Akhir-akhir ini Negara kita sedang dibuat ‘repot’ akibat langka dan mahalnya harga daging sapi. Rata-rata nasional, harga daging sapi yang normalnya sekitar Rp.80 ribu perkilo meningkat jauh menjadi Rp.130 rb, bahkan didaerah tertentu harga daging tembus hingga Rp.150 rb per kilogramnya. Kenaikan harga daging kali ini merupakan yang tertinggi dalam tiga dekade terakhir. Namun Ironisnya, harga sapi di tingkat peternak relatif murah. Peternak pun sulit menjual komoditasnya. Biasanya memang stok daging banyak ditahan menjelang Idul Adha.
Kondisi ini tentunya membuat daya beli
masyarakat menurun, efeknya, membuat para pedagang daging sapi mogok berdagang
dan akan terus mogok hingga pemerintah menjamin harga daging turun. Hal ini
dapat kita lihat di Beberapa kota seperti di Jakarta, Bekasi dan Bandung. Belum
lagi, Lemahnya perekonomian ditambah dengan makin sulitnya lapangan pekerjaan
tampaknya menjadi pelengkap beban masyarakat.
Mengatasi permasalahan ini, tampaknya yang menjadi ‘kambing hitam’ (meskipun ini bukan perkara daging kambing) adalah para importir. Hal ini berdasarkan pada hitung-hitungan pemerintah bahwa dengan stock daging sapi dalam negeri yang tersedia, sudah sangat cukup untuk memasok kebutuhan daging nasional. Diperkirakan kebutuhan daging secara nasional tahun ini adalah sebanyak 640.000 ton atau naik sebesar 8,5% dibanding tahun 2014. Jika dikonversikan ke jumlah populasi setara dengan sekitar 3,4 juta ekor sapi. Adapun Jumlah total populasi sapi lokal dan kerbau berdasarkan data BPS (Badan Pusat Statistik) tahun 2013 lebih dari 14,17 juta ekor. Oleh sebab itu, kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan meyakini betul bahwa dengan angka populasi sebesar itu sebenarnya stok lebih dari cukup.
Akan tetapi, faktanya dilapangan berbeda,
menurut analisis dari Anggota Komisi IV DPR RI, Daniel Johan, sebagaimana
termuat dalam program Telusur (Metro
TV), menyebutkan bahwa kebutuhan daging sapi nasional tahun ini adalah sebesar
653 ribu ton. Itu setara dengan 3,6 juta ekor sapi atau 305 ribu ekor per
bulan. Sementara stok sapi lokal yang tersedia yang siap potong hanya sekitar
2,3 juta ekor atau 406 ribu ton. Artinya, Ada kekurangan pasokan 247 ribu ton
atau setara 1.3 juta ekor. Kekurangan itu bisa ditutup kalau setiap triwulan
dilakukan impor 250 ribu sapi bakalan. Alih-alih impor, justru kuota impor oleh
pemerintah dikurangi, yang awalnya 250 ribu ekor pada kuartal awal 2015 menjadi
50 ribu ekor untuk periode Juli sampai September 2015. Alasan pemerintah jelas,
Indonesia harus berdaulat di bidang pangan.
Terlepas dari permasalahan ini, sebaiknya
kita jangan saling menyalahkan, jangan saling mencari kambing hitam, jika ada
‘pemain jahat’ atau lebih dikenal dengan ‘Mafia’ dalam supply daging sapi ini
sesegera mungkin untuk diungkap, toh pemerintah, dalam hal ini Kepolisian RI
melalui Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri telah melakukan berbagai upaya
untuk pengungkapan. Namun, Kiranya perlu juga kedepan usulan bahwa untuk
menjaga stabilitas suplai dan harga daging, izin impor sapi hanya diberikan
kepada Bulog (Badan urusan logistic). Tidak lagi diberikan kepada
pengusaha-pengusaha atau importir. Mengingat, daging merupakan salah satu
komoditas Sembako (sembilan jenis kebutuhan pokok masyarakat) menurut keputusan
Menteri Industri dan Perdagangan nomor 115/mpp/kep/2/1998 tanggal 27 Februari
1998.
Penguatan
Sektor Peternakan
Mewujudkan program swasembada sapi sebagai
jalan kedaulatan pangan nasional merupakan upaya yang secara tegas harus kita
wujudkan. Termasuk di Provinsi Kepri. Meski sebagai daerah yang mayoritas
perairan, Provinsi Kepri, khususnya kabupaten Bintan ternyata memiliki potensi
pengembangan peternakan yang cukup baik. Luas lahan potensi peternakan di
Kabupaten Bintan mencapai 1.427 hektar dan yang telah diusahakan hanya baru
sekitar 130,5 hektar. Populasi ternak sapi di Bintan tahun 2014 tercatat
sekitar 742 ekor dengan jenis sapi yang dikembangkan adalah jenis sapi potong
Bali. Angka ini masih bisa terus meningkat jika masyarakat (petani peternak)
atau investor dapat mengambil peluang atas kelangkaan dan mahalnya daging sapi.
Belum lagi, menjelang Hari Raya Idul Adha yang jatuh pada bulan September yang
akan dating, kebutuhan akan ternak sapi dipastikan akan meningkat. Belum lagi
permintaan pupuk kandang (kotoran sapi) untuk pertanian, perkebunan dan
penghijauan /taman, perumahan dll cenderung meningkat. Dengan kata lain, sektor
peternakan, khususnya ternak sapi masih cukup menjanjikan. Oleh karena itu,
tidak berlebihan jika sektor peternakan memiliki prioritas yang cukup besar di
Kabupaten Bintan.
Upaya
mengatasi kelangkaan dan mahalnya daging
Menurut Profesor Muladno (Guru Besar
Fakultas Peternakan IPB) yang saat ini menjadi Dirjen Peternakan dan Kesehatan
Hewan, Kementerian Pertanian RI sebagaimana yang termuat dalam harian Kompas
beberapa saat yang lalu, Untuk jangka panjang, satu-satunya jalan yang harus
ditempuh adalah memperbaiki usaha beternak sapi bagi peternak berskala kecil.
Mereka yang menguasai lebih dari 98 persen populasi sapi di Indonesia harus
diajak berbisnis secara benar melalui pendekatan kolektif dengan satu
manajemen. Kondisi alam, budaya masyarakat, dan karakter peternak di Indonesia
memungkinkan hal itu. Pendekatan ini berbeda dengan pendekatan yang digunakan
peternak Australia yang harus bersifat individualis karena kondisi alam, budaya
masyarakat, dan karakter peternaknya memang berbeda dengan Indonesia. Selama
ini peternak kecil hanya diajari secara teknis. Itu pun bersifat parsial dan
tak berkelanjutan. Jumlah peternak yang diajari juga sangat terbatas dan
lokasinya menyebar. Celakanya lagi banyak pihak mengajari mereka dengan
pendekatan berbeda-beda. Akibatnya, biaya yang dikeluarkan tinggi, tetapi
tingkat keberhasilan rendah dan produktivitas sapi tetap rendah.
Disamping itu, disadari atau tidak, meskipun
telah dilakukan proses seleksi CPCL (Calon Petani dan Calon Lokasi) secara
ketat dan teliti, beberapa peternak malah terkesan akan beternak sapi jika ada
bantuan dari pemerintah, baik bantuan dari pemerintah daerah
(Provinsi/Kabupaten) maupun pemerintah pusat (Kementerian), bukan hanya
Kementerian Pertanian, melainkan juga kementerian lain yang menggunakan ternak
sebagai komoditas dalam proyeknya). Alhasil, peternak pun menjadi tidak mandiri
dan bahkan bergantung pada pemerintah.
Hal itu dapat diartikan bahwa pendekatan
proyek yang selama ini berjalan ternyata tidak mencerdaskan peternak dan tidak
membuat mereka menjadi pengusaha sapi yang berdaya saing. Namun, fakta lain
juga menunjukkan bahwa tidak semua proyek pemerintah gagal karena beberapa
proyek pemerintah dapat melahirkan peternak baru berjiwa bisnis sebagaimana
yang terjadi dalam program Sarjana Membangun Desa (SMD), dimana seorang sarjana
(Sarjana Peternakan dan Sarjana Kedokteran Hewan) diberikan insentif dari
pemerintah untuk membina kelompok tani ternak secara intensif dan diberikan
target-target yang telah ditentukan disuatu daerah tertentu. Sarjana ini bukan
PNS, tetapi tenaga professional yang dikontrak pemerintah secara professional
dalam jangka waktu tertentu.
Jadi, yang perlu diupayakan ke depan
adalah bahwa peternak harus dapat berbisnis secara mandiri melalui usaha
kolektif dengan satu manajemen. Jumlah sapi yang diusahakan harus ada
minimalnya, misalnya, 1.000 ekor sapi betina dalam satu kawasan padat sapi.
Pemerintah harus memfasilitasi usaha kolektif tersebut, baik dari aspek teknis
maupun nonteknis, secara terus-menerus sampai akhirnya usaha itu berjalan
mandiri. Dengan demikian, pemerintah tidak lagi menyelenggarakan proyek
pengadaan sapi, tetapi harus lebih banyak menyelenggarakan aktivitas
berkelanjutan yang berorientasi pada upaya meningkatkan kualitas peternak
ataupun memperkuat fasilitas pendukungnya dalam beternak. Semoga dengan upaya
ini, langka dan mahalnya harga daging dinegara ini dapat segera berakhir. Memang
butuh waktu, tetapi inilah jalan yang dapat ditempuh. Semoga !
drh. Iwan Berri Prima
Tulisan ini pernah dimuat di Koran Harian Tanjungpinang Pos Edisi Selasa, 22 September 2015
drh. Iwan Berri Prima
Tulisan ini pernah dimuat di Koran Harian Tanjungpinang Pos Edisi Selasa, 22 September 2015