Setiap tanggal 26 Agustus, pemerintah Indonesia memperingatinya sebagai Hari Peternakan dan Kesehatan Hewan Nasional.
Hal ini
disebabkan karena, pada tanggal tersebut, tepatnya 26 Agustus 1836 dalam
catatan sejarah di bidang peternakan dan kesehatan hewan, pemerintah Hindia
Belanda untuk pertama kalinya menerbitkan sebuah ketetapan melalui plakat
tentang larangan pemotongan sapi betina produktif.
Sebagaimana dimuat dalam laman: Troboslivestock.com, Momentum tersebut
dijadikan pertimbangan para tokoh, para pakar, organisasi profesi, asosiasi dan
perusahaan di bidang peternakan serta kesepakatan bersama tanggal 26 Maret 2003
ditetapkan sebagai “Hari Lahir Peternakan dan Kesehatan Hewan”. Sedangkan
tanggal 26 Agustus sampai dengan 26 September ditetapkan sebagai Bulan Bakti
Peternakan dan Kesehatan Hewan.
Selanjutnya,
sejarah peternakan dan kesehatan hewan di Indonesia sejatinya telah melalui
perjalanan panjang. Namun sayangnya, urusan kesehatan hewan selalu disandingkan
dengan urusan peternakan.
Contohnya pada
era Orde baru, tepatnya tanggal 3 November 1966, struktur organisasi Direktorat
Jenderal Kehewanan dibentuk. Struktur organisasinya terdiri dari tiga unit
eselon II yaitu (1) Sekretariat Direktorat Jenderal, (2) Direktorat Peternakan
dan (3) Direktorat Kesehatan Hewan (Keswan).
Puncaknya, pada
tanggal 18 Januari 1968, Ditjen Kehewanan dirubah menjadi Direktorat Jenderal
Peternakan.
Padahal, urusan Kesehatan Hewan atau dikenal dengan istilah
urusan Veteriner, sejatinya tidak selalu berhubungan dengan satu sektor saja
atau satu kementerian saja.
Veteriner
seharusnya bersifat universal dan berhubungan dengan sektor lain yang berkenaan
dengan dunia kehewanan atau berkenaan dengan hewan dan produk-produknya.
Dalam
praktiknya secara umum, setidaknya terdapat 5 sektor yang berkenaan dengan
hewan dan berbagai penyakitnya, yakni Peternakan, Perikanan dan Satwa Aquatik,
Hewan Kesayangan (Pet Animal), Satwa Liar dan Hewan laboratorium.
Kelima sektor
ini seharusnya memiliki porsi yang sama dalam beriringan dengan Sektor
kesehatan hewan. Karena, kelima sektor ini juga memiliki peranan yang sangat
penting bagi kehidupan masyarakat. Bahkan, jika kesehatan hewannya diabaikan,
dapat berpotensi menularkan penyakitnya kepada manusia.
Namun, di
Indonesia, tampaknya sektor peternakan yang merupakan sub sektor dari ranah
Kementerian Pertanian menjadi sektor yang sangat “dekat” dengan sektor
kesehatan hewan, dibandingkan dengan sektor yang lain.
Apalagi, situasi ini sudah terlanjur melekat di benak
masyarakat. Berbicara tentang peternakan, maka masyarakat juga akan berbicara
tentang kesehatan hewan.
Padahal, antara
peternakan dan kesehatan hewan sejatinya merupakan dua hal yang berbeda.
Ahlinya peternakan, tentu sarjana peternakan. Demikian juga ahlinya urusan
kesehatan hewan adalah dokter hewan. Ironisnya, karena berada dalam ruang yang
sama, masyarakat akhirnya sulit membedakan, mana sarjana peternakan dan mana
dokter hewan.
Oleh karena
itu, sekali lagi, seharusnya kesehatan hewan tidak “dilekatkan” dengan satu
sektor saja. Kesehatan hewan harus masuk dalam lintas sektoral.
Tujuannya agar
sektor lain, sebut saja Sektor Perikanan dan Satwa Akuatik (Kementerian
Kelautan dan Perikanan) tidak menjadi sektor yang seakan diabaikan secara
prinsip kesehatan hewannya. Padahal, di sektor ini jumlah dokter hewan yang
berjibaku untuk meningkatkan kesehatan hewan (ikan dan satwa akuatik lainnya)
juga lumayan banyak. Artinya, mereka juga memiliki hak yang sama untuk
membentuk “nomenklatur” kesehatan hewan di kementeriannya.
Demikian juga
di sektor satwa liar (di bawah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan),
sektor hewan kesayangan dan sektor hewan Laboratorium (Instansi penelitian dan
pendidikan).
Singkatnya, melalui momentum yang baik ini, sudah saatnya
pemerintah Indonesia membuat terobosan untuk membentuk badan kesehatan hewan
nasional sendiri, yang independen dan komprehensif (tidak parsial), untuk
mendukung suksesnya sektor yang berkenaan dengan urusan hewan.
Seperti halnya
pemerintah yang telah membentuk Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang
membawahi seluruh badan penelitian yang selama ini terpisah-pisah di setiap
instansi dan membentuk Badan Pangan Nasional (Bapanas) sebagai penanggungjawab
urusan pangan nasional. Semoga!
Penulis: drh.Iwan Berri Prima, M.M
Tulisan ini pernah dimuat di Portal Berita: HarianKepri.com,
Edisi 26 Agustus 2021