Friday, April 06, 2018

Opini : Mengatasi Kelangkaan dan Mahalnya Harga Daging Sapi

 


Akhir-akhir ini Negara kita sedang dibuat ‘repot’ akibat langka dan mahalnya harga daging sapi. Rata-rata nasional, harga daging sapi yang normalnya sekitar Rp.80 ribu perkilo meningkat jauh menjadi Rp.130 rb, bahkan didaerah tertentu harga daging tembus hingga Rp.150 rb per kilogramnya. Kenaikan harga daging kali ini merupakan yang tertinggi dalam tiga dekade terakhir. Namun Ironisnya, harga sapi di tingkat peternak relatif murah. Peternak pun sulit menjual komoditasnya. Biasanya memang stok daging banyak ditahan menjelang Idul Adha.
Kondisi ini tentunya membuat daya beli masyarakat menurun, efeknya, membuat para pedagang daging sapi mogok berdagang dan akan terus mogok hingga pemerintah menjamin harga daging turun. Hal ini dapat kita lihat di Beberapa kota seperti di Jakarta, Bekasi dan Bandung. Belum lagi, Lemahnya perekonomian ditambah dengan makin sulitnya lapangan pekerjaan tampaknya menjadi pelengkap beban masyarakat.

Mengatasi permasalahan ini, tampaknya yang menjadi ‘kambing hitam’ (meskipun ini bukan perkara daging kambing) adalah para importir. Hal ini berdasarkan pada hitung-hitungan pemerintah bahwa dengan stock daging sapi dalam negeri yang tersedia, sudah sangat cukup untuk memasok kebutuhan daging nasional. Diperkirakan kebutuhan daging secara nasional tahun ini adalah sebanyak 640.000 ton atau naik sebesar 8,5% dibanding tahun 2014. Jika dikonversikan ke jumlah populasi setara dengan sekitar 3,4 juta ekor sapi. Adapun Jumlah total populasi sapi lokal dan kerbau berdasarkan data BPS (Badan Pusat Statistik) tahun 2013 lebih dari 14,17 juta ekor. Oleh sebab itu, kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan meyakini betul bahwa dengan angka populasi sebesar itu sebenarnya stok lebih dari cukup.

Akan tetapi, faktanya dilapangan berbeda, menurut analisis dari Anggota Komisi IV DPR RI, Daniel Johan, sebagaimana termuat dalam program Telusur (Metro TV), menyebutkan bahwa kebutuhan daging sapi nasional tahun ini adalah sebesar 653 ribu ton. Itu setara dengan 3,6 juta ekor sapi atau 305 ribu ekor per bulan. Sementara stok sapi lokal yang tersedia yang siap potong hanya sekitar 2,3 juta ekor atau 406 ribu ton. Artinya, Ada kekurangan pasokan 247 ribu ton atau setara 1.3 juta ekor. Kekurangan itu bisa ditutup kalau setiap triwulan dilakukan impor 250 ribu sapi bakalan. Alih-alih impor, justru kuota impor oleh pemerintah dikurangi, yang awalnya 250 ribu ekor pada kuartal awal 2015 menjadi 50 ribu ekor untuk periode Juli sampai September 2015. Alasan pemerintah jelas, Indonesia harus berdaulat di bidang pangan.

Terlepas dari permasalahan ini, sebaiknya kita jangan saling menyalahkan, jangan saling mencari kambing hitam, jika ada ‘pemain jahat’ atau lebih dikenal dengan ‘Mafia’ dalam supply daging sapi ini sesegera mungkin untuk diungkap, toh pemerintah, dalam hal ini Kepolisian RI melalui Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri telah melakukan berbagai upaya untuk pengungkapan. Namun, Kiranya perlu juga kedepan usulan bahwa untuk menjaga stabilitas suplai dan harga daging, izin impor sapi hanya diberikan kepada Bulog (Badan urusan logistic). Tidak lagi diberikan kepada pengusaha-pengusaha atau importir. Mengingat, daging merupakan salah satu komoditas Sembako (sembilan jenis kebutuhan pokok masyarakat) menurut keputusan Menteri Industri dan Perdagangan nomor 115/mpp/kep/2/1998 tanggal 27 Februari 1998.

Penguatan Sektor Peternakan
Mewujudkan program swasembada sapi sebagai jalan kedaulatan pangan nasional merupakan upaya yang secara tegas harus kita wujudkan. Termasuk di Provinsi Kepri. Meski sebagai daerah yang mayoritas perairan, Provinsi Kepri, khususnya kabupaten Bintan ternyata memiliki potensi pengembangan peternakan yang cukup baik. Luas lahan potensi peternakan di Kabupaten Bintan mencapai 1.427 hektar dan yang telah diusahakan hanya baru sekitar 130,5 hektar. Populasi ternak sapi di Bintan tahun 2014 tercatat sekitar 742 ekor dengan jenis sapi yang dikembangkan adalah jenis sapi potong Bali. Angka ini masih bisa terus meningkat jika masyarakat (petani peternak) atau investor dapat mengambil peluang atas kelangkaan dan mahalnya daging sapi. Belum lagi, menjelang Hari Raya Idul Adha yang jatuh pada bulan September yang akan dating, kebutuhan akan ternak sapi dipastikan akan meningkat. Belum lagi permintaan pupuk kandang (kotoran sapi) untuk pertanian, perkebunan dan penghijauan /taman, perumahan dll cenderung meningkat. Dengan kata lain, sektor peternakan, khususnya ternak sapi masih cukup menjanjikan. Oleh karena itu, tidak berlebihan jika sektor peternakan memiliki prioritas yang cukup besar di Kabupaten Bintan.

Upaya mengatasi kelangkaan dan mahalnya daging
Menurut Profesor Muladno (Guru Besar Fakultas Peternakan IPB) yang saat ini menjadi Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian RI sebagaimana yang termuat dalam harian Kompas beberapa saat yang lalu, Untuk jangka panjang, satu-satunya jalan yang harus ditempuh adalah memperbaiki usaha beternak sapi bagi peternak berskala kecil. Mereka yang menguasai lebih dari 98 persen populasi sapi di Indonesia harus diajak berbisnis secara benar melalui pendekatan kolektif dengan satu manajemen. Kondisi alam, budaya masyarakat, dan karakter peternak di Indonesia memungkinkan hal itu. Pendekatan ini berbeda dengan pendekatan yang digunakan peternak Australia yang harus bersifat individualis karena kondisi alam, budaya masyarakat, dan karakter peternaknya memang berbeda dengan Indonesia. Selama ini peternak kecil hanya diajari secara teknis. Itu pun bersifat parsial dan tak berkelanjutan. Jumlah peternak yang diajari juga sangat terbatas dan lokasinya menyebar. Celakanya lagi banyak pihak mengajari mereka dengan pendekatan berbeda-beda. Akibatnya, biaya yang dikeluarkan tinggi, tetapi tingkat keberhasilan rendah dan produktivitas sapi tetap rendah.

Disamping itu, disadari atau tidak, meskipun telah dilakukan proses seleksi CPCL (Calon Petani dan Calon Lokasi) secara ketat dan teliti, beberapa peternak malah terkesan akan beternak sapi jika ada bantuan dari pemerintah, baik bantuan dari pemerintah daerah (Provinsi/Kabupaten) maupun pemerintah pusat (Kementerian), bukan hanya Kementerian Pertanian, melainkan juga kementerian lain yang menggunakan ternak sebagai komoditas dalam proyeknya). Alhasil, peternak pun menjadi tidak mandiri dan bahkan bergantung pada pemerintah.

Hal itu dapat diartikan bahwa pendekatan proyek yang selama ini berjalan ternyata tidak mencerdaskan peternak dan tidak membuat mereka menjadi pengusaha sapi yang berdaya saing. Namun, fakta lain juga menunjukkan bahwa tidak semua proyek pemerintah gagal karena beberapa proyek pemerintah dapat melahirkan peternak baru berjiwa bisnis sebagaimana yang terjadi dalam program Sarjana Membangun Desa (SMD), dimana seorang sarjana (Sarjana Peternakan dan Sarjana Kedokteran Hewan) diberikan insentif dari pemerintah untuk membina kelompok tani ternak secara intensif dan diberikan target-target yang telah ditentukan disuatu daerah tertentu. Sarjana ini bukan PNS, tetapi tenaga professional yang dikontrak pemerintah secara professional dalam jangka waktu tertentu.

Jadi, yang perlu diupayakan ke depan adalah bahwa peternak harus dapat berbisnis secara mandiri melalui usaha kolektif dengan satu manajemen. Jumlah sapi yang diusahakan harus ada minimalnya, misalnya, 1.000 ekor sapi betina dalam satu kawasan padat sapi. Pemerintah harus memfasilitasi usaha kolektif tersebut, baik dari aspek teknis maupun nonteknis, secara terus-menerus sampai akhirnya usaha itu berjalan mandiri. Dengan demikian, pemerintah tidak lagi menyelenggarakan proyek pengadaan sapi, tetapi harus lebih banyak menyelenggarakan aktivitas berkelanjutan yang berorientasi pada upaya meningkatkan kualitas peternak ataupun memperkuat fasilitas pendukungnya dalam beternak. Semoga dengan upaya ini, langka dan mahalnya harga daging dinegara ini dapat segera berakhir. Memang butuh waktu, tetapi inilah jalan yang dapat ditempuh. Semoga !

drh. Iwan Berri Prima
Tulisan ini pernah dimuat di Koran Harian Tanjungpinang Pos Edisi Selasa, 22 September 2015

    Choose :
  • OR
  • To comment