Pada tahun 2003, hampir 18 tahun yang lalu, saya merupakan siswa jurusan IPA di salah satu Sekolah Menengah Atas (SMA), kala itu bernama Sekolah Menengah Umum (SMU). Sebagai anak kelas 3 (kelas 12), saya diberikan kesempatan oleh sekolah untuk mendaftarkan diri ke perguruan tinggi negeri (PTN) sesuai dengan keinginan kita. Jalur yang diambil saat itu adalah jalur PMDK (Penelusuran Minat dan Kemampuan). Artinya, pendaftaran dilakukan tanpa melalui ujian, hanya mengirimkan berkas sesuai dengan berkas yang dipersyaratkan oleh masing-masing kampus.
Namun demikian, jauh
sebelum pendaftaran PMDK, sejatinya telah datang beberapa mahasiswa (alumni
SMU) hadir ke sekolah memberikan informasi tentang kampusnya. Beragam cara dan
teknik promosi yang meraka sampaikan, tapi sebagian besar menggunakan brosur
sebagai alat komunikasi, informasi dan edukasinya.
Terus terang, saya
cukup tertarik ketika membaca brosur tentang sekolah tinggi pelayaran semarang
(saat ini bernama Politeknik Ilmu Pelayaran (PIP) Semarang). Sebuah kampus
kedinasan milik Departemen Perhubungan (Saat ini kementerian Perhubungan RI).
Alasan saya saat itu cukup kuat, saya hampir 12 tahun ditempa sebagai anak
pramuka, peserta terbaik disetiap kegiatan pramuka dan menjadi utusan sekolah
untuk mengikuti Raimuna Ranting, Raimuna Cabang, Raimuna Daerah dan terakhir
Raimuna Nasional. Belum lagi saya termasuk angkatan pertama pramuka Saka
Bhayangkara di kecamatan, karena kebetulan saat itu ada pemekaran kecamatan dan
pembentukan kepolisian sektor (polsek) baru.
Selain itu, keikutsertaan
saya dalam organisasi pramuka bukan hanya membentuk karakter dan kepribadian
saya, tetapi juga membentuk ketahanan fisik dan stamina yang baik. Sehingga
tidak ada alasan untuk takut mendaftar di PIP Semarang.
Akan tetapi, keinginan
saya ternyata tidak bersambut. Orang tua, terutama Ibu, tidak berkenan jika
saya menjadi seorang pelaut. Alasan ibu saat itu sederhana, ibu tidak mau
ditinggalkan terlalu lama ketika saya menjadi seorang pelaut. Benar saja,
pelaut memang jarang berada di rumah. Aktifitasnya lebih banyak dihabiskan di
lautan. Oleh sebab itu, setelah mendapat gambaran alasan seperti itu, niat saya
untuk mendaftarpun saya urungkan.
Namun ternyata bukan itu
alasan ibu sebenarnya, belakangan hari saya baru tahu, sehingga jujur saja,
dalam beragam tulisan, saya belum pernah menulis alasan ini. Hal ini terkait
dengan masa lalu ibu. Ketika ibu masih kecil, ada keluarga ibu yang seorang
Tentara Nasional Indonesia (TNI) Angkatan Laut. Karena bersama mereka, ibu
merasa iba (empati) ketika sang istri harus ditinggal suaminya bertugas dan
ternyata dalam tugasnya, sang suami gugur (kala itu diberitakan tewas bersama
dengan Yos Soedarso di atas KRI Macan Tutul di Laut Aru, Arafura Sea).
Meninggalkan anak perempuan, yang saat itu menjadi sahabat ibu sejak kecil.
Dari sahabatnya inilah Ibu merasa anaknya tidak dibolehkan mengalami hal yang
serupa. Padahal, gugur dalam tugas merupakan tugas mulia. Pahlawan bangsa.
Akhirnya, ibu memberi
saran, sebaiknya ambil saja jurusan kedokteran. Apapun dokternya, mau dokter
umum, dokter gigi maupun dokter hewan. Karena diberi saran seperti itu, Saya
pun memantapkan hati untuk mendaftar di tiga kampus kedokteran, yakni di
Fakultas Kedokteran Umum Undip Semarang, Fakultas Kedokteran Gigi UGM
Yogyakarta dan Fakultas Kedokteran Hewan IPB Bogor. Bersyukur, pilihan
kedokteran hewan menjadi takdir yang saya terima. Saya lulus PMDK di FKH IPB
tahun 2003.
Ketika harus menjelaskan mengapa mengambil
jurusan kedokteran, khususnya kedokteran hewan, bagi saya banyak alasan yang
bisa saya ceritakan. Tapi yang pasti, saya ikut apa kata ibu. Saya tidak
membantah atau melawan saran ibu. Bagi saya, Mengikuti hal yang baik dari
orangtua merupakan salahsatu jalan menggapai keberkahan ilahi.
Namun apapun alasan
itu, kecintaan saya pada laut juga tidak terelakkan. Buktinya saya kini pun
mengabdi menjadi seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) di salah satu daerah di
Provinsi Kepulauan Riau, sebuah daerah kepulauan yang sangat indah dan
mengagumkan. Bangga menjadi warga kepulauan dan bangga menjadi dokter hewan.
Tulisan ini merupakan bagian dari Buku Antologi : 1000 Alasan Menjadi Dokter Hewan (Penerbit: Veterinary Indie Publisher, 2021)
