, nugget dan lain sebagainya). Kecuali jika makanan dan minuman yang dijual tersebut ditujukan untuk kalangan terbatas dan tertentu saja (diberi keterangan bukan untuk umum)”

Berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, permasalahan terkait produk yang halal sangat jelas diatur. Setidaknya hal ini dapat dilihat pada pasal 8 ayat (1) point (h) perihal perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha, bahwa Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan "halal" yang dicantumkan dalam label. Artinya, pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam kemasan pun bukan hanya asal mencantumkan. Pencantuman label “halal” tentunya harus berdasarkan persyaratan dan ketentuan yang telah ditetapkan. Bukan asal tempel, karena pihak yang berwenang memberikan izin pencantuman label halal adalah pemerintah melalui Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH), setelah mendapat penetapan kehalalan Produk yang dilakukan oleh MUI (Majelis Ulama Indonesia). Selain itu, mengenai keharusan adanya keterangan halal dalam suatu produk, dapat dilihat juga dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (“UU Produk Halal”). Lebih jauh dijelaskan bahwa yang termasuk “produk” dalam UU Produk Halal adalah barang dan/atau jasa yang terkait dengan makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, produk rekayasa genetik, serta barang gunaan yang dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan oleh masyarakat. Sedangkan yang dimaksud dengan produk halal adalah produk yang telah dinyatakan halal sesuai dengan syariat Islam. UU ini telah mengatur secara jelas bahwa produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal. Jadi memang pada dasarnya, jika produk yang dijual tersebut adalah halal, maka wajib bersertifikat halal.

Dibeberapa daerah, masih banyak ditemukan kemasan “halal’ tetapi terkesan tidak asli alias hanya asal tempel “halal’. Tentunya hal ini sebaiknya tidak perlu terjadi. Apalagi jika tujuannya untuk menipu atau mengelabui konsumen. Mengingat setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum atau Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa. Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang, bersengketa (Pasal 45 Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen). Disamping itu, pelaku usaha yang memproduksi produk dari bahan yang berasal dari bahan yang diharamkan, dikecualikan dari mengajukan permohonan sertifikat halal. Pelaku usaha tersebut wajib mencantumkan keterangan tidak halal pada produk. Jika pelaku usaha tidak mencantumkan keterangan tidak halal, dikenai sanksi administratif berupa: teguran lisan; peringatan tertulis; atau denda administratif.
Namun demikian, lantas muncul beberapa pertanyaan, banyak pengusaha kecil menengah yang belum memiliki label halal pada kemasannya. Tetapi mereka mengatakan apa yang mereka pasarkan halal, tidak mengandung daging babi maupun turunannya. Apakah kita harus tetap waspada untuk mengkonsumsinya? Menurut Muhammad Abduh Tuasikal (Pimpinan Pesantren Darush Sholihin Panggang Gunungkidul, Yogyakarta) sebagaimana dimuat dalam laman rumaysho.com, bahwa selama yang menjual adalah muslim, maka asalkan makanannya adalah halal untuk dikonsumsi walau tidak memiliki label halal. Sikap ini menunjukkan bahwa kita mengedepankan prasangka baik pada mereka. Berbeda halnya jika ada masalah dalam makanan tersebut. Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ada suatu kaum yang berkata, “Wahai Rasulullah, ada suatu kaum membawa daging kepada kami dan kami tidak tahu apakah daging tersebut saat disembelih dibacakan bismillah ataukah tidak.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas menjawab, “Ucapkanlah bismillah lalu makanlah.” (HR. Bukhari, no. 2057). Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan bahwa segala sesuatu yang diperoleh di pasar kaum muslimin, asalnya halal. Begitu pula dengan hasil sembelihan mereka karena asalnya namanya muslim sudah paham keharusan membaca ‘bismillah’ saat menyembelih. Oleh karenanya, Ibnu ‘Abdil Abrr berkata bahwa sembelihan seorang muslim boleh dimakan dan kita berprasangka baik bahwa ia membaca bismillah ketika menyembelih. Karena kita hendaklah berprasangka yang baik pada setiap muslim sampai jika ada sesuatu yang menyelisihi hal itu. Demikian disebutkan dalam Fath Al-Baari, 9: 786.
Mengacu pada masalah diatas, maka perlukah sertifikat Halal bagi kaum muslim dan bagi pelaku usaha produk? Jawabannya adalah perlu dan harus. Perlu, karena bagian dari penerapan syariah islam (bagi kaum muslimin) dan harus, karena merupakan tuntutan hukum (penerapan Undang Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal). Disebutkan dalam web halalmui.org, sertifikat Halal MUI adalah fatwa tertulis Majelis Ulama Indonesia yang menyatakan kehalalan suatu produk sesuai dengan syari’at Islam. Sertifikat Halal MUI ini merupakan syarat untuk mendapatkan ijin pencantuman label halal pada kemasan produk dari instansi pemerintah yang berwenang (BPJPH). Tujuan dari Sertifikasi Halal MUI pada produk pangan, obat-obat, kosmetika dan produk lainnya dilakukan untuk memberikan kepastian status kehalalan, sehingga dapat menenteramkan batin konsumen dalam mengkonsumsinya. Kesinambungan proses produksi halal dijamin oleh produsen dengan cara menerapkan Sistem Jaminan Halal. Berdasarkan Undang Undang Nomor 33 Tahun 2014, Kewajiban bersertifikat halal bagi Produk yang beredar dan diperdagangkan di wilayah Indonesia, mulai berlaku 5 (lima) tahun terhitung sejak Undang-Undang tersebut diundangkan (diundangkan tahun 2014). Artinya mulai tahun 2019, seluruh pelaku usaha wajib memiliki sertifikat halal bagi produknya yang halal. Namun demikian, sebelum kewajiban bersertifikat halal tersebut di berlakukan di seluruh Indonesia, jenis Produk yang bersertifikat halal diatur secara bertahap.
Semoga pencantuman label halal suatu produk yang halal, bukan merupakan sebuah beban yang menjadi hambatan dalam pelaku usaha menjalankan bisnisnya. Tetapi, semata-mata agar terciptanya kondisi kebathinan masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Kabupaten Bintan yang aman dan nyaman dalam memakai, memakan dan atau menggunakan produk tersebut. Hal ini sesuai dengan  Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Untuk menjamin setiap pemeluk agama beribadah dan menjalankan ajaran agamanya, negara berkewajiban memberikan pelindungan dan jaminan tentang kehalalan Produk yang dikonsumsi dan digunakan masyarakat. Jaminan mengenai Produk Halal hendaknya dilakukan sesuai dengan asas pelindungan, keadilan, kepastian hukum, akuntabilitas dan transparansi, efektivitas dan efisiensi, serta profesionalitas. Oleh karena itu, jaminan penyelenggaraan Produk Halal bertujuan memberikan kenyamanan, keamanan, keselamatan, dan kepastian ketersediaan Produk Halal bagi masyarakat dalam mengonsumsi dan menggunakan Produk, serta meningkatkan nilai tambah bagi Pelaku Usaha untuk memproduksi dan menjual Produk Halal. Semoga !

Oleh : drh. IWAN BERRI PRIMA
Ketua Komisi Kesehatan, Pemuliaan Lingkungan Hidup dan Sumberdaya Alam
Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Bintan

Tulisan ini pernah dimuat di Koran Tanjungpinang Pos edisi Sabtu 15 April 2017


    Choose :
  • OR
  • To comment