“Sebagai daerah
melayu yang mayoritas beragama muslim, penyediaan makanan dan minuman yang
halal merupakan kewajiban yang harus dipenuhi bagi setiap penjual makanan dan
minuman, apalagi makanan yang dilakukan pemotongan dan pengolahan sendiri
seperti bahan pangan asal hewan (daging ayam, daging sapi dan produk
turunannnya seperti bakso, sosis, nugget dan lain sebagainya). Kecuali jika
makanan dan minuman yang dijual tersebut ditujukan untuk kalangan terbatas dan
tertentu saja (diberi keterangan bukan untuk umum)”
Berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen, permasalahan terkait produk yang halal sangat jelas
diatur. Setidaknya hal ini dapat dilihat pada pasal 8 ayat (1) point (h)
perihal perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha, bahwa Pelaku usaha dilarang
memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak mengikuti
ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan "halal"
yang dicantumkan dalam label. Artinya, pernyataan “halal” yang dicantumkan
dalam kemasan pun bukan hanya asal mencantumkan. Pencantuman label “halal”
tentunya harus berdasarkan persyaratan dan ketentuan yang telah ditetapkan.
Bukan asal tempel, karena pihak yang berwenang memberikan izin pencantuman
label halal adalah pemerintah melalui Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal
(BPJPH), setelah mendapat penetapan kehalalan Produk yang dilakukan oleh MUI (Majelis
Ulama Indonesia). Selain itu, mengenai keharusan adanya keterangan halal dalam
suatu produk, dapat dilihat juga dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014
tentang Jaminan Produk Halal (“UU Produk Halal”). Lebih jauh dijelaskan bahwa yang
termasuk “produk” dalam UU Produk Halal adalah barang dan/atau jasa yang
terkait dengan makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, produk
biologi, produk rekayasa genetik, serta barang gunaan yang dipakai, digunakan,
atau dimanfaatkan oleh masyarakat. Sedangkan yang dimaksud dengan produk halal
adalah produk yang telah dinyatakan halal sesuai dengan syariat Islam. UU ini
telah mengatur secara jelas bahwa produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan
di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal. Jadi memang pada dasarnya, jika
produk yang dijual tersebut adalah halal, maka wajib bersertifikat halal.
Dibeberapa daerah, masih banyak ditemukan kemasan
“halal’ tetapi terkesan tidak asli alias hanya asal tempel “halal’. Tentunya
hal ini sebaiknya tidak perlu terjadi. Apalagi jika tujuannya untuk menipu atau
mengelabui konsumen. Mengingat setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat
pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara
konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan
peradilan umum atau Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui
pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang
bersengketa. Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar
pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya
tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak
yang, bersengketa (Pasal 45 Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen). Disamping
itu, pelaku usaha yang memproduksi produk dari bahan yang berasal dari bahan
yang diharamkan, dikecualikan dari
mengajukan permohonan sertifikat halal. Pelaku usaha tersebut wajib
mencantumkan keterangan tidak halal pada produk. Jika pelaku usaha tidak
mencantumkan keterangan tidak halal, dikenai sanksi administratif berupa:
teguran lisan; peringatan tertulis; atau denda administratif.
Namun demikian, lantas muncul beberapa pertanyaan,
banyak pengusaha kecil menengah yang belum memiliki label halal pada
kemasannya. Tetapi mereka mengatakan apa yang mereka pasarkan halal, tidak
mengandung daging babi maupun turunannya. Apakah kita harus tetap waspada untuk
mengkonsumsinya? Menurut Muhammad Abduh Tuasikal (Pimpinan Pesantren Darush
Sholihin Panggang Gunungkidul, Yogyakarta) sebagaimana dimuat dalam laman rumaysho.com, bahwa selama yang menjual
adalah muslim, maka asalkan makanannya adalah halal untuk dikonsumsi walau
tidak memiliki label halal. Sikap ini menunjukkan bahwa kita mengedepankan
prasangka baik pada mereka. Berbeda halnya jika ada masalah dalam makanan
tersebut. Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,
ada suatu kaum yang berkata, “Wahai Rasulullah, ada suatu kaum membawa daging
kepada kami dan kami tidak tahu apakah daging tersebut saat disembelih
dibacakan bismillah ataukah tidak.” Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas menjawab, “Ucapkanlah bismillah lalu
makanlah.” (HR. Bukhari, no. 2057). Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan bahwa segala sesuatu yang diperoleh di
pasar kaum muslimin, asalnya halal. Begitu pula dengan hasil sembelihan mereka
karena asalnya namanya muslim sudah paham keharusan membaca ‘bismillah’ saat
menyembelih. Oleh karenanya, Ibnu ‘Abdil Abrr berkata bahwa sembelihan seorang
muslim boleh dimakan dan kita berprasangka baik bahwa ia membaca bismillah
ketika menyembelih. Karena kita hendaklah berprasangka yang baik pada setiap
muslim sampai jika ada sesuatu yang menyelisihi hal itu. Demikian disebutkan
dalam Fath Al-Baari, 9: 786.
Mengacu pada masalah diatas, maka perlukah sertifikat
Halal bagi kaum muslim dan bagi pelaku usaha produk? Jawabannya adalah perlu
dan harus. Perlu, karena bagian dari penerapan syariah islam (bagi kaum
muslimin) dan harus, karena merupakan tuntutan hukum (penerapan Undang Undang
Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal). Disebutkan dalam web
halalmui.org, sertifikat Halal MUI adalah fatwa tertulis Majelis Ulama
Indonesia yang menyatakan kehalalan suatu produk sesuai dengan syari’at Islam.
Sertifikat Halal MUI ini merupakan syarat untuk mendapatkan ijin pencantuman
label halal pada kemasan produk dari instansi pemerintah yang berwenang (BPJPH).
Tujuan dari Sertifikasi Halal MUI pada produk pangan, obat-obat, kosmetika dan
produk lainnya dilakukan untuk memberikan kepastian status kehalalan, sehingga
dapat menenteramkan batin konsumen dalam mengkonsumsinya. Kesinambungan proses
produksi halal dijamin oleh produsen dengan cara menerapkan Sistem Jaminan
Halal. Berdasarkan Undang Undang Nomor 33 Tahun 2014, Kewajiban bersertifikat
halal bagi Produk yang beredar dan diperdagangkan di wilayah Indonesia, mulai
berlaku 5 (lima) tahun terhitung sejak Undang-Undang tersebut diundangkan
(diundangkan tahun 2014). Artinya mulai tahun 2019, seluruh pelaku usaha wajib memiliki
sertifikat halal bagi produknya yang halal. Namun demikian, sebelum kewajiban
bersertifikat halal tersebut di berlakukan di seluruh Indonesia, jenis Produk
yang bersertifikat halal diatur secara bertahap.
Semoga pencantuman label halal suatu produk yang
halal, bukan merupakan sebuah beban yang menjadi hambatan dalam pelaku usaha
menjalankan bisnisnya. Tetapi, semata-mata agar terciptanya kondisi kebathinan
masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Kabupaten Bintan yang aman dan
nyaman dalam memakai, memakan dan atau menggunakan produk tersebut. Hal ini
sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan negara menjamin kemerdekaan
tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah
menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Untuk menjamin setiap pemeluk agama
beribadah dan menjalankan ajaran agamanya, negara berkewajiban memberikan
pelindungan dan jaminan tentang kehalalan Produk yang dikonsumsi dan digunakan
masyarakat. Jaminan mengenai Produk Halal hendaknya dilakukan sesuai dengan
asas pelindungan, keadilan, kepastian hukum, akuntabilitas dan transparansi,
efektivitas dan efisiensi, serta profesionalitas. Oleh karena itu, jaminan
penyelenggaraan Produk Halal bertujuan memberikan kenyamanan, keamanan,
keselamatan, dan kepastian ketersediaan Produk Halal bagi masyarakat dalam
mengonsumsi dan menggunakan Produk, serta meningkatkan nilai tambah bagi Pelaku
Usaha untuk memproduksi dan menjual Produk Halal. Semoga !
Oleh : drh. IWAN BERRI PRIMA
Ketua Komisi
Kesehatan, Pemuliaan Lingkungan Hidup dan Sumberdaya Alam
Majelis Ulama
Indonesia (MUI) Kabupaten Bintan
Tulisan ini pernah dimuat di Koran Tanjungpinang Pos edisi Sabtu 15 April 2017